Jumat, November 27, 2009

The Art Of Persuasion

Film The Art Of persuasion mengisahkan bagaimana para pemimpin politik di seluruh dunia mulai dari tokoh-tokoh terkenal dalam sejarah sampai dengan para pemimpin dunia saat ini menggunakan seni sebagai alat komunikasi politik yang dikenal dengan istilah politik citra.
Politik citra dapat diartikan sebagai suatu teknik dalam komunikasi politik untuk membentuk citra personal yang positif dari seorang tokoh politik agar orang itu dapat diterima oleh khalayak luas.
Film ini menunjukkan bahwa komunikasi politik dengan dengan menggunakan politik citra yang digunakan oleh berbagai pemimpin dalam sejarah seperti Darius Agung dari Persia, Aleksander Agung dari Macedonia dan Augustus dari Roma telah berhasil meligitimasi kekuasaan mereka atas rakyat dan teknik ini terus disempurkan dan masih terus digunakan sampai saat ini.
Secara prinsip, komunikasi politik dengan menggunakan politik citra yang digunakan oleh tokoh-tokoh sejarah dengan politik citra yang digunakan oleh para pemimpin dunia saat ini tidaklah jauh berbeda. Yang membedakan di antara keduanya hanyalah medium yang digunakan dalam penyampaian pesan dan format isinya.
Pada masa lampau, para pemimpin politik cenderung menggunakan beragam benda-benda seni seperti atribut, perhiasan, symbol, relief, lukisan dan ukiran sebagai medium untuk merefleksikan citra kepemimpinan mereka.
Darius I dari Persia atau yang lebih dikenal dengan Darius Agung (549 SM – 486/485 SM) ketika memerintah berhasil menaklukan banyak bangsa di bawah kekuasaan Persia. Hal ini dapat dilihat pada inkripsi berupa balok emas yang di atasnya terukir nama berbagai bangsa yang ditaklukan oleh Persia. Dengan menaklukan banyak bangsa, maka Persia rentan akan pemberontakan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa taklukan. Untuk meredam pemberontakan, maka Darius membuat relief yang menggambarkan berbagai bangsa yang ditaklukan oleh Persia datang dengan menyembah dan membawa persembahan bagi Darius di dinding istananya di Persepolis. Para utusan tersebut digambarkan datang dengan menggunakan pakaian khas masing-masing bangsa. Dengan relief ini, darius bermaksud mengambarkan dirinya sebagai raja yang bijaksana dan mampu membawa perdamaian bagi bangsa-bangsa yang telah ditaklukannya. Tak cukup sampai disitu, darius juga menciptakan symbol pribadi bagi dirinya, yaitu Darius Sang Pemanah. Darius menggunakan pemanah sebagai symbol pribadinya karena dalam kebudayaan Persia, seorang pemanah merupakan symbol prajurit militer yang melambangkan kekuatan, kekuasaan dan kebijaksanaan. Dengan demikian, Darius hendak mengklaim bahwa dirinya merupakan seorang raja yang kuta, berkuasa dan bijaksana.
Aleksander Agung dari Macedonia (356 SM – 323 SM) yang berhasil menaklukan Persia juga menggunakan politik citra untuk mempertahankan kekuasaannya atas bangsa-bangsa bekas taklukan Persia. Berbeda dengan Darius yang menggunakan symbol, maka Aleksander menggunakan wajahnya sebagai bentuk komunikasi politik citranya. Pada sebuah lukisan di Pompeii, kaki Gunung Vesuvius, digambarkan pertempuran antara Aleksander yang memimpin Macedonia melawan Darius yang memimpin Persia. Lukisan itu mengambarkan Aleksander di puncak kekuasaan dan kekuatan sedangkan Darius berada dalam kekalahan. Hal ini dapat dilihat dari cara pelukisan kedua tokoh; Aleksander dilukiskan sebagai seseorang pemberani dengan keyakinan yang kuat, ia dilukiskan sedang berkuda memimpin pasukannya dan memegang tombak, tanpa menggunkaan helm pelindung kepala dan tatapannya tajam lurus ke depan menatap Darius dengan penuh keyakinan; sedangkan Darius dilukiskan sedang ketakutan dan berlindung di balik pasukannya, seolah sudah bersiap untuk menyerah dan kalah. Aleksander menyadari betul betapa penggambaran wajah seseorang mampu merefleksikan siapa orang tersebut dan betapa wajah seseorang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi orang banyak. Bahkan gambaran wajah Aleksander sudah ditentukan jauh sebelum ia menjadi raja Macedonia. Hal ini dapat dilihat pada sebuah ukiran gading bergambarkan wajah Aleksander yang ditemukan dalam makam Raja Philip (ayah dari Aleksander) dan seluruh gambaran wajah Aleksander yang pernah ditampilkan tidak berubah sama sekali. Bahkan untuk membuat rakyatnya selalu mengingat wajahnya, Aleksander melakukan tindakan ekstrem dengan meletakkan gambar wajahnya pada mata uang. Suatu revolusi yang luar biasa dalam komunikasi politik citra.
Octavianus (23 September 63 SM–19 Agustus 14), yang bergelar Kaisar Augustus dari Roma mengikuti keberhasilan Aleksander dengan membuat sebuah patung yang menggambarkan Augustus sebagai sosok yang selalu siap berjuang untuk rakyat dengan menggunakan pakaian perang, sosok yang sederhana dengan tanpa menggunakan alas kaki dan sosok pilihan dewa-dewa dengan penggambaran dewa-dewa yang tersenyum pada Augustus yang terukir di plat dada pakaian perangnya.
Simbol-simbol yang digunakan oleh Darius dan penggambaran wajah yang digunakan oleh Aleksander dalam komunikasi politik citra sampai saat ini masih terus digunkan dan dikembangkan oleh berbagai pemimpin politik di seluruh dunia. Penggunaan symbol dan emblem sebagai lambing resmi dari suatu negara atau organisasi sangatlah lazim, seperti lambang elang pada US Great Seal milik Amerika Serikat dan Garuda Pancasila. Sedangkan penggambaran wajah juga telah menjadi sesuatu yang umum, dengan banayknya patung atau monument, lukisan dan ilustrasi serta gambar pada mata uang yang menampilkan pemimpin politik suatu negara.
Selain lambang dan symbol, politik citra juga semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Komunikasi politik citra tidak hanya menggunakan beragam benda seni namun telah memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, seperti Presiden Barack Obama yang selama kampanye pemilihan Presiden Amerika Serikat memanfaatkan situs Facebook sebagai medium kampanye dan pembentukan citra positif dirinya.
Isi dari penggambaran citra seseorang juga telah bergeser dari yang umumnya menampilkan sosok yang memiliki kekuatan dan kekuasaan menjadi sosok yang humanis namun tetap menonjolkan ketegasan, kewibawaan dan karisma seorang pemimpin. Hal ini dapat kita lihat dari citra yang ditampilkan oleh Presiden SBY melalui cara beliau berjalan, berbicara, berpenampilan serta pemilihan kata-kata yang beliau gunakan.
Dapat disimpulkan bahwa komunikasi politik citra yang digunakan pada oleh tokoh-tokoh sejarah dan yang kini digunakan oleh para pemimpin di seluruh dunia secara prinsip tida berbeda, melainkan komunikasi politik citra yang digunakan oleh para pemimpin dunia saat ini merupakan pengembangan dan penyempurnaan dari komunikasi politik citra yang telah digunakan selama ribuan tahun dengan memanfaatkan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi dan teknologi audio visual.

Permasalahan Narkotika di Indonesia dan Penanggulangannya

BAB I
PENDAHULUAN

Kata Narkotika mungkin sudah tidak asing lagi di tengah kita. Maraknya kasus penyalahgunaan Narkoba (narkotika dan obat-obatan terlarang) di Indonesia terutama yang dilakukan oleh generasi muda Indonesia telah meresahkan kita. Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun di sisi lain Narkotika dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.
Posisi Indonesia di dalam jaringan Narkotika internasional disinyalir terus menguat dalam beberapa tahun terakhir. Selain menempati urutan nomor satu negara tujuan impor dan perdagangan Narkotika illegal di Asia tenggara, saat ini Indonesia juga mulai menjadi produsen Narkotika illegal dalam skala besar untuk kemudian diekspor dan diperdagangkan di kawasan Asia. Hal ini tercermin dari semakin maraknya kasus penggerebekan pabrik Narkotika, terutama sabu-sabu di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam makalah singkat ini, Penulis akan mengangkat satu kasus mengenai penyalahgunaan Narkotika di Indonesia kemudian membahasnya dari sisi hukum berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (pengganti Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika), dampak dan bahaya penyalahgunaan Narkotika serta upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan Narkotika.



BAB II
DATA

Sabu Rp 3,6 Miliar Disimpan di Kaki Palsu
10:51 | Thursday, 12 November 2009
TANGERANG- Demi uang, warga negara Iran, Mohammad Var Shouchi (32), nekat menyelundupkan sabu seberat 1,6 kg yang disembunyikan di kaki palsu sebelah kiri. Pihak Bea Cukai Bandara Soekarno Hatta berhasil melakukan pencegahan sesaat pelaku tiba di terminal 2 D kedatangan luar negeri.
Pelaku tiba di Bandara Soekarno Hatta menggunakan pesawat Emirates Airways dengan nomor penerbangan EK 358, Senin (9/11), pukul 22.15 WIB. Karena gerak geriknya yang mencurigakan, petugas langsung memeriksanya. Tak diduga, sabu jenis methamphetamine HCL yang berbentuk cairan bening dan kristal senilai Rp3,6 miliar itu disembunyikan di kaki palsu sebelah kiri yang digunakan pelaku.
Petugas Bea Cukai curiga melihat cara pelaku berjalan, yang berbeda dengan orang normal. Kaki sebelah kiri terlihat seolah diseret. “Karena pola berjalan pelaku itu, petugas langsung memberhentikan dan memeriksa. Setelah pemeriksaan, diketahui pelaku menggunakan kaki palsu di bagian kaki kiri. Cairan dan Kristal sabu tersebut dililitkan rapih di bagian betis. Pelaku sengaja menyeret kaki palsunya dikarenakan lakban pengikat shabu yang ditempatkan di bagian betis itu nyaris copot.
Dari hasil pemeriksaan, petugas menemukan sabu senilai Rp3,6 miliar yang dikemas dalam satu paket dan direkatkan dibagian betis kiri kaki palsunya,” kata Kepala Bea dan Cukai Provinsi Banten, Bachtiar.
Pengakuan pelaku, dirinya baru kali pertama masuk ke Indonesia. Pelaku rencananya akan menginap di salah satu hotel di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Karena terlilit hutang di kampung halamannya, dia bersedia mengantarkan sabu tersebut masuk ke Indonesia. Mantan supir taksi di Iran ini mengaku berhutang kepada salah satu bandar narkoba di Iran sebesar Rp400 juta. Hutang itu untuk biaya perobatan pasca kecelakaan yang menyebabkan kaki kirinya harus diamputasi. Sebesar Rp385 juta sudah dibayarkan kepada bandar narkoba tersebut. Sisanya Rp15 juta dilunasi dengan cara menjadi kurir.
“Pengakuannya seperti itu. Diketahui memang dia baru pertama kali ke Indonesia. Pelaku juga sudah memiliki voucher menginap yang dibawanya dari Iran,” jelas Bachtiar.
Saat ini, kasus penyelundupan sabu ini telah dikirim ke Polda Metro Jaya guna pengembangan lebih lanjut. Hingga saat ini belum ditemukan pihak lain yang terkait dengan kasus ini ataupun orang yang akan mengambil paket tersebut setelah tiba di Indonesia. Dugaan sementara, pelaku merupakan salah satu kurir jaringan Iran yang beberapa waktu lalu juga berhasil ditangkap.
“Diduga ini merupakan sindikat internasional asal Iran yang bulan lalu tertangkap. Tren saat ini memang mayoritas penyelundupan sabu berasal dari Iran,” ujarnya.
Pelaku sendiri terancam hukuman mati atau paling rendah penjara 20 tahun dengan denda Rp20 miliar karena sabu yang diselundupkan lebih dari 5 gram. Pelaku akan diancam dengan pasal 113 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika .
“Karena barang bukti beratnya melebihi 5 gram, pelaku diancam pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun,” terang Bachtiar. (kin/jpnn)



BAB III
PEMBAHASAN

Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional. Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama - sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional.
Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Bab I Pasal 1 mengenai Ketentuan Umum, yang dimaksud dengan:
1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
2. Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
Sementara pada pasl 35 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, disebutkan bahwa:
Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berdasarkan data yang disajikan oleh Penulis pada Bab II, telah terjadi tindak pidana Narkotika, yaitu berupa kepemilikan dan impor Narkotika secara illegal. Sementara jenis Narkotika yang diselundupkan masuk ke dalam wilayah NKRI ialah jenis sabu-sabu.
Sabu-sabu atau metamfetamina (metilamfetamina atau desoksiefedrin) adalah obat psikostimulansia dan simpatomimetik. Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sabu-sabu atau metamfetamina termasuk dalam daftar Narkotika Golongan I.
Tindakan yang dilakukan oleh Mohammad Var Shouchi tersebut di atas jelas telah melanggar pasal 7, pasal 16 ayat 1 dan ayat 3, pasal 17, pasal 24 ayat 1 dan pasal 41 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pasal 7 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan:
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan / atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 16 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan:
Ayat 1: Importir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Impor dari Menteri untuk setiap kali melakukan impor Narkotika.
Ayat 3: Surat Persetujuan Impor Narkotika Golongan I dalam jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 17 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan:
Pelaksanaan impor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengekspor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor.
Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan:
Setiap pengangkutan impor Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen atau surat persetujuan ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor dan Surat Persetujuan Impor Narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri.
Pasal 41 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan:
Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sejarah maraknya kasus peredaran dan penyalahgunaan Narkotika sendiri dapat dilihat dari ratusan tahun yang lalu dimana obat-obatan psikoaktif digunakan untuk keperluan pengobatan, keagamaan dan sebagai sarana hiburan. Pada akhir abad ke-19 dengan semakin berkembangnya ilmu kimia dan farmakologi, masyarakat mulai mensintesakan berbagai zat yang sangat kuat dan bersifat amat addictive yang dapat mengakibatkan kecanduan seperti kokain dan heroin.
Secara umum, permasalahan narkotika dapat dibagi menjadi tiga bagian yang saling terkait, antara lain:
1. Adanya produksi Narkotika secara gelap
2. Adanya perdagangan dan peredaran gelap Narkotika
3. Adanya penyalahgunaan Narkotika
Berdasarkan dampaknya terhadap pemakai, Narkotika dapat dibedakan menjadi tiga kategori, antara lain:
1. Depressant
Depressant merupakan obat penenang (sedatives) yang bekerja pada sistem syaraf. Depresant memberikan rasa rileks yang bersifat artifisial, mengurangi ketegangan atau kegelisahan serta tekanan mental. Namun depressant cenderung mengakibatkan ketergantungan psikologis, dalam artian pengguna akan merasa gelisah bila tidak menggunakan depressant lagi.
2. Stimulants
Stimulants merupakan zat yang mengaktifkan, memperkuat dan meningkatkan aktivitas dari sistem syaraf pusat. Stimulants dapat mendorong symptoms yang bersifat memabukkan seperti meningkatnya denyut jantung, membesarnya pupil mata, meningkatnya tekanan darah serta mual-mual dan muntah. Obat-obatan jenis stimulants dapat menyebabkan tindak kekerasan dan perilaku agresif serta menghasut dan tidak dapat berpikir secara jernih. Stimulants bahkan dapat menyebabkan sakit jiwa (delusional psychosis).
3. Hallucinogens
Hallucinogens secara kimiawi sangat beragam dan dapat mengakibatkan perubahan mental yang hebat seperti euphoria, kegelisahan, distorsi sensorik, halusinasi, berhayal, ketakutan yang berlebihan (paranoia) dan depresi.
Sementara itu bahaya dari penyalahgunaan Narkotika antara lain:
1. Bahaya terhadap diri pemakai
a) Narkotika mampu merubah kepribadian pemakai secara drastis
b) Menimbulkan sifat masa bodoh terhadap diri sendiri
c) Semangat bekerja menjadi menurun dan suatu ketika bisa saja pemakai bersikap seperti orang gila sebagai reaksi dari penggunaan Narkotika
d) Tidak memiliki keraguan untuk melanggar norma masyarakat, hukum dan agama
e) Tidak segan-segan menyiksa diri sendiri karena ingin menghilangkan rasa nyeri akibat ketergantungan Narkotika yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian
2. Bahaya terhadap keluarga
a) Pemakai tidak lagi menjaga sopan santun di rumah bahkan tidak segan-segan untuk melakukan tindak kekerasan
b) Tidak menghargai harta benda yang ada di rumah seperti mencuri untuk membeli Narkotika
c) Mencemarkan nama baik keluarga
d) Menghabiskan biaya yang amat besar untuk pengobatan dan rehabilitasi
3. Bahaya terhadap lingkungan masyarakat
a) Tidak segan-segan untuk melakukan tindak pidana seperti kekerasan dan pencurian
b) Mengganggu ketertiban umum
c) Membahayakan ketentraman dan keselamatan umum serta tidak menutup kemungkinan mempengaruhi orang lain untuk turut serta menjadi pemakai Narkotika
4. Bahaya terhadap bangsa dan negara
a) Rusaknya generasi muda penerus bangsa
b) Hilangnya rasa patriotisme, cinta dan bangga terhadap bangsa dan negara sehingga pada akhirnya kan melemahkan ketahanan bangsa dan negara
Dikarenakan adanya kecenderungan peningkatan kasus penyalahgunaan Narkotika di Indonesia yang telah mencapai taraf berbahaya dan memprihatinkan serta buruknya dampak Narkotika terhadap pemakai maka pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Narkotika Nasional menerapkan beberapa kebijakan sebagai bentuk upaya penanggulangan penyalahgunaan Narkotika secara nasional. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika secara komprehensif dan multidimensional.
2. Berupaya meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan dan pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika, termasuk melalui jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah.
3. Memanfaatkan peran serta media massa baik cetak maupun elektronik serta kemajuan teknologi komunikasi dan informasi untuk memberikan informasi kepada masyarakat secara luas.
4. Meningkatkan kerjasama regional dan internasional secara lebih intensif dengan mengadakan kesepakatan-kesepakatan baik bilateral maupun multilateral.
5. Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya penyelengaraan terapi dan rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan Narkotika dengan berpedoman pada standarisasi pelayanan terapi dan rehabilitasi yang telah ditentukan.
6. Melakukan pelaksanaan penegakan hukum secara tegas, konsisten dan sungguh-sungguh sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang berlaku serta meningkatkan dan memperketat pengawasan dan pengendalian Narkotika dan Prekursor Narkotika guna mencegah terjadinya penyalahgunaan dan penyelewengan ke pasar gelap.
Dalam melaksanakan tugasnya BNN juga berkoordinasi dengan instansi-instansi terkait dengan membentuk satuan-satuan tugas operasional, seperti:
1. Satuan tugas precursor BNN
Bekerjasama dengan Badan POM RI yang menangani pemantauan distribusi dan pengecekan penggunaan terhadap bahan-bahan kimia dasar yang digunakan oleh perusahaan kimia maupun pengguna bahan kimia.
2. Satuan tugas airport interdiction
Bekerjasama dengan Direktorat Jendral Bea dan Cukai, Departemen Keuangan RI yang bertugas menangani permasalah Narkotika di bandara-bandara nasional dan internasional guna mencegah masuk dan beredarnya Narkotika.
3. Satuan tugas seaport interdiction
Bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan RI yang bertugas menangani permasalahan Narkotika di pelabuhan-pelabuhan laut baik nasional maupun internasional guna mencegah peredaran Narkotika.
4. Satuan tugas pengawasan narkotika terhadap orang asing
Bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Imigrasi, Departemen Kehakiman dan HAM RI, bertugas menangani permasalahan Narkotika yang dilakukan oleh orang asing mulai dari keberadaannya sampai pada kegiatannya.
5. Satuan tugas operasional P4GN di lapas atau rutan
Bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM RI guna mengawasi peredaran Narkotika pada narapidana dan tahanan.
6. Satuan tugas kokain dan heroin
Bekerjasama dengan Direktorat IV / Narkotika dan Kejahatan Terorganisir, Bareskrim Polri, yang bertugas menangani permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba khususnya kokain dan heroin atau jenis narkotika.
7. Satuan tugas sabu-sabu dan ekstasi
Bekerja sama dengan Direktorat IV / Narkotika dan Kejahatan Terorganisir, Bareskrim Polri, yang bertugas menangani permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba khususnya sabu-sabu dan ekstasi atau jenis psikotropika.
8. Satuan tugas ganja
Bekerja sama dengan Direktorat IV / Narkotika dan Kejahatan Terorganisir, Bareskrim Polri, yang bertugas menangani permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba khususnya ganja, mulai dari kultivasi, pemetaan sampai dengan peredarannya.
Adapun dasar dari pembentukan Badan Narkotika Nasional tercantum dalam pasal 64 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berbunyi:
Ayat 1: Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN.
Ayat 2: BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Adapun tugas dan wewenang BNN tercantum dalam pasal 70 dan pasal 71 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berbunyi:
Pasal 70:
BNN mempunyai tugas:
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;
e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
h. mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika;
i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.
Pasal 71:
Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Berdasarkan data di atas, atas tindakannya menyelundupkan sabu-sabu seberat 1,6 kg, Mohammad Var Shouchi telah melakukan tindakan pidana Narkotika dan diancam dengan ketentuan pidana pasal 113 dan pasal 115 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berbunyi:
Pasal 113:
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hokum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
2. Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 115:
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hokum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
2. Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).



BAB IV
KESIMPULAN

Kesimpulan yang bisa penulis tarik dari data dan pembahasan di atas ialah bahwa masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat, sudah sangat memprihatinkan dan membahayakan kehidupan bangsa, masyarakat dan negara Indonesia. Indonesia bukan lagi sekedar menjadi tempat transit dalam peredaran dan perdagangan gelap Narkotika, tetapi telah menjadi tempat pemasaran dan bahkan telah menjadi tempat produksi Narkotika.
Tindak pidana Narkotika juga telah menjadi masalah global yang terorganisir dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih dan telah didukung oleh jaringan organisasi yang luas.
Permasalahan Narkotika di Indonesia kini bukan lagi menjadi masalah pemerintah melalui Kepolisian Negara RI maupun Badan Narkotika Nasional, namun merupakan permasalahahn bersama antara Pemerintah dan masyarakat luas. Untuk itu peran serta masyarakat baik dalam hal pencegahan, pengawasan, pemberantasan maupun rehabilitasi dan pengobatan amat diperlukan.
Keluarga, institusi pendidikan dan lingkungan masyarakat merupakan gerbang pertama dalam hal pencegahan penyalahgunaan Narkotika pada generasi muda Indonesia. Lemahnya pengawasan dan pencegahan dalam lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan masyarakat telah menyebabkan banyak generasi muda Indonesia terjerumus dalam kasus penyalahgunaan Narkotika.



SUMBER DATA

http://www.hariansumutpos.com/2009/11/sabu-rp36-miliar-disimpan-di-kaki-palsu.html
www.solusihukum.com/news/arsip/narkoba.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Metamfetamina
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Rabu, November 18, 2009

Tata Bahasa Etnis Tionghoa di Surabaya Ditinjau Dari Sudut Pandang Etnografi Komunikasi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kata etnografi mungkin sudah tidak asing ditelinga sebagian masyarakat Indonesia. Etnografi yang biasanya dikaitkan dengan ilmu antropologi sesungguhnya merupakan salah satu bidang kajian dari paradigma penelitian kualitatif. Di Indonesia sendiri metode penelitian kualitatif (aliran kritis) kurang popular bila dibandingkan dengan aliran empiris (metode penelitian kuantitatif). Hal ini disebabkan karena aliran empiris lebih dahulu masuk ke Indonesia, selain itu hasil dari penelitian empiris lebih sesuai dengan paradigma pembangunan di Indonesia yaitu paradigma modernisasi karena hasil dari penelitian empiris berupa angka-angka dan statistik.
Namun demikian, perkembangan media dalam konteks sosial dan praktik budaya yang kian beragam semakin mengukuhkan eksistensi paradigma kualitatif. Kemampuannya menghasilkan produk analisis yang mendalam selaras dengan settingnya, diakui sebagai paradigma yang patut diperhitungkan dalam rangka menghadirkan refleksi bagi kajian ilmu komunikasi. Beberapa metode penelitian berbasis paradigma kualitatif ini - analisis wacana, studi kasus, semiotik dan etnografi – kini mulai dilirik para ilmuwan maupun peneliti.
Metode penelitian etnografi dianggap mampu menggali informasi secara mendalam dengan sumber-sumber yang luas. Dengan teknik “observatory participant”, etnografi menjadi sebuah metode penelitian yang unik karena mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam sebuah masyarakat atau komunitas sosial tertentu. Yang lebih menarik, sejatinya metode ini merupakan akar dari lahirnya ilmu antropologi yang kental dengan kajian masyarakatnya itu.
Dalam bidang kajian komunikasi, etnografi mempunyai istilah tersendiri, yaitu etnografi komunikasi. Etnografi komunikasi mencakup kajian di bidang etnografi dan komunikasi. Atau dengan kata lain, etnografi komunikasi ialah kajian etnografi yang mengkhususkan diri untuk mengkaji aspek-aspek sosiolinguistik dari suatu kelompok masyarakat.
Di dalam studi sosiolinguistik bahasa tidak hanya dipahami sebagai sistem tanda saja, tetapi juga dipandang sebagai sistem sosial, sistem komunikasi dan sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat tertentu. Oleh karena itu, di dalam kajian bahasa dengan ancangan sosiolinguistik senantiasa akan memperhitungkan bagaimana pemakaiannya di dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Faktor-faktor sosial itu, antara lain: status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya. Selain itu bentuk bahasanya dipengaruhi oleh faktor situasional, misalnya : siapa yang berbicara, bagaimana bentuk bahasanya, kepada siapa, kapan, dimana, dan mengenai masalah apa.
1. Etnis Tionghoa di Surabaya
Tidak dapat dipungkiri lagi keberadaan masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah komunitas yang cukup besar. Mereka sekarang bukan lagi sebagai komunitas yang minoritas, hal ini ditandai dengan banyaknya pemukiman-pemukiman yang bisa dijumpai di hampir setiap kota-kota di Indonesia. Datangnya para orang Tioanghoa ke “tanah Garuda” ini pada awalnya hanya untuk berdagang. Namun seiringnya waktu banyak orang Tionghoa yang memutuskan untuk menetap dan tinggal di Indonesia. Mereka yang menetap ini akhirnya membentuk suatu komunitas sesama orang Tionghoa ditempat yang mereka tinggali. Mulai dari sini juga masyarakat Tionghoa mulai membuka diri untuk berbaur dengan warga sekitar tempat dimana orang Tionghoa berdiam.
Pada abad ke-20, imigran Tionghoa mulai menyebar ke seluruh wilayah Nusantara salah satunya adalah Surabaya. Mereka yang masuk ke Surabaya menjadi beragam, tidak lagi didominasi oleh pedagang kelas menengah atau saudagar kaya, namun dari kalangan lapisan sosial yang rendah seperti tukang-tukang, pedagang kecil, buruh, kuli kasar dan lainnya. Perubahan ini tentu saja berpengaruh terhadap proses penyesuaian mereka dalam membentuk ssstem dan struktur sosial dalam komunitas Tionghoa di tempat baru dan dari tahun ke tahun jumlah orang Tionghoa semakin bertambah.
Para pendatang ini berasal dari berbagai suku yang terdapat di Tiongkok sana. Di Surabaya sendiri masyarakat Tionghoa terdiri dari berbagai suku seperti Hokkian, Hakka, Teo Chiu dan Kong Hu. Ciri khas dari masyarakat Tionghoa adalah hidup yang berkelompok dengan sesama sukunya, sehingga mengakibatkan penggunaan bahasa menjadi khas sesuai dengan ciri khas masing-masing suku.
Situasi kebahasaan di kota Surabaya hampir mirip dengan keadaan kebahasaan di Singapura yang merupakan negara multietnik dan multibahasa. Hal ini disebabkan karena Singapura banyak kedatangan imigran yang jumlahnya sama banyak seperti orang Tiongkok dan orang India yang menyebakan bahasa yang dipakai berbaur dengan orang asli Singapura yaitu Melayu dan juga bahasa Inggris karena saat itu Singapura dibawah jajahan Inggris.
Masyarakat Tionghoa di kota Surabaya adalah salah satu etnik yang memiliki cara berkomunikasi yang khas. Keberagaman komunikasi tersebut bisa dimasukan kedalam konsep-konsep dasar etnografi komunikasi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini ialah: “Bagaimanakah tata bahasa yang digunakan oleh etnis Tionghoa di Surabaya bila ditinjau dari sudut pandang etnografi komunikasi?”

C. Pertanyaan Penelitian
Atas dasar perumusan masalah di atas, maka dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tata cara berkomunikasi etnis Tionghoa di Surabaya?
2. Komunitas komunikasi apakah yang terdapat pada etnis Tionghoa di Surabaya?
3. Bagaimanakah situasi, peristiwa dan tindak komunikasi etnis Tionghoa di Suarabaya?
4. Apa sajakah komponen komunikasi dalam tata bahasa etnis Tionghoa di Surabaya?
5. Nilai-nilai komunikasi apakah yang terdapat dalam tata bahasa etnis tionghoa di Surabaya?



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Etnografi
Istilah etnografi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethnos yang berarti suku bangsa dan graphien yang berarti gambaran. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa etnografi adalah suatu metodologi pengetahuan yang mempelajari mengenai kebudayaan suatu suku bangsa.
Sebagai bagian dari antropologi, etnografi biasanya terdiri atas uraian terperinci mengenai aspek cara berperilaku dan cara berpikir yang sudah membaku pada orang yang dipelajari, berupa tulisan, foto, gambar atau film yang berisi laporan atau deskripsi tersebut.

B. Definisi Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi diantara keduanya. Pada umumnya, komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata (lisan) yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi dengan bahasa nonverbal.

C. Definisi Etnografi Komunikasi
Etnografi komunikasi adalah metode analisis wacana dalam linguistik atau bisa juga dikatakan bahwa etnografi komunikasi merupakan penerapan metode etnografis pada pola komunikasi yang bermakna baik menggunakan tuturan verbal maupun isyarat, bahasa tubuh atau tanda nonverbal dalam sebuah kelompok. Di sini, seorang penafsir mencoba memberikan pengertian bagi beragam bentuk komunikasi yang digunakan oleh anggota kelompok atau budaya.
Sebelum istilah etnografi komunikasi semakin populer dipakai, istilah etnografi berbicara (ethnography of speaking) lebih awal diacu sebagai pemerian pemakaian bahasa lisan. Etnografi komunikasi menjadi lebih luas karena tidak hanya melingkupi modus komunikasi lisan (speaking), tetapi juga melibatkan komunikasi tulis (writing) serta komunikasi isyarat (gesture), gerakan tubuh (kinesics), atau tanda (signing).
Istilah etnography of speaking awalnya diperkenalkan oleh seorang pakar antropologi dan sekaligus pakar linguistik Amerika, Dell Hymes.
Hymes memprihatinkan karya para pakar antropologi dan linguistik yang melupakan wilayah komunikasi manusia yang luas dan penting. Para antropolog telah lama melakukan kajian etnografis tentang aspek-aspek budaya seperti sistem kekerabatan, pandangan tradisional tentang obat-obatan dan penyembuhan penyakit; persoalan bahasa diperlakukan di bawah aspek lain, yaitu sebagai sarana untuk memperoleh topik-topik lain dari bahasa. Banyak buku yang mengkaji tentang perbandingan agama, perbandingan politik dan sebagainya, tetapi tidak ada buku tentang perbandingan wicara dari berbagai suku. Para linguis, menurutnya juga terlalu mementingkan bahasa sebagai sistem abstrak. Mereka terpaku untuk memerikan dan menjelaskan struktur kalimat yang dianggap gramatikal oleh penutur asli. Namun, bagaimana orang menggunakan kalimat itu apakah berbeda dengan kalimat lain, apakah kalimat itu menyuruh orang lain, atau memamerkan ujaran saja, dianggap di luar perhatian teori linguistik. Menurut Hymes “para pakar ilmu sosial memisahkan diri dari isi tutur, dan kedua pakar itu memisahkan diri dari pola penggunaan tutur” (1974:126). Etnografi komunikasi akan mengisi kesenjangan itu dengan menambahkan hal lain (pertuturan atau komunikasi) terhadap topik-topik garapan bidang antropologi bagi pemerian etnografis, dan mengembangkan kajian linguistik.

D. Konsep-Konsep Dasar dalam Etnografi Komunikasi
Menurut Hymes (1974), istilah etnografi komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajian berlandaskan etnografi dan komunikasi. Konsep etnografi wicara di dalam sosiolinguistik menurut Hymes merupakan bagian dari kajian komunikasi secara keseluruhan. Untuk itu perlu dipahami beberapa konsep penting yang berkaitan dengan etnografi wicara:
1. Tata Cara Bertutur
Tata cara bertutur (ways of speaking) mengandung gagasan, peristiwa komunikasi di dalam suatu komunitas mengandung pola-pola kegiatan tutur, sehingga kompetensi komunikatif seseorang mencakup pengetahuan tentang pola itu. Tata cara itu mengacu kepada hubungan antara peristiwa tutur, tindak tutur, dan gaya di satu pihak, dengan kemampuan dan peran seseorang, konteks dan institusi, serta kepercayaan, nilai, dan sikap di lain pihak.
2. Komunitas Tutur
Hymes berpendapat bahwa semua warga komunitas tutur saling terpaut bukan hanya oleh kaidah wicara yang sama, melainkan juga oleh setidak-tidaknya satu ragam (varietas) bahasa. Saville Troike menganggap persamaan bahasa itu tidak perlu, yang penting terdapat persamaan kaidah wicara. Troike juga menyebut adanya komunitas tutur yang tumpang tindih. Seorang mahasiswa adalah warga kampus, tetapi juga warga asrama, warga suku, warga bangsa, dan seterusnya. Tiap komunitas mempunyai sedikit kaidah pembeda komunikasi dan dalam hal-hal tertentu juga kaidah pembeda wicara. Ini berarti, setiap penutur tidak perlu termasuk hanya ke dalam satu komunitas tutur atau ke dalam dua atau lebih komunitas tutur yang sama sekali berbeda. Orang biasanya menjadi anggota dari beberapa komunitas tutur pada saat yang sama. Orang akan mengubah perilaku tuturya, dengan menyesuaikan diri dengan komunitas yang melibatkan tutumya, dengan menambah, mengurangi dan mengganti kaidah perilaku komunikatif.
3. Situasi, Peristiwa dan Tindak Tutur
Untuk mengkaji kebiasaan komunikasi di dalam suatu komunitas tutur, seorang peneliti harus mengamati unit-unit interaksi, yaitu situasi tutur (speech situation), peristiwa tutur (speech event) dan tindak tutur (speech act). Tindak tutur merupakan bagian dari peristiwa tutur dan peristiwa tutur menjadi bagian dari situasi tutur.
Situasi tutur adalah situasi yang dikaitkan dengan tuturan dan tidak ada kaitannya dengan linguistik.
Peristiwa tutur berciri komunikatif dan terikat dengan aturan cara bertutur. Peristiwa tutur dapat terdiri atas satu atau lebih tindak tutur. Dimungkinkan pula suatu tindak tutur sekaligus mencakup peristiwa tutur dan situasi tutur.
Tindak tutur merupakan tataran yang sederhana dan rumit, karena kedudukannya di dalam komunikasi merupakan jenjang terendah namun rumit sebab berkait dengan pragmatik.
Hymes berpendapat bahwa tindak tutur dipengaruhi oleh konteks sosial, bentuk gramatikal dan intonasi.
4. Komponen Tutur
Selain situasi, peristiwa dan tindak tutur masih ada konsep lain yang cukup penting, yaitu komponen tutur. Komponen tutur akan meliputi akronim dari SPEAKING. Konsepnya bisa dijelaskan pada setiap awal huruf, yaitu meliputi:
S = Situasi (act situation), mencakup latar dan suasana. Latar berkaitan dengan lingkungan fisik komunikasi yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Sedangkan suasana akan berkaitan dengan suasana psikologis.
P = Partisipan, mencakup tidak hanya penutur dan mitra tutur, tetapi juga adressor (juru bicara) yang terkadang yang diwakili tidak berada di tempat dan audience (pendengar).
E = End (tujuan), mencakup maksud dan hasil yang akan dipilah atas tujuan dari peristiwa tutur dipandang dari sudut budaya (outcomes) dan tujuan dari masing-masing partisipan (goals).
A = Act sequence (urutan tindak), mencakup bentuk pesan (bagaimana pesan itu disampaikan dan isi pesan (apa yang disampaikan).
K = Key (kunci), yang mengacu pada bagaimana suatu tuturan disampaikan.
I = Instrumentalities (peranti, perabotan), mencakup saluran (lisan, tulis, e-mail) dan bentuk tutur.
N = Norms (norma), mencakup norma interaksi dan norma interpretasi.
G = Genre, yang mengacu pada jenis-jenis wacana yang dipakai.
5. Nilai di Balik Tutur
Di dalam suatu komunikasi peneliti hendaknya mengamati pertuturan yang memiliki kaidah-kaidah tertentu dan yang menentukan kaidah tersebut adalah komunitas tutur. Kalau peneliti ingin mengawali pandangannya dari sudut tutur bukan dari sudut sosial komunitas tutur, peneliti dapat melihat bahwa di balik tutur ada nilai-nilai sosial-budaya. Artinya,dengan melihat tuturan seseorang atau sekelompok orang peneliti akan dapat menentukan atau setidak-tidaknya menerka dapat mengidentifikasi “siapa” orang itu, dari kelompok mana dia, makna sosial tutumya, nilai, ajaran, pandangan hidup dan sebagainya.




BAB III
TATA BAHASA ETNIS TIONGHOA DI SURABAYA

1. Tata Cara Komunikasi Etnis Tionghoa di Surabaya
Tata cara berkomunikasi atau ways of speaking mengandung pengertian bahwa peristiwa komunikasi dalam suatu komunitas mengandung pola-pola kegiatan komunikasi sehingga kompetensi komunikatif seseorang mencakup pengetahuan tentang pola itu. Dalam Masyarakat Tionghoa Surabaya, tata cara berkomunikasi yang mereka pakai berbeda dengan kelompok budaya lainnya. Dalam sistem berdagang, etnis Tionghoa memiliki slang atau jargon-jargon khusus yang hanya dimengerti oleh kalangan sendiri saja. Sedangkan untuk komunikasi sehari-hari dengan masyarakat sekitarnya, masyarakat Tionghoa memiliki pemarkah-pemarkah khusus yang merupakan pengaruh budaya asli mereka baik Mandarin atau Hokkian. Dalam komunikasi sehari-hari masyarakat Tionghoa Surabaya sering menggunakan bahasa campuran antara bahasa Indonesia, Jawa dan mandarin-hokkian. Dapat kita lihat bahwa telah terjadinya percampuran bahasa ini juga menyebabkan tata cara komunikasi masyarakat Tionghoa berubah pula dari seharusnya. Sebagai contoh, cara berbicara orang Tionghoa yang seharusnya agak sedikit kasar kalau didengar karena mereka mengunakan bahasa mandarin yang dalam terdapat tingkatan bunyi atau intonasi yang berbeda tiap katanya. Tapi ketika mereka telah berbaur dengan penduduk asli Surabaya sendiri maka orang Tionghoa berbicara lebih lembut mengikuti logat Jawa. Selain itu, terjadinya percampuran bahasa juga membuat tata cara orang Tionghoa berkomunikasi menjadi lebih mudah dengan orang asli Surabaya karena mengunakan bahasa yang sama dan mengerti bahasa tersebut. Masyarakat Tionghoa Surabaya ketika anak-anak muda melakukan pembicara dengan orang yang dianggap lebih tua, mereka akan hormat sekali dan memperhatikan dengan seksama. Hal ini terjadi karena ada pengaruh dari adat Jawa. Namun ketika diberi kesempatan untuk berbicara mereka akan mengeluarkan apa yang mereka inginkan. Ini merupalan cirri khas dari masyarakat Tionghoa yang mengeluarkan pendapat dengan sangat terbuka.

2. Komunitas Komunikasi Etnis Tionghoa di Surabaya
Hymes berpendapat bahwa semua warga komunitas komunikasi saling terpaut bukan hanya oleh kaidah wicara yang sama, melainkan juga oleh setidak-tidaknya satu ragam bahasa. Jadi yang ditekankan oleh Hymes adalah bahasa yang sama yang dipakai adalah hal yang menentukan orang tersebut masuk kedalam komunitas komunikasi. Tionghoa di Surabaya memiliki komunitas komunikasi berdasarkan bahasa yang dipakai. Seperti yang telah diungkapkan di atas, bahwa orang Tionghoa yang datang ke Surabaya terdiri dari beberapa suku seperti Hokkian, Hakka, Tio Chiu, dan Kong Hu. Mereka yang datang tersebut secara tidak langsung sudah membentuk kelompok masing-masing berdasarkan bahasa yang dipakai. Sebagai contoh adalah suku Hokkian yang merupakan suku Tionghoa yang mendominasi di Surabaya, mereka berkumpul dengan sesama orang Hokkian dan ketika pembicaraan yang terjadi bahasa yang digunakan adalah bahasa Hokkian. Walaupun begitu mereka tetap bergaul dengan orang Tionghoa lainnya. Karena suku Hokkian yang mendominasi maka ketika terjadi percakapaan, bahasa yang dipakai untuk berbicara adalah bahasa Hokkian tanpa mereka tahu apalah lawan bicara mereka adalah orang Tionghoa dari suku Hokkian. Dari contoh ini, teori Hymes mengenai komunitas komunikasi suku Tionghoa dapat dimasukkan kedalam fakta yang ada.

3. Situasi, Peristiwa dan Tindak Komunikasi Etnis Tionghoa di Surabaya
Ada 3 situasi komunikasi yaitu situasi komunikasi, peristiwa komunikasi dan tindak komunikasi. Semua ini saling terkait satu sama lainnya. Tindak komunikasi terjadi karena adanya peristiwa komunikasi, sedangkan peristiwa komunikasi terjadi karena adanya situasi komunikasi. Imlek merupakan hari besar bagi orang-orang Tionghoa dan merupakan perayaan yang besar. Dalam merayakan Imlek setiap orang Tionghoa harus mengucapkan kata-kata yang mengandung makna rejeki, keberuntungan dan lainnya kepada sesama dan hari tersebut dipercayai kita tidak boleh marah, kesal atau sedih karena hari tersebut adalah hari datangnya musim baru yang menandakan datangnya rejeki yang baru. Dalam hal ini yang menjadi situasi adalah Imlek yang dirayakan orang Tionghoa. Sedangkan peristiwanya adalah mengucapkan kata-kata yang bisa mendatangkan hoki kepada orang lain. Sehingga yang menjadi tindak komunikasi adalah harus ceria, senang dan bahagia.

4. Komponen Komunikasi Etnis Tionghoa di Surabaya
Di dalam komponen komunikasi terdapat akronim SPEAKING yang konsepnya bisa diterapkan dalam masyrakat Tiongdoa. Berikut adalah pembahasan dari akronim tersebut:
S = Situation
Orang Tionghoa ketika mereka melakukan komunikasi, mereka melihat latar dan suasana dimana mereka berkomunikasi. Mereka bisa bertindak sesuai dengan situasi yang ada. Tidak menyamakan semuanya harus dikomunikasikan sama.
P = Participation
Biasanya orang Tionghoa melakukan pembicaraan dengan siapa saja. Yang menjadi parsipannya adalah orang sesama suku, antar suku yag lain seperti Hakka dan warga setempat yaitu golongan orang-orang Jawa.
E = End
Orang Tionghoa biasanya melakukan pembicaraan atau berkomunikasi langsung pada tujuannya. Namun dikala situasi yang santai tujuannya pun berubah menjadi pembicaraan yang santai pula.
A = Act Sequence
Bentuk pesan yang sampaikan oleh orang Tionghoa sangat sopan dan memiliki sususan yang cukup rapi. Sedangkan isi dari pesan tersebut biasanya berupa hal-hal yang sangat penting.
K = Key
Kebanyakan orang Tionghoa di Surabaya dalam menyampaikan suatu Komunikasi mengacu pada hal yang santai dan lucu tapi terkadang dijumpai juga penyampaian yang sangat sinis, mereka biasanya adalah para wanita.
I = Instrumentalities
Hal ini mencakup saluran dalam berkomunikasi. Orang Tionghoa dalam berkomunikasi kebanyakan lisan karena mereka adalah orang yang to the point dan sedikit yang melakukan itu secara tertulis.
N = Norms
Orang Tionghoa memiliki norma dalam berdoa atau bersembahyang. Adanya aturan-aturan ketika bersembayang seperti tidak boleh kotor untuk masuk dedalam kelenteng atau berkata sembarangan di dalam klenteng merupakan salah satu contoh dari norma orang Tionghoa.
5. Nilai di Balik Komunikasi Etnis Tionghoa di Surabaya
Sering dikatakan bahwa komunitas etnis Tionghoa dalam segala aspek kehidupannya memiliki hal-hal yang bersifat spesifik termasuk dalam bahasa. Dengan spesifiknya bahasa tersebut maka terdapat suatu unsur nilai dalam komunikasi. Nilai yang terkandung dari komunikasi ini membuat kita sadar bahwa komunikasi yang dilakukan oleh orang Tionghoa di kota Surabaya sudah bisa diterima dalam budaya Indonesia sendiri karena dalam percakapanya bahasa yang digunakan orang Tionghoa tidak lagi semata-mata bahasa Hokkian saja, melainkan bahasa campuran antara Jawa dan Tionghoa itu sendiri.



BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan analisis dan pembahasan di atas, maka kesimpulan yang dapat ditarik mengenai tata bahasa etnis Tionghoa di Surabaya berdasarkan kajian etnografi komunikasi ialah:
Tata bahasa etnis Tionghoa di Surabaya telah mengalami pencampuran dan pembauran antara adat istiadat kebudayaan China dengan adat istiadat kebudayaan Jawa.
Hal ini bisa dilihat dari cara etnis Tionghoa Surabaya dalam berkomunikasi sehari-hari. Bila mereka bercakap-cakap dengan masyarakat setempat, mereka cenderung akan menggunakan bahasa campuran antara bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia, namun bila mereka bercakap-cakap dengan sesama etnis Tionghoa mereka akan cenderung menggunakan bahasa Mandarin-Hokkian dengan sedikit campuran bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Mandarin-Hokkian ketika seorang etnis Tionghoa Surabaya bercakap-cakap dengan sesama etnis Tionghoa lainnya merupakan semacam generalisasi, tanpa memperhatikan dari suku mana etnis Tionghoa yang menjadi lawan bicaranya tersebut.
Selain itu, intonasi yang kuat dalam tata bahasa Mandarin telah mengalami perubahan menjadi intonasi yang lembut dan lambat sesuai dengan tata bahasa Jawa ketika digunakan untuk bercakap-cakap oleh etnis Tionghoa Surabaya, sehingga sekalipun menggunakan bahasa Mandarin ketika bercakap-cakap, bahasa Mandarin yang digunakan oleh etnis Tionghoa Surabaya akan terdengar halus dan lambat serta berlogat Jawa.
Namun dalam hal ini juga bergantung pada umur dan tingkatan generasinya. Secara umum generasi etnis Tionghoa yang lebih muda cenderung menggunakan bahasa Indonesia karena ada permasalahan bahwa hampir sebagian besar generasi masyarakat Cina sekarang tidak dapat berbahasa asli mereka. Itulah sebabnya sekarang banyak generasi muda Tionghoa yang mulai belajar bahasa Mandarin.



DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Ridjal K. Study Guide Cultural Anthropology. Jakarta: Learning Material Center Stikom The London School of Public Relations – Jakarta, 2008.
Chaer, Abdul & Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik. Jakarta : Rineka Cipta.
Hymes, D.H. 1974. Foundation in Sociolinguistic : An Ethnographic Approach. Philadelpia : University Of Pensylvania Press.
Noordjanah, Anjarwati. 2004. Komunitas Tionghoa di Surabaya (1910-1946). Semarang : MESIASS.
http://dwipur_sastra.staff.uns.ac.id/2009/06/03/etnografi-komunikasi-dan-register/

SISTEM KOMUNIKASI INDONESIA

Sistem Komunikasi Indonesia (SKI) dapat didefinisikan sebagai suatu sistem dimana pola-pola komunikasi yang secara ideal dan normatif berdasarkan nilai-nilai Pancasila, norma sosial dan budaya serta hukum dapat diterapkan pada seluruh lapisan masyarakat Indonesia. SKI sebagai deskripsi dari berbagai fenomena komunikasi di dalam masyarakat Indonesia tidak dapat dilepaskan dari aspek politik, pers, ekonomi, teknologi, hukum dan sosial budaya masyarakat Indonesia sebagai bagian dari sistem sosial Indonesia.

SKI dan Budaya Politik di Indonesia
Menurut Almond dan Powell, yang dimaksud dengan budaya politik adalah suatu konsep yang terdiri dari sikap, keyakinan, nilai-nilai dan keterampilan yang sedang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat, termasuk pola-pola kecenderungan khusus serta pola-pola kebiasaan yang terdapat pada kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Masih menurut Almond dan Powell, orientasi individu terhadap system politik mencakup tiga aspek, yaitu:
1. Orientasi kognitif, yaitu pengetahuan dan keyakinan tentang sistem politik.
2. Orientasi afektif, yaitu aspek perasaan dan emosional seorang individu terhadap sistem politik.
3. Orientasi evaluatif, yaitu penilaian sesorang terhadap sistem politik, menunjuk pada komitmen terhadap nilai-nilai dan pertimbangan-pertimbangan politik terhadap kinerja sistem politik.
Orientasi politik masyarakat Indonesia bisa dibilang saat ini sedang tumbuh berkembang menuju ke arah demokratisasi, hal ini bisa dilihat dari sikap dan opini masyarakat terhadap kegiatan politik pemerintah akhir-akhir ini. Menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia terpilih pada 20 Oktober 2009 silam, perhatian masyarakat Indonesia tertuju pada proses seleksi calon menteri yang akan duduk di Kabinet Indonesia Bersatu II. Masyarakat Indonesia berharap bahwa dalam memilih menteri-menterinya SBY dan Boediono memilih orang-orang yang tepat untuk duduk dalam kabinet sesuai dengan kapsitas dan kompetensinya dan tidak hanya memikirkan “balas budi” terhadap parta-partai pendukungnya dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, walaupun semua itu adalah hak prerogatif Presiden. Disini bisa dilihat bahwa masyarakat Indonesia mulai paham dengan proses politik dalam lembaga kepresidenan (orientasi kognitif).
Namun ditengah hiruk pikuk seleksi calon menteri, tidak sedikit pihak-pihak yang menyayangkan metode seleksi yang digunakan oleh SBY dan Boediono hanya sebagai ajang pembentukan citra dan opini dalam masyarakat. Melalui proses seleksi terbuka dengan cara memanggil para calon menteri ke kediaman pribadi SBY untuk diwawancarai yang kemudian diekspos oleh berbagai media di Indonesia, berbagai kalangan menilai bahwa SBY sedang berusaha membentuk citra positif di masyarakat bahwa proses seleksi menteri berjalan transparan dan akuntabel. Namun SBY tidak secara jelas menyebutkan apa dan bagaimana kriteria calon menteri yang diinginkan oleh SBY, kelebihan dan kekurangan masing-masing calon menteri pada setiap bidang, alasan dalam memilih seseorang untuk duduk di posisi menteri bila telah terpilih serta opini masyarakat terhadap menteri terpilih. Inilah transparansi proses yang sesungguhnya dalam proses seleksi menteri Kabinet Indonesia Bersatu II.
Pada saat nama-nama menteri yang akan duduk di Kabinet Indonesia Bersatu II diumumkan oleh SBY pada tanggal 21 Oktober 2009 di Istana Negara, beragam reaksi dimunculkan oleh beragam kalangan masyarakat. Sebagian menganggap bahwa SBY dan Boediono terlalu baik hati dalam membagi-bagikan kursi menteri pada partai-partai politik pendukungnya hingga penempatan orang-orang yang dianggap tidak kompeten dalam bidangnya. Namun polemik yang paling hangat dibicarakan soal menteri-menteri Kabinet Indonesia Bersatu II ialah munculnya nama Endang Rahayu Sedyaningsih sebagai Menteri Kesehatan. Munculnya nama Endang tidak diduga sama sekali sebelumnya karena pada saat proses seleksi calon menteri, nama yang dipanggil SBY untuk menduduki posisi Menteri Kesehatan ialah Nila Djuwita Anfasa Moeloek, istri dari Farid Anfasa Moeloek, mantan Menteri Kesehatan.
Polemik yang muncul berkaitan dengan terpilihnya Endang ialah kedekatan Endang secara personal dengan fasilitas penelitian medis milik Angkatan Laut Amerika Serita Namru-2 yang pernah menjadi polemik saat endemi virus flu burung menyerang Indonesia. Menteri Kesehatan yang menjabat sebelum Endang, Siti Fadillah Supari menganggap bahwa keberadaan Namru-2 di Indonesia sama sekali tidak membawa manfaat bahkan Namru-2 dituding mengumpulkan sampel virus flu burung dari Indonesia untuk dibutkan vaksin yang kemudian dijual kembali ke negara-negara yang membutuhkan termasuk Indonesia. Akhirnya Siti Fadilla Supari pun memutuskan untuk menutup Namru-2. Tak berhenti sampai disitu, Endang pun dituduh pernah membawa sampel virus ke luar negeri tanpa izin dari Departemen Kesehatan. Hal ini terjadi ketika Endang menjabat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Riset Medis Departemen Kesehatan yang berujung kepada dimutasinya Endang oleh Siti Fadillah Supari. Opini publik yang berkembang seputar pemilihan menteri Kabinet Indonesia Bersatu II dan pemilihan Endang sebagai Menteri Kesehatan menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia telah memiliki orientasi afektif dan orientasi evaluatif mengenai proses dan kegiatan politik di Indonesia.
Secara umum, ada beberapa tipe budaya politik yang dikenal dalam mengkaji sistem politik suatu negara, antara lain:
1. Budaya politik parokial
Budaya politik ini umunya terdapat pada masyarakat tradisional dimana orientasi politik individu dan masyarakat masih sangat rendah.
2. Budaya politik subjek
Ciri khas dari budaya politik ini ialah sikap pasrah dalam menerima dan melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah.
3. Budaya politik partisipan
Budaya politik partisipan merupakan budaya politik ideal dimana masyarakat telah memiliki perhatian, kesadaran dan minat yang tinggi terhadap kegiatan politik pemerintah baik dalam proses input maupun proses output politik.
4. Budaya politik subjek – parokial
Budaya politik subjek – parokial menitik beratkan pada sistem pemerintahan sentralisasi, dimana budaya parokial yang berkembang dalam masyarakat sedikit demi sedikit mulai tertekan oleh kebijakan otoriter pemerintah.
5. Budaya politik subjek – partisipan
Dalam budaya politik subjek – partisipan terdapat golongan masyarakat yang secara aktif terlibat dalam proses input politik namun terdapat pula golongan masyarakat yang pasif dan cenderung berorientasi kepada struktur pemerintahan otoriter.
6. Budaya politik parokial – partisipan
Budaya politik parokial – partisipan umumnya berlaku di negara-negara berkembang, dimana masyarakatnya masih terikat kepada budaya parokial namun sedikit demi sedikit mulai terlibat aktif dalam proses politik.
Bila menilik pada jenis-jenis budaya politik yang telah disebutkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa saat ini Indonesia menganut budaya politik parokial – partisipan.
Secara nasional Indonesia yang menganut sistem pemerintahan demokrasi merupakan penganut budaya politik partisipan. Karena pada dasarnya partisipasi masyarakat secara bebas dalam proses politik merupakan inti dari demokrasi, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Hal ini bisa dilihat dari proses pemilu di Indonesia, mulai dari Pilkada (Pemilihan Kepala daerah), Pemilu Legislatif sampai kepada Pilpres (Pemilihan Presiden) yang saat ini telah menganut sistem pemilu langsung. Rakyat bebas menentukan pilihannya sendiri tanpa ada intervensi.
Bahkan sesuai dengan hak partisipatif politiknya, dimana setiap orang dapat berpartisipasi dalam politik baik untuk memilih dan atau dipilih, banyak masyarakat yang kemudian berbondong-bondong mandaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif dari berbagai partai politik yang berpartisipasi dalam Pemilu Legislatif. Partai sebagai bagian dari infrastruktur politik merupakan penyalur aspirasi masyarakat. Sistem multipartai yang dianut oleh Indonesia saat ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam politik diakui oleh pemerintah, walaupun mungkin kondisi ini belum ideal.
Sistem multipartai disatu pihak dapat menguntungkan masyarakat karena masyarakat dapat memilih partai yang benar-benar sesuai visi, misi dan cita-cita perjuangannya dengan idealisme masyarakat. Namun disisi lain, sistem multipartai juga dapat menyulitkan masyarakat. Kesulitan yang ditimbulkan oleh sistem multipartai ialah masyarakat bingung dalam menentukan pilihan partainya, dimana sering kali visi, misi dan cita-cita perjuangan partai tidak terkomunikasikan dengan baik kepada simpatisan partai tersebut. Hal ini dapat kita lihat dalam kampanye partai politik menjelang pemilu, dimana kampanye yang seharusnya menjadi ajang komunikasi dan edukasi politik dari partai kepada simpatisan cenderung menjadi ajang pengerahan massa, hiburan massa dan ajang promosi partai melalui kegiatan sosial seperti pembagian sembako sehingga melupakan esensi dari kampanye itu sendiri.
Namun tentu hal ini tidak bisa semata-mata dilihat dari kacamata politik namun harus pula melihat kondisi ekonomi masyarakat. Diakui atau tidak, sebgian besar masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan status social ekonomi menengah – menengah dan menengah – bawah yang lebih memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pokok ketimbang mendengarkan kaum elit partai berbicara mengenai kondisi makro-Indonesia yang biasanya berkaitan dengan angka-angka statistik. Kaum masyarakat marginal inilah yang kemudian menjadi sasaran dari strategi komunikasi instan partai politik menjelang pemilu.
Selain itu, partisipasi politik masyarakat dalam proses input politik guna mempengaruhi output politik pada budaya politik partisipan di Indonesia juga diakomodir melalui UUD 1945 pasal 28 yang berisi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Tidaklah mengherankan bila saat ini masyarakat Indonesia mulai lebih kritis terhadap pemerintahan dengan seringkali memberikan opini, pendapat, masukan, kritik dan saran serta menyalurkan aspirasinya melalui demonstrasi terbuka. Semua ini adalah bentuk dari partisipasi politik masyarakat dalam input politik.
Sementara itu, bila kita melihat kehidupan sehari-hari masyarakat, di beberapa daerah budaya politik parokial masih kental mengakar dalam kehidupan masyarakat. Kita ambil contoh Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu provinsi di Indonesia. Yogyakarta sebagai daerah istimewa merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang dipimpin oleh seorang raja yang masih berkuasa secara definitif dan administratif. Sosok dan karisma dari seorang Sri Sultan Hamengkubuwono X di mata rakyat Yogyakarta sangat kuat. Bahkan ketika masa jabatan Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai gubernur telah habis pada Oktober 2008 dan Pemerintah sedang memformulasikan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan, rakyat Yogyakarta secara bulat tetap meminta Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk menjadi Gubernur DIY seumur hidup. Hal ini menunjukkan bahwa peran Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai tokoh sentral dalam kehidupan masyarakat amat kuat, walaupun DIY secara administratif memiliki alat-alat kelengkapan pemerintahan layaknya provinsi-provinsi lainnya di Indonesia namun sosok Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai raja sekaligus gubernur amat kuat. Segala perintah dan amanat dari Sri Sultan Hamengkubuwono X dipatuhi dengan segenap hati oleh seluruh elemen masyarakat Yogyakarta.
Selain di Yogyakarta, di beberapa suku adat tradisional di Indonesia pun kondisi yang sama masih berlaku, yaitu budaya politik parokial masih amat kental terasa. Peranan kepala suku sebagai tokoh sentral dalam kehidupan rakyat masih kuat di rasakan. Sebagai contoh, dalam kehidupan masyarakat Suku Towa di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan peranan seorang Ammatowa (kepala adat Suku Towa) amat besar. Seorang Ammatowa sebagai pimpinan adat bisa dikatakan sangat mempengaruhi seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat Suku Towa.
Kedua contoh di atas bisa dikatakan merupakan ciri-ciri dari budaya politik parokial, dimana peranan seorang tokoh sentral dalam kehidupan masyarakat amat kuat.

Sistem Pers dan Politik Di Indonesia
Sistem komunikasi dan politik merupakan dua hal yang selalu terkait dan berhubungan satu sama lain. Sistem komunikasi dan sistem politik merupakan subsistem dari Sistem Komunikasi Indonesia, bersamaan dengan subsistem ideologi, budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan.
Salah satu fungsi dari lembaga pers ialah sebagai jembatan (penghubung) dua arah antara pemerintahan dan negara sebagai subjek pengendali sistem politik dan masyarakat sebagai objek dari suatu system politik. Ini berarti bahwa sistem pers tidak dapat dipisahkan dari sistem sosial dan bentuk pemerintahan negara. Ketika sistem sosial masyarakat berubah, proses dan isi kegiatan politik pun berubah dan system pers pun ikut berubah mengikuti sistem politik dan sosial.
Menurut F. S. Siebert, T. B. Peterson dan W. Schramm, ada empat teori yang berkembang mengenai sistem pers suatu negara, keempat teori itu antara lain:
1. Teori Pers Otoriter (Authoritarian)
2. Teori Pers Liberal (Libertarian)
3. Teori Pers Komunis (Soviet Totalitarian)
4. Teori Pers Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility)
Perbandingan di antara keepat teori pers tersebut ditunjukkan pada table do bawah ini:
Authoritarian Libertarian Soviet Totalitarian Social Responsibility
Berkembang Di Inggris abad ke-16 dan 17 dan diterapkan di beberapa negara Dipraktikkan di Inggris setelah tahun 1688, juga di Amerika Serikat dan berkembang ke seluruh dunia Lahir di Uni Soviet, berkembang di negara-negara komunis Eropa Timur Dikembangkan di Amerika Serikat pada abad ke-20
Sumber atau asumsi dasar Dari falsafah kekuasaan mutlak kerajaan dan pemerintah atau keduanya Dari karya-karya Milton, Locke, Mill, falsafah umum rasionalisme dan hak-hak alam Marxisme, Lenimisme dan pembauran pikiran-pikiran Hegel, serta cara berpikir Rusia di abad ke-19 Dari tulisan W. E. Hocking, rumusan Komisi Kebebasan Pers, para praktisi jurnalistik dan kode etik media
Tujuan utama Mendukung dan mengembangkan kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa dan untuk mengabdi kepada negara Memberi informasi, menghibur, menjual tetapi terutama untuk menemukan kebenaran dan untuk mengontrol pemerintah Membantu suksesnya dan berlangsungnya sistem sosialisme Soviet khususnya kelangsungan diktator partai Member informasi, menghibur, menjual tetapi terutama mengangkat konflik pada forum diskusi
Pihak yang menggunakan media Mereka yang mendapat izin dari kerajaan atau pemerintah Siapa saja yang mempunyai sarana ekonomi Para anggota partai yang setia dan ortodoks Setiap orang yang merasa mempunyai sesuatu untuk disampaikan
Kontrol media Media dikontrol oleh pemerintah, terbit hanya atas izin pemerintah, bahkan kadang-kadang dengan sensor pemerintah Media dikontrol melalui proses kebebasan berpikir untuk menemukan kebenaran, juga melalui proses pengadilan Dikontrol dengan pengawasan ketat dan tindakan-tindakan politik dan ekonomi pemerintah Dikontrol dengan pendapat masyarakat (community opinion), tindakan konsumen (consumer action) dan etika profesi (professional ethics)
Yang tidak boleh dilakukan Mengkritik mekanisme pemerintah dan pejabat yang sedang berkuasa Melakukan pencemaran nama baik, penghinaan, pornografi, tidak sopan dan melawan pemerintah pada waktu perang Mengkritik tujuan partai dan kebijakannya Memuat tulisan yang melanggar hak-hak pribadi yang diakui oleh hukum serta dilarang melanggar kepentingan vital masyarakat
Kepemilikan Swasta yang mendapat izin pemerintah atau pemerintah Pada umumnya adalah swasta Sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah Swasta, kecuali jika pemerintah merasa perlu demi keamanan dan demi kepentingan umum
Ciri khas Media merupakan sarana efektif bagi kebijakan pemerintah meski tidak harus dimiliki pemerintah Media merupakan alat mengecek pemerintah dan untuk memenuhi kebutuhan utama masyarakat Teori ini menonjolkan kontrol ketat oleh pemerintah dan media massa benar-benar menjadi alat negara Media harus memenuhi kewajiban sosial, jika ingkar maka masyarakat akan menekan media tersebut untuk mematuhinya

Menilik pada keempat teori pers yang berkembang di dunia, maka Indonesia pernah menganut tiga diantara empat sistem pers tersebut, yakni sistem pers otoriter, sistem pers liberal dan sistem pers tanggung jawab sosial.
Sistem pers otoriter di Indonesia mulai diterapkan pada masa Orde Lama dan puncak ketatnya kontrol pemerintah terhadap sistem pers terjadi pada masa Orde Baru.
Pada masa Orde Lama atau masa-masa awal kemerdekaan, ditengah pertumbuhan pers yang tengah pesat-pesatnya, pemerintah melalui Presiden Soekarno melakukan kontrol ketat terhadap kegiatan politik yang turut berimbas kepada pers di Indonesia. Ihwal awal mula terjadinya pembredelan pertama terhadap pers Indonesia ialah ketika Indonesia diliputi suasana perpecahan pada tahun 1948. Di masa itu semakin terasa ada dua golongan yang saling bertentangan yakni golongan kanan (Front Nasional) dan golongan ekstrem kiri (komunis) yang disebut FDR (Front Demokrasi Rakyat). Puncak konflik ini ditandai oleh meletusnya pemberontakan Peristiwa Madiun yang didalangi oleh PKI Muso. Peristiwa ini sempat mengguncang pemerintah. Betapa tidak, sementara rakyat kita sedang sibuk menghadapi agresi Belanda, tiba-tiba PKI menusuk dari belakang. Pidato Presiden Soekarno yang berbunyi: "Pilih Soekarno-Hatta atau Muso dengan PKI-nya" sempat menjadi berita utama dalam setiap koran. Di masa penuh konflik inilah untuk pertama kalinya terjadi pemberedelan koran dalam sejarah pers RI. Tercatat beberapa koran dari pihak FDR seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota telah dibreidel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengeritik pihaknya.
Ketika Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai Konstitusi RI, Presiden membatasi kegiatan politik dan pers di Indonesia. Persyaratan untuk mendapatkan SIT (Surat Izin Terbit) dan Surat Izin Cetak diperketat.
Bahkan pada rentang tahun 1950an sampai awal tahun 1960an, pers Indonesia sempat hanya menjadi corong pemerintah tanpa memperjuangkan kepentingan rakyat. Pada masa itu, Presiden Soekarno mengeluarkan pedoman resmi untuk penerbit surat kabar dan majalah di seluruh Indonesia yang intinya ialah bahwa surat kabar dan majalah wajib menjadi pendukung, pembela dan alat penyebar “Manifesto Politik” yang pada saat itu menjadi haluan negara dan program pemerintah.
Memasuki masa Orde Baru (tahun 1966), merupakan masa-masa kelam bagi pers Indonesia. Melalui Undang-Undang Pokok Pers No 11 tahun 1966 (yang kemudian diperbaharui menjadi Undang-Undang Pokok Pers No 21 tahun 1982), disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak penerbitan pers asal sesuai dengan hakekat demokrasi Pancasila.
Namun seiring dengan semakin kuatnya kekuasaan Presiden Soeharto, pemerintah melalui Departemen Penerangan muali melakukan kontrol dan pengawasan yang ketat terhadap isi pemberitaan media, mulai dari keharusan memiliki SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dan Surat Izin Terbit, kontrol isi dan sensor yang ketat terhadap pemberitaan media, peringatan, ancaman, pengrusakan, maraknya kasus pembredelan terhadap berbagai media cetak (surat kabar dan majalah) karena dianggap meresahkan masyarakat dan membentuk opini yang tidak baik terhadap pemerintah di mata rakyat karena kritikan mereka terhadap pemerintah yang pada akhirannya dianggap dapat merusak stabilitas nasional dan membocorkan rahasia negara bahkan sampai kepada kasus pembunuhan wartawan.
Pada masa itu, bila suatu surat kabar atau majalah memberitakan berita yang isinya mengkritik, mempertanyakan berbagai kebijakan pemerintah atau mengungkap berbagai masalah yang berkaitan dengan pemerintah, lembaga-lembaga negara ataupun elemen-elemen pendukung negara lainnya, maka hampir dapat dipastikan surat kabar dan majalah tersebut akan ditutup atau dicabut SIUPP-nya oleh pemerintah melalui Departemen Penerangan. Contoh beberapa surat kabar dan majalah yang pernah dicabut Surat Izin Terbit dan SIUPP-nya oleh pemerintah ialah Sinar Harapan, tabloid Monitor dan Detik serta majalah Tempo dan Editor.
Sementara itu, sistem pers liberal diterapkan di Indonesia pasca Orde Baru dan pada awal-awal masa reformasi. Melalui Menteri Yunus Yosfiah, Presiden Habibie yang menggantikan Presiden Soeharto mencabut aturan mengenai SIUPP karena peraturan SIUPP dianggap bertentangan dengan HAM. Bahkan pada masa pemerintahan selanjutnya, pemerintahan Gus Dur – Mega juga turut menghapus Departemen Penerangan yang selama masa Orde Baru menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam menertibkan pers.
Dengan dihapuskannya SIUPP, maka pengurusan untuk mendirikan perusahaan atau penerbit pers tidak lagi bertele-tele melewati birokrasi yang rumit. Siapa saja asalkan memiliki modal dan sumber daya dapat mendirikan perusahaan pers. Dengan demikian dimulailah sistem pers liberal di Indonesia.
Kebebasan mutlak yang diperoleh pers Indonesia ternyata kemudian membuat pers larut dalam euforia kebebasannya. Pers seolah kebablasan dalam menyajikan berita kepada masyarakat. Pada masa itu, pers seolah-olah beramai-ramai membongkar keburukan dan kebobrokan system pemerintahan Orde Baru. Pers seolah menjadi hakim baru dalam masyarakat dengan metode pemberitaan trial by the press (pengadilan oleh pers). Dengan kata lain, pers cenderung mengadili seseorang bersalah sebelum munculnya putusan pengadilan. Hal ini tentu melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan menyulitkan terdakwa untuk memperoleh penyidikan pengadilan yang adil dan tidak berpihak. Kasus trial by the press ini dapat dilihat dalam berbagai pemberitaan mengenai Soeharto dan keluarganya.
Selain itu pers juga kehilangan self censorshipnya. Dengan kata lain, dalam memberitakan sesuatu, pers tidak mempertimbangkan terlebih dahulu apakah pemberitaan tersebut layak dimunculkan kepada penonton atau tidak. Akibatnya hampir setiap hari kita dapat melihat pemberitaan media yang mengandung unsur kekerasan tanpa sensor. Hal ini diakibatkan oleh besarnya keinginan masyarakat untuk mengetahui kebenaran dari media sehingga permintaan pasar mampu mengalahkan idealisme media.
Selain itu, kondisi pers semakin diperparah dengan munculnya beragam surat kabar dan tabloid yang mengusung unsure pornografi dan misteri sebagai jualan utamanya, sebut saja Lampu Merah, NonStop, majalah Popular dan Misteri, tabloid Kiss dan Sensual dan lain sebagainya.
Sedangkan di media televisi, kita dapat menyaksikan beragam acara yang mengusung tema misteri, antara lain Dunia Lain di TransTV, Pemburu Hantu di Lativi (sekarang TV One), Kisah Misteri di RCTI dan masih banyak lainnya. Media berkhilah bahwa semua acara-acara tersebut merupakan permintaan pasar dan media hanya memenuhi permintaan pasar.
Namun ternyata, lama-kelamaan masyarakat mulai jenuh dan resah dengan berbagai pemberitaan media yang mengandung unsur kekerasan, seksualitas dan misteri karena dianggap tidak sesuai dengan moral, etika dan falsafah kehidupan berbangsa yang berlandaskan Pancasila.
Salah satu contoh kasus yang mungkin dapat menggambarkan kekuatan masyarakat dalam menyaring isi media ialah kasus tabloid Monitor pimpinan Arswendo Atmowiloto beberapa tahun yang lalu. Tabloid tersebut mengadakan poling pembaca mengenai peringkat orang terkenal di dunia. Hasil angket menempatkan Soeharto pada urutan pertama, Arswendo Atmowiloto sendiri pada urutan kesembilan dan Nabi Muhammad SAW pada urutan kesepuluh. Pemuatan nama Nabi Muhammad yang berada di bawah Soeharto dan Arswendo ini memicu reaksi keras dari umat Islam di Indonesia karena dinilai tidak etis. Akhirnya atas pertimbangan Dewan Pers, pemerintah mencabut izin terbit tabloid ini dan Arswendo sendiri mendekam di penjara selama beberapa tahun. Sebelumnya sudah seringkali tabloid Monitor menampilkan judul dan cover berbau pornografi.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sebagai konsumen media menaruh perhatian besar terhadap isi dari media. Apa yang diberitakan media harus bisa dipertanggung jawabkan baik secara etika, moral, ketepatan dan objektivitas serta keadilan bagi setiap orang. Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang pers dan Undang-Undang No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran mengatur peran serta masyarakat untuk turut serta mengembangkan dan mengawasi pers dan penyiaran di Indonesia. Dengan peran serta masyarakat sebagai pengawas kegiatan pers dan penyiaran di Indonesia maka Indonesia pun menganut sistem pers Tanggung jawab Sosial.

Sistem Komunikasi dan Teknologi
Perkembangan teknologi dalam kehidupan manusia telah mengubah kebudayaan manusia. Menurut Marshall Mc Luhan, “the medium is the message”, artinya terkadang media yang digunakan untuk menyampaikan suatu pesan lebih penting daripada isi pesan itu sendiri. Dan saat ini perkembangan teknologi di bidang media yang sedang mencapai puncaknya ialah perkembangan media digitall dan media mobile.
Contoh nyata dari determinisme teknologi dapat dilihat pada kasus peralihan medium surat ke medium SMS atau e-mail sebagai bentuk komunikasi. Beberapa tahun yang lalu sangatlah lazim menggunakan surat sebagai media komunikasi. Bila hendak mengirimkan kabar kepada seseorang kita akan mengirimkan surat kepada orang tersebut baik melalui kantor pos maupun melalui jasa kurir. Namun saat ini sangat jarang sekali ditemukan masyarakat perkotaan menggunakan surat untuk berkomunikasi. Selain dengan alasan biaya, waktu yang dibutuhkan agar surat dapat sampai di alamat yang dituju juga dinilai amat lambat sementara aktivitas manusia terus berlangsung tanpa henti sehingga pengiriman surat dinilai tidak efektif dan efisien. Sebagai gantinya, masyarakat cenderung lebih suka menggunakan teknologi SMS ataupun e-mail. Selain biayanya relatif lebih murah, pengiriman sms dan e-mail juga nyaris tidak membutuhkan waktu. Bila saat ini kita mengirimkan SMS ataupun e-mail, maka dalam rentang waktu beberapa menit SMS atau e-mail yang kita kirimkan tersebut akan sampai di alamat yang kita tuju.
Namun sebagian masyarakat menganggap bahwa SMS dan e-mail tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran surat tertulis. Alasannya ialah penyampaian berita lewat SMS dan e-mail sifatnya kurang formal terutama bila pesan hendak disampaikan kepada orang yang lebih tua ataupun orang yang dihormati dan disegani, sehingga SMS dan e-mail hanya dapat digunakan untuk penyampaian pesan secara informal antar sesama rekan yang saling mengenal. Namun untuk penyampaian berita yang sifatnya formal tetap harus menggunkaan surat tertulis, seperti misalnya undangan pernikahan ataupun surat pemberitahuan resmi lainnya.
Contoh sederhana lainnya bahwa perkembangan teknologi dapat mengubah kebudayaan manusia ialah handphone. Beberapa tahun yang lalu ketika handphone belum sepopuler sekarang, masyarakat akan sangat panik bila lupa membawa dompet yang biasanya berisi kartu identitas dan lain sebagainya. Namun ketika perkembangan handphone di Indonesia semakin baik dan hampir setiap orang di perkotaan memiliki handphone, masyarakat tidak lagi merasa panik bila mereka meninggalkan dompet di rumah. Masyarakat akan lebih merasa panik bila meninggalkan handphone mereka di rumah. Masyarakat lebih memillih meninggalkan dompet dibanding meninggalkan handphone mereka.
Perubahan kebudayaan manusia tak lepas dari pengaruh peralihan teknologi analog ke teknologi digital. SMS dan e-mail dan handphone dalam contoh di atas merupakan satu dari sekian banyak teknologi digital yang mempengaruhi kehidupan manusia. Saat ini hampir tidak ada satu aspek pun dalam kehidupan kita yang tidak tersentuh oleh teknologi digital, terutama dalam bidang informasi dan teknologi. Surat digantikan oleh SMS dan e-mail; buku dan surat kabar digantikan oleh e-book dan e-newspaper; tayangan televisi digantikan oleh video streaming; mesin tik diantikan oleh software word processing di computer; permainan anak-anak digantikan oleh game-game digital; kaset dan CD music digantikan oleh iPod dan MP3 Player bahkan dalah hal sosialisasi pun kita difasilitasi oleh beragam situs jejaring sosial.
Perkembangan teknologi digital pun terus berkembang menjadi teknologi mobile. Hal ini untuk memenuhi tuntutan kebutuhan manusia yang semakin aktif dan dinamis dengan mobilitas yang tinggi sehingga beragam alat-alat teknologi yang memudahkan pekerjaan manusia itu dapat dibawa kemanapun ia pergi sehingga akan semakin memudahkan pekerjaan manusia. Contohnya ialah handphone yang merupakan teknologi digital sekaligus mobile sehingga manusia bisa tetap berkomunikasi kapanpun dan dimanapun; laptop dan netbook yang merupakan bentuk mobile dari komputer sehingga seseorang dapat bekerja dimanapun dan kapanpun; iPod yang memungkinkan kita untuk mendengarkan musik dan menonton video dimanapun dan kapanpun serta PSP yang merupakan bentuk mobile dari Sony Playstation yang memungkinkan kita untuk bermain games dimanapun dan kapanpun bahkan saat ini media elektronik dapat menyiarkan program-programnya secara langsung dari lokasi manapun dengan teknologi OB (Outside Broadcasting) Van yaitu sebuah kendaraan yang dilengkapi teknologi untuk menyiarkan program secara live kapan pun dan dimana pun.. Jadi pada prinsipnya ialah teknologi mobile dikembangkan agar manusia bisa melakukan aktivitas apa pun dimana pun dan kapan pun.
Selain itu perkembangan teknologi digital dan mobile juga telah mengubah perilaku masyarakat dalam menjalankan aktivitas dan pekerjaannya. Saat ini mulai banyak profesi-profesi yang dikerjakan tidak di kantor secara fisik melainkan di virtual office. Virtual office merujuk pada suatu tempat dimana seseorang dapat mengerjakan segala pekerjaan-pekerjaannya dimanapun ia berada dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi. Umumnya profesi-profesi yang menggunakan virtual office merupakan profesi-profesi di bidang kreatif.
Sebagai subsistem dari Sistem Komunikasi Indonesia, pers dan media di Indonesia pun tak luput dari perkembangan teknologi digital dan mobile. Dulu ketika seorang wartawan selesai mengumpulkan data dan informasi untuk bahan beritanya, maka ia harus kembali ke kantor beritanya untuk menuliskan berita tersebut untuk diserahkan kepada editor dan naik cetak sebelum deadline. Peralatan untuk menuliskan beritapun masih sangat sederhana, yaitu dengan menggunakan mesin tik. Kreativitas wartawan dalam menuliskan berita pun sangat terbatas karena peralatan yang memang seadanya dan tingkat kesulitan yang tinggi karena wartawan tersebut dalam menuliskan beritanya tidak boleh melakukan kesalahan baik dalam penulisan maupun pengejaan. Belum lagi waktu yang terbuang selama seorang wartawan berada di lapangan untuk proses pengumpulan data dan bahan berita.
Namun pekerjaan wartawan sedikit terbantu ketika penggunaan komputer mulai meluas dan dikembangkannya software word processing. Wartawan dapat mengembangkan kreativitasnya dalam penulisan berita dan iapun tidak perlu lagi takut melakukan kesalahan dalam pengetikan karena tulisan dapat diedit terlebih dahulu sebelum dicetak. Seiring dengan meluasnya penggunaan laptop dan internet, seorang wartawan bahkan dapat menulis berita segera setelah ia mengumpulkan cukup data dan bahan untuk beritanya tanpa perlu kembali ke kantor beritanya terlebih dahulu untuk menuliskan berita, setelah sang wartawan selesai menulis beritanya wartawan tersebut hanya perlu mengirimkan hasil tulisannya lewat e-mail ke kantor beritanya. Ini tentu meningkatkan efisensi kerja wartawan media. Bahkan saat ini banyak wartawan yang hanya mengumpulkan potongan-potongan berita singkat hanya untuk sekedar menyampaikan perkembangan terkini dari suatu kejadian sehingga masyarakat akan selalu up-to-date dalam mengikuti perkembangan informasi terkini. Akibatnya saat ini muncul beragam situs berita online yang beritanya diupload oleh wartawan-wartawan mereka secara langsung dan hampir setiap menit selalu ada berita baru yang diupload. Contoh beberapa situs berita online seperti ini antara lain Kompas Cyber Media (Kompas.com), Detik.com, Okezone.com, Astaga.com dan masih banyak lagi.
Namun masalah yang kerap kali muncul seiring dengan cepatnya penyampaian berita oleh wartawan kepada masyarakat ialah masalah keakuratan berita. Seringkali karena wartawan terlalu diburu oleh waktu untuk sesegera mungkin memberikan laporan mengenai suatu peristiwa, wartawan tersebut hanya melaporkan apa yang ia lihat di lapangan tanpa melakukan penyelidikan adan investigasi lebih lanjut untuk mengungkap kebenaran dari berita yang ia peroleh. Kita ambil contoh kasus pemberitaan penyergapan tersangka teroris Ibrohim di Desa Beji, Kemcatan Kedu, Temanggung, Jawa Tengah beberapa bulan yang lalu.
Pada saat penyergapan yang berlangsung selama hampir 18 jam tersebut, berbagai wartawan dari berbagai media baik cetak maupun elektronik berkumpul disana dan berusaha memberikan laporan secara langsung setiap perkembangan yang terjadi di lapangan. Wartawan dari salah satu stasiun televisi berita swasta pada laporan pagi hari melaporkan bahwa ada dugaan atau diduga bahwa tersangka teroris yang disergap oleh Densus 88 itu adalah Noordin M Top. Beberapa saat kemudian ketika pemberitaan semakin hangat dan meluas dan hampir semua perhatian masyarakat tertuju pada berita tersebut, media tersebut melaporkan bahwa diduga kuat bahwa tersangka teroris yang disergap dan telah tewas tersebut ialah Noordin M Top. Pada saat siang hari ketika petugas kepolisian mengevakuasi jenazah tersangka teroris keluar dari lokasi penyergapan media tersebut menyampaikan bahwa tersangka teroris yang tewas dalam penyergapan dipastikan ialah Noordin M Top.
Masyarakat pun bergembira dan menyampaikan sejuta pujian terhadap kinerja kepolisian yang berhasil menumpas tersangka teroris paling dicari di Indonesia itu. Namun kegembiraan dan pujian pupus setelah beberapa hari kemudian pihak kepolisian menyampaikan bahwa yang tersangka teroris yang tewas dalam penyergapan di temanggung bukanlah Noordin M Top melainkan Ibrohim, salah satu kaki tangan dari Noordin M Top dan salah satu otak pelaku peledakan Bom Marriott II.
Kesalahan pemberitaan oleh media ini tentu menjadi tanda tanya besar oleh masyarakat mengenai keakuratan penyampaian berita oleh media. Ditambah lagi pimpinan redaksi media tersebut mengakui bahwa wartawannya di lapangan terpengaruh oleh desas-desus yang beredar di kalangan sesama wartawan tanpa melakukan pengecekan lebih lanjut agar berita yang diterima benar-benar akurat. Semua itu akibat dari keinginan media untuk menyampaikan setiap perkembangan berita secara up-to-date.
Selain itu pengaruh dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di bidang media juga mempunyai dampak yang sangat luas terhadap masyarakat yakni kemampuan media tersebut untuk mengubah paradigma, pikiran dan perilaku dari konsumen media. Salah satu contoh dari bagaimana sebuah media dapt mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat ialah kasus yang melibatkan dua institusi penegakan hukum di Indonesia yaitu Polri vs KPK atau yang lebih dikenal dengan istilah Cicak vs Buaya walaupun akhirnya istilah ini tidak lagi dipakai atas permintaan Kapolri Jend. Pol. Bambang Hendarso Danuri.
Kasus yang tengah menjadi agenda media dan menyita perhatian seluruh masyarakat Indonesia ini tentu disini tidak akan dibahas siapa yang bersalah dan siapa yang tidak bersalah, karena wewenag untuk menentukan siapa yang bersalah dan siapa yang tidak bersalah di muka hukum ada di tangan Pengadilan. Tetapi yang akan dibahas disini ialah bagaimana agenda media dan pemberitaan yang terus menerus mampu mengubah perilaku dan pikiran masyarakat. Pada mulanya kasus ini hanya menjadi kasus biasa walaupun telah banyak dibicarakan oleh masyarakat, namun begitu media gencar memberitakan bahwa KPK memiliki rekaman bukti kriminalisasi KPK dan kemudian Polri bereaksi dengan menahan Bibit dan Chandra, maka masyarakat pun bereaksi keras menentang penahanan itu dan menuntut Polri segera membebaskan Bibit dan Chandra dari tehanan, bahkan tuntutan masyarakat meluas pada pengunduran diri Kapolri, Kabareskrim dan Jaksa Agung. Presiden yang terus menerus didesak oleh media dan masyarakat untuk menyelesaikan kasus ini pun akhirnya bertindak dengan memberikan keterangan pers mengenai sikapnya, namun ketidakpuasan masyarakat akhirnya membuat Presiden SBY membentuk Tim Verifikasi Fakta Penahanan Bibit dan Chandra atau yang lebih dikenal dengan nama Tim 8.
Disini jelas bahwa apa yang menajdi agenda media itulah yang menjadi agenda masyarakat. Bahkan administrator atau creator dari Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto di situs jejaring social Facebook pada halaman informasinya sempat mengungkapkan bahwa media teknologi dan informasi seperti Facebook merupakan suatu media yang sangat efektif dan cepat untuk menggalang dukungan serta penyebaran ideologi (pemikiran). Apalagi ditengah arus informasi saat ini dimana hampir semua golongan masyarakat mampu mengakses informasi lewat beragam media massa dan derasnya arus pemberitaan media massa mengenai kasus ini, maka Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto ini menjadi sangat efektif. Para Facebookers yang tergabung dalam gerakan ini telah menjadi semacam perwakilan dari kekuatan rakyat. Salah satu stasiun televisi swasta bahkan menyebut para anggota gerakan ini sebagai “Parlemen Online” karena suara mereka benar-benar mampu mempengaruhi proses politik di negeri ini, walaupun mereka semua tidak saling mengenal satu sama lain dan hanya berkomunikasi secara online lewat Facebook. Kesuksesan dari Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto ini ternyata juga diikuti oleh group-group sejenis lainnya di Facebook, antara lain Gerakan 1.000.000 Facebookers Kecam Komisi III DPR, Dukung Polri dan Kejaksaan Agung serta group-group sejenis lainnya.
Contoh terakhir dari perkembangan media informasi dan komunikasi dalam masyarakat ialah berkembangnya citizen journalism (jurnalisme masyarakat) yaitu masyarakat yang dengan sukarela memberikan kontribusi untuk menyampaikan informasi mengenai suatu peristiwa dengan tujuan untuk berbagi. Perkembangan citizen journalism tak terlepas dari meluasnya pemakaian internet oleh masyarakat. Citizen journalism ini kebanyakan dilakukan lewat media internet seperti melalui blog dan forum-forum online atau melalui berbagai situs jejaring sosial seperti facebook dan Twitter.
Terkadang dalam beberapa kasus citizen journalism lebih cepat dalam menyampaikan berita dibanding dengan media konvensional. Sebagai contoh pada kasus Bom di Hotel Ritz-Carlton dan J. W. Marriott pada 17 Juli 2009, ketika ledakan bom terjadi pada pukul 07.50 pada pukul 07.54 di forum online Kaskus, sudah ada yang memposting thread mengenai ledakan tersebut, sementara media-media lainnya umumnya baru memberitakan mengenai ledakan tersebut sekitar pukul 08.00. Anggota dari forum online Kaskus yang memposting thread tersebut merupakan salah seorang karyawan yang bekerja di salah satu gedung perkantoran yang berada tak jauh dari lokasi ledakan. Kaskus sendiri merupakan sebuah forum online yang mengkliam dirinya sebagai forum komunitas online terbesar di Indonesia dengan 1.193.645 anggota terdaftar. Kaskus dapat diakses melalui alamat web di http://www.kaskus.us/.
Melihat uraian di atas tentu kita akan beranggapan bahwa penetrasi teknologi di bidang informasi dan komunikasi di Indonesia sudah maju, namun ternyata perkembangan teknologi yang demikian pesatnya hanya dapat dinikmati oleh sebagian masyarakat saja seperti masyarakat perkotaan dan masyarakat dengan status sosial ekonomi menengah-menengah dan menengah-atas. Mereka-mereka inilah yang mampu mengkonsumsi beragam teknologi untuk menunjang aktivitas sehari-hari. Bila sebagian besar masyarakt perkotaan telah memiliki dan memanfaatkan teknologi handphone atau mungkin Blackberry, maka sekitar 38.471 desa di seluruh Indonesia sama sekali belum tercover oleh jaringan telepon tetap (PSTN). Hal ini tentu menimbulkan ketimpangan terhadap akses teknologi informasi dan komunikasi di masyarakat Indonesia.

Sistem Komunikasi dan Ekonomi
Pada abad ke-21, sebagai era digital dan perkembangan teknolgi informasi dan komunikasi semakin pesat, konsumsi media dan informasi telah tumbuh dalam skala massal dan telah menjadi suatu komoditas dagang. Hal ini di satu sisi membuat media semakin terjangkau bagi masyarakat namun di sisi lain kesenjangan dalam konsumsi media dalam kehidupan masyarakat juga semakin tajam.
Perkembangan teknologi membuat kebutuhan manusia akan informasi menjadi semakin krusial. Media dan informasi telah melintasi ruang dan waktu. Seluruh kejadian yang terjadi di seluruh dunia dapat kita ketahui lewat berbagai media yang sekarang hadir di tengah masyarakat. Konsumsi media pun meningkat secara drastis, sebab sedikit saja kita tertinggal dalam mendapatkan informasi maka kita akan tertinggal dalam peradaban manusia, sebab kecerdaan manusia bisa dikatakan bergantung pada sebanyak apa informasi yang ia miliki.
Hal ini menyebabkan tingkat konsumsi media masyarakat meningkat, sebagai contoh dalam sebuah keluarga selain berlangganan surat kabar untuk mengetahui perkembangan informasi, namun kita juga hampir dapat dipastikan juga menyaksikan tayangan televisi, radio atau mungkin internet. Kebutuhan manusia akan informasi menyebabkan nilai ekonomis dari informasi semakin tinggi sehingga menjadikan informasi sebagai suatu komoditas dagang baru dalam era informasi di abad ke-21 ini. Oleh sebab itu tidaklah heran bila saat ini kita melihat pertumbuhan media baik media cetak maupun elektronik terus meningkat. Perkembangan paling besar sebenarnya terjadi pada media elektronik. Saat ini semakin banyak bermunculan televisi-televisi lokal yang membidik segmen masyarakat lokal dengan jangkauan area terbatas. Selain televisi, media elektronik lain yang juga berkembang dengan pesat ialah situs berita online. Hal ini disebabkan karena biasa produksi dari situs berita online yang bisa dikatakan cukup rendah.
Sebuah media yang mampu menampilkan pemberitaan dengan tingkat akurasi, objektivitas dan kredibilitas yang tinggi serta sanggup menyajikan perkembangan informasi secara real time akan memiliki konsumen yang tinggi. Sebagai contoh, di bidang televisi jika kita ingin mengikuti perkembangan berita maka kita cenderung akan memilih menonton Metro TV dibanding menonton Global TV, sedangkan di bidang surat kabar kita akan memilih membaca Kompas dibanding membaca Lampu Merah. Tingkat konsumsi masyarakat yang tinggi terhadap suatu media terntu akan menguntungkan media tersebut karena pendapatan dari pemasangan iklan tentu akan meningkat pula.
Dampak dari semakin meningkatnya pertumbuhan media ialah semakin ketatnya persaingan dalam mendapatkan konsumen serta menurunnya keuntungan yang didapat sementara ongkos produksi yang dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah acara atau media yang berkualitas terus meningkat.
Akibatnya adalah, dalam menghasilkan sebuah program acara, stasiun televisi cenderung mengikuti trend acara yang sedang digandrungi oleh masyarakat. Beberapa tahun yang lalu, ketika trend tayangan misteri sedang in di masyarakat Indonesia, hampir semua stasiun televisi nasional menghadirkan tayangan misteri bagi pemirsa mereka. Tayangan misteri di televisi nasional Indonesia dipioniri oleh Kisah Misteri (Kismis) di RCTI yang menghadirkan cerita-cerita misteri yang dialami oleh narasumber. Begitu pula ketika tayangan drama seri Taiwan, Jepang dan Korea sedang popular di kalangan pemirsa televisi, kita dapat dengan mudah menemukan sinetron-sinetron Indonesia yang ide cerita atau bahkan alur ceritanya sama persis dengan drama seri Taiwan, Jepang dan Korea yang popular di tanah air yang ditayangkan oleh stasiun televisi nasional. Trend ini dimulai ketika stasiun televisi Indosiar menayangkan drama seri Taiwan Meteor Garden yang kemudian ide dan alur ceritanya diikuti oleh sinetron Indonesia berjudul Siapa Takut Jatuh Cinta yang ditayangkan oleh stasiun televisi SCTV.
Atas dasar tuntutan profit pulalah, setiap berita atau acara yang ditayangkan oleh media selalu didasarkan pada perhitungan ekonomis, apakah acara atau berita yang ditayangkan oleh media tersebut dapat menarik minat konsumen media dan memberikan profit bagi perusahaan media. Dalam media elektronik seperti televisi dan radio dikenal istilah rating dan share sebagai tolak ukur seberapa besar minat konsumen media untuk menyaksikan acara yang ditayangkan oleh media. Bila tayangan tersebut menarik minat masyarakat dan rating serta share-nya tinggi, maka acara tersebut akan dilanjutkan penayangannya oleh media bahkan dibuat sekuel-sekuelnya, namun bila rating serta share dari acara tersebut rendah maka dapat dipastikan cepat atau lambat penayangan acara tersebut akan dihentikan oleh media.
Atas dasar tersebut, saat ini banyak perusahaan-perusahaan media di Indonesia yang bergabung satu sama lain dan bersinergi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi serta guna mneghadapi persaingan antar media yang semakin ketat (concentration of ownership). Kita mengenal beberapa jenis konsentrasi media yang terjadi pada media-media di Indonesia, antara lain:
1. Chain / Broadcast network
Chain atau broadcast network pada dasarnya ialah ketika sebuah perusahaan media memiliki beberapa jaringan media sejenis yang tersebar di beberapa daerah di dalam wilayah suatu negara. Umumnya istilah chain network digunakan peda media cetak seperti misalnya Jawa Pos Group yang memiliki surat kabar tersendiri untuk setiap provinsi di Indonesia namun masih merupakan bagian dari jaringan Jawa Pos Group. Sedangkan istilah broadcast network umumnya lebih banyak digunakan pada media elektronik seperti radio dan televisi. Contoh dari broadcast network ialah jaringan radio Trijaya Network. Selain Trijaya FM Jakarta, Trijaya Network juga memiliki sejumlah radio-radio lainnya di seluruh Indonesia.
2. Cross-media Ownership
Cross-media ownership ialah ketika sebuah perusahaan media memiliki lebih dari satu jenis media. Contoh dari cross-media ownership di Indonesia ialah MNC, salah satu perusahaan media terbesar di Indonesia yang memiliki media televisi, radio, situs berita online, surat kabar dan tabloid. Di bidang televisi, MNC memiliki stasiun televisi RCTI, TPI dan Global TV; di media radio MNC memiliki jaringan radio Trijaya Network dan Women Radio; pada media MNC memiliki harian Sindo, tabloid Genie, tabloid Mom & Kiddie serta tabloid Realita; selain itu MNC juga memiliki situs berita online Okezone.com dan jaringan televisi berlangganan Indovision. Contoh lain dari cross-media ownership ialah Media Group yang memiliki stasiun televisi Metro TV dan harian Media Indonesia.
3. Internasionalisasi
Internasinalisasi ialah bersinerginya perusahaan media nasional dengan media internasional. Salah satu contoh internasionalisasi ialah bergabungnya stasiun televisi AnTV dengan Star TV.
Tidak seperti jaringan media cetak dimana perusahaan media diperbolehkan untuk memiliki jaringan sebanyak-banyaknya, maka dalam jaringan media elektronik jaringan yang dimiliki oleh perusahaan media dibatasi oleh peraturan perundangan. Hal ini untuk mencegah monopoli siaran dan untuk mecegah penyebaran opini dalam masyarakat yang didasarkan pada subjektivitas media. Karena pada dasarnya tidak ada satu media pun yang dalam pemberitaannya benar-benar objektif tanpa ada pengaruh subjektivitas pribadi sama sekali. Wartawan dalam menulis berita sedikit banyak akan dipengaruhi oleh subjektivitasnya, editor dalam mengedit berita sedikit banyak dipengaruhi oleh subjektivitasnya dan Pemred dalam membuat editorial atau opini media sedikit banyak akan dipengaruhi oleh subjektivitasnya.
Contoh dari subjektivitas media dapat kita lihat dalam “perang” pemberitaan antara Metro TV dan TV One pada saat menjelang dan selama proses pemilihan ketua umum baru Partai Golkar. Hal ini disebabkan karena kedua media tersebut dimiliki oleh kader Partai Golkar yang saling berebut posisi ketua umum partai Golkar. Metro TV dimiliki oleh Surya Paloh yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, sedangkan TV One dimiliki oleh Anindya Bakrie, anak dari Aburizal Bakrie yang merupakan kader Partai Golkar. Kedua stasiun televisi berita tersebut saling berperang lewat pemberitaan dan berusaha membentuk opini publik bahwa sosok yang diusungnya merupakan sosok yang paling pantas menduduki posisi ketua umum partai Golkar. Akibatnya dalam setiap pemberitaan menyangkut proses pemilihan ketua umum Partai Golkar, kedua stasiun televise ini seolah terlibat rivalitas dan menyajikan berita dengan sudut pandang yang sangat bertentangan. Bahkan ketika akhirnya Aburizal Bakrie terpilih sebagai ketua umum Partai Golkar yang baru, Metro TV sama sekali tidak memberitakan mengenai hal ini. Hal ini kontras sekali dengan kondisi sebelum penetapan ketua umum Partai Golkar yang baru dimana Metro TV selalu berusaha memberikan laporan perkembangan terbaru dari arena pemilihan ketua umum Partai Golkar. Subjektivitas dari Metro TV pada Surya Paloh juga kerap kali terlihat pada saat Metro TV menayangkan berita mengenai aktivitas Surya Paloh dimana durasi dari berita mengenai aktivitas Surya Paloh selalu lebih lama dibandingkan dengan durasi dari berita-berita lainnya.
Dari uraian-uraian di atas, dapat kita lihat bahwa konsumsi masyarakat terhadap media massa sangatlah besar, namun konsumsi media massa yang demikian besar tersebut tidaklah merata bagi seluruh masyarakat Indonesia. Mungkin masyarakat ekonomi menengah-menengah dan menengah-atas di perkotaan dapat dengan mudahnya mengkonsumsi beragam jenis media massa, namun bagi masyarakat kecil yang tergolong masyarakat ekonomi menengah-bawah dan masyarakat yang tergolong masyarakat miskin, pilihan media yang dapat mereka konsumsi sangatlah terbatas atau mungkin mereka tidak memiliki akses terhadap informasi dan media massa. Jangankan untuk berlangganan internet yang biaya per-bulannya mencapai ratusan ribu rupiah, menonton televisi yang biaya tarif dasar listriknya terus naik atau berlangganan surat kabar, terkadang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari pun masyarakat ekonomi menengah-bawah dan masyarakat miskin amat kesulitan. Akibatnya timbul kesenjangan dalam konsumsi media dan kesenjangan dalam akses informasi, sehingga masyarakat ekonomi menengah-bawah dan masyarakat miskin di Indonesia akan semakin tertinggal dalam memperoleh informasi.
Sedangkan para pelaku industry di bidang media massa seolah tidak peduli akan kondisi ini, sebagai contoh para operator seluler yang saat ini marak menawarkan jasa layanan internet lewat jaringan GPRS (Global Packet Radio Switch) yang seharusnya dapat dijadikan alternatif untuk mengakses informasi lewat situs berita online malah terus-menerus mengedukasi masyarakat dan pelanggannya untuk menggunakan internet tersebut untuk hiburan semata seperti mengakses Facebook atau Twitter.
Sementara kendala akses informasi bagi masyarakat di pedesaan dan daerah terpencil sama halnya seperti kendala dalam akses terhadap teknologi yaitu kurangnya infra struktur pendukung. Seperti halnya jaringan internet yang saat ini mayoritas penggunanya ialah masyarakat di perkotaan, hal ini disebabkan karena minimnya sarana dan prasarana penunjang jaringan internet. Memang pemerintah melalui Depkominfo menargetkan bahwa pada tahun 2014 sekitar 10.000 desa di seluruh Indonesia akan tercover jaringan internet, namun tentu hal ini masih harus menunggu realisasi nyata dari pemerintah.