BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata etnografi mungkin sudah tidak asing ditelinga sebagian masyarakat Indonesia. Etnografi yang biasanya dikaitkan dengan ilmu antropologi sesungguhnya merupakan salah satu bidang kajian dari paradigma penelitian kualitatif. Di Indonesia sendiri metode penelitian kualitatif (aliran kritis) kurang popular bila dibandingkan dengan aliran empiris (metode penelitian kuantitatif). Hal ini disebabkan karena aliran empiris lebih dahulu masuk ke Indonesia, selain itu hasil dari penelitian empiris lebih sesuai dengan paradigma pembangunan di Indonesia yaitu paradigma modernisasi karena hasil dari penelitian empiris berupa angka-angka dan statistik.
Namun demikian, perkembangan media dalam konteks sosial dan praktik budaya yang kian beragam semakin mengukuhkan eksistensi paradigma kualitatif. Kemampuannya menghasilkan produk analisis yang mendalam selaras dengan settingnya, diakui sebagai paradigma yang patut diperhitungkan dalam rangka menghadirkan refleksi bagi kajian ilmu komunikasi. Beberapa metode penelitian berbasis paradigma kualitatif ini - analisis wacana, studi kasus, semiotik dan etnografi – kini mulai dilirik para ilmuwan maupun peneliti.
Metode penelitian etnografi dianggap mampu menggali informasi secara mendalam dengan sumber-sumber yang luas. Dengan teknik “observatory participant”, etnografi menjadi sebuah metode penelitian yang unik karena mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam sebuah masyarakat atau komunitas sosial tertentu. Yang lebih menarik, sejatinya metode ini merupakan akar dari lahirnya ilmu antropologi yang kental dengan kajian masyarakatnya itu.
Dalam bidang kajian komunikasi, etnografi mempunyai istilah tersendiri, yaitu etnografi komunikasi. Etnografi komunikasi mencakup kajian di bidang etnografi dan komunikasi. Atau dengan kata lain, etnografi komunikasi ialah kajian etnografi yang mengkhususkan diri untuk mengkaji aspek-aspek sosiolinguistik dari suatu kelompok masyarakat.
Di dalam studi sosiolinguistik bahasa tidak hanya dipahami sebagai sistem tanda saja, tetapi juga dipandang sebagai sistem sosial, sistem komunikasi dan sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat tertentu. Oleh karena itu, di dalam kajian bahasa dengan ancangan sosiolinguistik senantiasa akan memperhitungkan bagaimana pemakaiannya di dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Faktor-faktor sosial itu, antara lain: status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya. Selain itu bentuk bahasanya dipengaruhi oleh faktor situasional, misalnya : siapa yang berbicara, bagaimana bentuk bahasanya, kepada siapa, kapan, dimana, dan mengenai masalah apa.
1. Etnis Tionghoa di Surabaya
Tidak dapat dipungkiri lagi keberadaan masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah komunitas yang cukup besar. Mereka sekarang bukan lagi sebagai komunitas yang minoritas, hal ini ditandai dengan banyaknya pemukiman-pemukiman yang bisa dijumpai di hampir setiap kota-kota di Indonesia. Datangnya para orang Tioanghoa ke “tanah Garuda” ini pada awalnya hanya untuk berdagang. Namun seiringnya waktu banyak orang Tionghoa yang memutuskan untuk menetap dan tinggal di Indonesia. Mereka yang menetap ini akhirnya membentuk suatu komunitas sesama orang Tionghoa ditempat yang mereka tinggali. Mulai dari sini juga masyarakat Tionghoa mulai membuka diri untuk berbaur dengan warga sekitar tempat dimana orang Tionghoa berdiam.
Pada abad ke-20, imigran Tionghoa mulai menyebar ke seluruh wilayah Nusantara salah satunya adalah Surabaya. Mereka yang masuk ke Surabaya menjadi beragam, tidak lagi didominasi oleh pedagang kelas menengah atau saudagar kaya, namun dari kalangan lapisan sosial yang rendah seperti tukang-tukang, pedagang kecil, buruh, kuli kasar dan lainnya. Perubahan ini tentu saja berpengaruh terhadap proses penyesuaian mereka dalam membentuk ssstem dan struktur sosial dalam komunitas Tionghoa di tempat baru dan dari tahun ke tahun jumlah orang Tionghoa semakin bertambah.
Para pendatang ini berasal dari berbagai suku yang terdapat di Tiongkok sana. Di Surabaya sendiri masyarakat Tionghoa terdiri dari berbagai suku seperti Hokkian, Hakka, Teo Chiu dan Kong Hu. Ciri khas dari masyarakat Tionghoa adalah hidup yang berkelompok dengan sesama sukunya, sehingga mengakibatkan penggunaan bahasa menjadi khas sesuai dengan ciri khas masing-masing suku.
Situasi kebahasaan di kota Surabaya hampir mirip dengan keadaan kebahasaan di Singapura yang merupakan negara multietnik dan multibahasa. Hal ini disebabkan karena Singapura banyak kedatangan imigran yang jumlahnya sama banyak seperti orang Tiongkok dan orang India yang menyebakan bahasa yang dipakai berbaur dengan orang asli Singapura yaitu Melayu dan juga bahasa Inggris karena saat itu Singapura dibawah jajahan Inggris.
Masyarakat Tionghoa di kota Surabaya adalah salah satu etnik yang memiliki cara berkomunikasi yang khas. Keberagaman komunikasi tersebut bisa dimasukan kedalam konsep-konsep dasar etnografi komunikasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini ialah: “Bagaimanakah tata bahasa yang digunakan oleh etnis Tionghoa di Surabaya bila ditinjau dari sudut pandang etnografi komunikasi?”
C. Pertanyaan Penelitian
Atas dasar perumusan masalah di atas, maka dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tata cara berkomunikasi etnis Tionghoa di Surabaya?
2. Komunitas komunikasi apakah yang terdapat pada etnis Tionghoa di Surabaya?
3. Bagaimanakah situasi, peristiwa dan tindak komunikasi etnis Tionghoa di Suarabaya?
4. Apa sajakah komponen komunikasi dalam tata bahasa etnis Tionghoa di Surabaya?
5. Nilai-nilai komunikasi apakah yang terdapat dalam tata bahasa etnis tionghoa di Surabaya?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Etnografi
Istilah etnografi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethnos yang berarti suku bangsa dan graphien yang berarti gambaran. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa etnografi adalah suatu metodologi pengetahuan yang mempelajari mengenai kebudayaan suatu suku bangsa.
Sebagai bagian dari antropologi, etnografi biasanya terdiri atas uraian terperinci mengenai aspek cara berperilaku dan cara berpikir yang sudah membaku pada orang yang dipelajari, berupa tulisan, foto, gambar atau film yang berisi laporan atau deskripsi tersebut.
B. Definisi Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi diantara keduanya. Pada umumnya, komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata (lisan) yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi dengan bahasa nonverbal.
C. Definisi Etnografi Komunikasi
Etnografi komunikasi adalah metode analisis wacana dalam linguistik atau bisa juga dikatakan bahwa etnografi komunikasi merupakan penerapan metode etnografis pada pola komunikasi yang bermakna baik menggunakan tuturan verbal maupun isyarat, bahasa tubuh atau tanda nonverbal dalam sebuah kelompok. Di sini, seorang penafsir mencoba memberikan pengertian bagi beragam bentuk komunikasi yang digunakan oleh anggota kelompok atau budaya.
Sebelum istilah etnografi komunikasi semakin populer dipakai, istilah etnografi berbicara (ethnography of speaking) lebih awal diacu sebagai pemerian pemakaian bahasa lisan. Etnografi komunikasi menjadi lebih luas karena tidak hanya melingkupi modus komunikasi lisan (speaking), tetapi juga melibatkan komunikasi tulis (writing) serta komunikasi isyarat (gesture), gerakan tubuh (kinesics), atau tanda (signing).
Istilah etnography of speaking awalnya diperkenalkan oleh seorang pakar antropologi dan sekaligus pakar linguistik Amerika, Dell Hymes.
Hymes memprihatinkan karya para pakar antropologi dan linguistik yang melupakan wilayah komunikasi manusia yang luas dan penting. Para antropolog telah lama melakukan kajian etnografis tentang aspek-aspek budaya seperti sistem kekerabatan, pandangan tradisional tentang obat-obatan dan penyembuhan penyakit; persoalan bahasa diperlakukan di bawah aspek lain, yaitu sebagai sarana untuk memperoleh topik-topik lain dari bahasa. Banyak buku yang mengkaji tentang perbandingan agama, perbandingan politik dan sebagainya, tetapi tidak ada buku tentang perbandingan wicara dari berbagai suku. Para linguis, menurutnya juga terlalu mementingkan bahasa sebagai sistem abstrak. Mereka terpaku untuk memerikan dan menjelaskan struktur kalimat yang dianggap gramatikal oleh penutur asli. Namun, bagaimana orang menggunakan kalimat itu apakah berbeda dengan kalimat lain, apakah kalimat itu menyuruh orang lain, atau memamerkan ujaran saja, dianggap di luar perhatian teori linguistik. Menurut Hymes “para pakar ilmu sosial memisahkan diri dari isi tutur, dan kedua pakar itu memisahkan diri dari pola penggunaan tutur” (1974:126). Etnografi komunikasi akan mengisi kesenjangan itu dengan menambahkan hal lain (pertuturan atau komunikasi) terhadap topik-topik garapan bidang antropologi bagi pemerian etnografis, dan mengembangkan kajian linguistik.
D. Konsep-Konsep Dasar dalam Etnografi Komunikasi
Menurut Hymes (1974), istilah etnografi komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajian berlandaskan etnografi dan komunikasi. Konsep etnografi wicara di dalam sosiolinguistik menurut Hymes merupakan bagian dari kajian komunikasi secara keseluruhan. Untuk itu perlu dipahami beberapa konsep penting yang berkaitan dengan etnografi wicara:
1. Tata Cara Bertutur
Tata cara bertutur (ways of speaking) mengandung gagasan, peristiwa komunikasi di dalam suatu komunitas mengandung pola-pola kegiatan tutur, sehingga kompetensi komunikatif seseorang mencakup pengetahuan tentang pola itu. Tata cara itu mengacu kepada hubungan antara peristiwa tutur, tindak tutur, dan gaya di satu pihak, dengan kemampuan dan peran seseorang, konteks dan institusi, serta kepercayaan, nilai, dan sikap di lain pihak.
2. Komunitas Tutur
Hymes berpendapat bahwa semua warga komunitas tutur saling terpaut bukan hanya oleh kaidah wicara yang sama, melainkan juga oleh setidak-tidaknya satu ragam (varietas) bahasa. Saville Troike menganggap persamaan bahasa itu tidak perlu, yang penting terdapat persamaan kaidah wicara. Troike juga menyebut adanya komunitas tutur yang tumpang tindih. Seorang mahasiswa adalah warga kampus, tetapi juga warga asrama, warga suku, warga bangsa, dan seterusnya. Tiap komunitas mempunyai sedikit kaidah pembeda komunikasi dan dalam hal-hal tertentu juga kaidah pembeda wicara. Ini berarti, setiap penutur tidak perlu termasuk hanya ke dalam satu komunitas tutur atau ke dalam dua atau lebih komunitas tutur yang sama sekali berbeda. Orang biasanya menjadi anggota dari beberapa komunitas tutur pada saat yang sama. Orang akan mengubah perilaku tuturya, dengan menyesuaikan diri dengan komunitas yang melibatkan tutumya, dengan menambah, mengurangi dan mengganti kaidah perilaku komunikatif.
3. Situasi, Peristiwa dan Tindak Tutur
Untuk mengkaji kebiasaan komunikasi di dalam suatu komunitas tutur, seorang peneliti harus mengamati unit-unit interaksi, yaitu situasi tutur (speech situation), peristiwa tutur (speech event) dan tindak tutur (speech act). Tindak tutur merupakan bagian dari peristiwa tutur dan peristiwa tutur menjadi bagian dari situasi tutur.
Situasi tutur adalah situasi yang dikaitkan dengan tuturan dan tidak ada kaitannya dengan linguistik.
Peristiwa tutur berciri komunikatif dan terikat dengan aturan cara bertutur. Peristiwa tutur dapat terdiri atas satu atau lebih tindak tutur. Dimungkinkan pula suatu tindak tutur sekaligus mencakup peristiwa tutur dan situasi tutur.
Tindak tutur merupakan tataran yang sederhana dan rumit, karena kedudukannya di dalam komunikasi merupakan jenjang terendah namun rumit sebab berkait dengan pragmatik.
Hymes berpendapat bahwa tindak tutur dipengaruhi oleh konteks sosial, bentuk gramatikal dan intonasi.
4. Komponen Tutur
Selain situasi, peristiwa dan tindak tutur masih ada konsep lain yang cukup penting, yaitu komponen tutur. Komponen tutur akan meliputi akronim dari SPEAKING. Konsepnya bisa dijelaskan pada setiap awal huruf, yaitu meliputi:
S = Situasi (act situation), mencakup latar dan suasana. Latar berkaitan dengan lingkungan fisik komunikasi yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Sedangkan suasana akan berkaitan dengan suasana psikologis.
P = Partisipan, mencakup tidak hanya penutur dan mitra tutur, tetapi juga adressor (juru bicara) yang terkadang yang diwakili tidak berada di tempat dan audience (pendengar).
E = End (tujuan), mencakup maksud dan hasil yang akan dipilah atas tujuan dari peristiwa tutur dipandang dari sudut budaya (outcomes) dan tujuan dari masing-masing partisipan (goals).
A = Act sequence (urutan tindak), mencakup bentuk pesan (bagaimana pesan itu disampaikan dan isi pesan (apa yang disampaikan).
K = Key (kunci), yang mengacu pada bagaimana suatu tuturan disampaikan.
I = Instrumentalities (peranti, perabotan), mencakup saluran (lisan, tulis, e-mail) dan bentuk tutur.
N = Norms (norma), mencakup norma interaksi dan norma interpretasi.
G = Genre, yang mengacu pada jenis-jenis wacana yang dipakai.
5. Nilai di Balik Tutur
Di dalam suatu komunikasi peneliti hendaknya mengamati pertuturan yang memiliki kaidah-kaidah tertentu dan yang menentukan kaidah tersebut adalah komunitas tutur. Kalau peneliti ingin mengawali pandangannya dari sudut tutur bukan dari sudut sosial komunitas tutur, peneliti dapat melihat bahwa di balik tutur ada nilai-nilai sosial-budaya. Artinya,dengan melihat tuturan seseorang atau sekelompok orang peneliti akan dapat menentukan atau setidak-tidaknya menerka dapat mengidentifikasi “siapa” orang itu, dari kelompok mana dia, makna sosial tutumya, nilai, ajaran, pandangan hidup dan sebagainya.
BAB III
TATA BAHASA ETNIS TIONGHOA DI SURABAYA
1. Tata Cara Komunikasi Etnis Tionghoa di Surabaya
Tata cara berkomunikasi atau ways of speaking mengandung pengertian bahwa peristiwa komunikasi dalam suatu komunitas mengandung pola-pola kegiatan komunikasi sehingga kompetensi komunikatif seseorang mencakup pengetahuan tentang pola itu. Dalam Masyarakat Tionghoa Surabaya, tata cara berkomunikasi yang mereka pakai berbeda dengan kelompok budaya lainnya. Dalam sistem berdagang, etnis Tionghoa memiliki slang atau jargon-jargon khusus yang hanya dimengerti oleh kalangan sendiri saja. Sedangkan untuk komunikasi sehari-hari dengan masyarakat sekitarnya, masyarakat Tionghoa memiliki pemarkah-pemarkah khusus yang merupakan pengaruh budaya asli mereka baik Mandarin atau Hokkian. Dalam komunikasi sehari-hari masyarakat Tionghoa Surabaya sering menggunakan bahasa campuran antara bahasa Indonesia, Jawa dan mandarin-hokkian. Dapat kita lihat bahwa telah terjadinya percampuran bahasa ini juga menyebabkan tata cara komunikasi masyarakat Tionghoa berubah pula dari seharusnya. Sebagai contoh, cara berbicara orang Tionghoa yang seharusnya agak sedikit kasar kalau didengar karena mereka mengunakan bahasa mandarin yang dalam terdapat tingkatan bunyi atau intonasi yang berbeda tiap katanya. Tapi ketika mereka telah berbaur dengan penduduk asli Surabaya sendiri maka orang Tionghoa berbicara lebih lembut mengikuti logat Jawa. Selain itu, terjadinya percampuran bahasa juga membuat tata cara orang Tionghoa berkomunikasi menjadi lebih mudah dengan orang asli Surabaya karena mengunakan bahasa yang sama dan mengerti bahasa tersebut. Masyarakat Tionghoa Surabaya ketika anak-anak muda melakukan pembicara dengan orang yang dianggap lebih tua, mereka akan hormat sekali dan memperhatikan dengan seksama. Hal ini terjadi karena ada pengaruh dari adat Jawa. Namun ketika diberi kesempatan untuk berbicara mereka akan mengeluarkan apa yang mereka inginkan. Ini merupalan cirri khas dari masyarakat Tionghoa yang mengeluarkan pendapat dengan sangat terbuka.
2. Komunitas Komunikasi Etnis Tionghoa di Surabaya
Hymes berpendapat bahwa semua warga komunitas komunikasi saling terpaut bukan hanya oleh kaidah wicara yang sama, melainkan juga oleh setidak-tidaknya satu ragam bahasa. Jadi yang ditekankan oleh Hymes adalah bahasa yang sama yang dipakai adalah hal yang menentukan orang tersebut masuk kedalam komunitas komunikasi. Tionghoa di Surabaya memiliki komunitas komunikasi berdasarkan bahasa yang dipakai. Seperti yang telah diungkapkan di atas, bahwa orang Tionghoa yang datang ke Surabaya terdiri dari beberapa suku seperti Hokkian, Hakka, Tio Chiu, dan Kong Hu. Mereka yang datang tersebut secara tidak langsung sudah membentuk kelompok masing-masing berdasarkan bahasa yang dipakai. Sebagai contoh adalah suku Hokkian yang merupakan suku Tionghoa yang mendominasi di Surabaya, mereka berkumpul dengan sesama orang Hokkian dan ketika pembicaraan yang terjadi bahasa yang digunakan adalah bahasa Hokkian. Walaupun begitu mereka tetap bergaul dengan orang Tionghoa lainnya. Karena suku Hokkian yang mendominasi maka ketika terjadi percakapaan, bahasa yang dipakai untuk berbicara adalah bahasa Hokkian tanpa mereka tahu apalah lawan bicara mereka adalah orang Tionghoa dari suku Hokkian. Dari contoh ini, teori Hymes mengenai komunitas komunikasi suku Tionghoa dapat dimasukkan kedalam fakta yang ada.
3. Situasi, Peristiwa dan Tindak Komunikasi Etnis Tionghoa di Surabaya
Ada 3 situasi komunikasi yaitu situasi komunikasi, peristiwa komunikasi dan tindak komunikasi. Semua ini saling terkait satu sama lainnya. Tindak komunikasi terjadi karena adanya peristiwa komunikasi, sedangkan peristiwa komunikasi terjadi karena adanya situasi komunikasi. Imlek merupakan hari besar bagi orang-orang Tionghoa dan merupakan perayaan yang besar. Dalam merayakan Imlek setiap orang Tionghoa harus mengucapkan kata-kata yang mengandung makna rejeki, keberuntungan dan lainnya kepada sesama dan hari tersebut dipercayai kita tidak boleh marah, kesal atau sedih karena hari tersebut adalah hari datangnya musim baru yang menandakan datangnya rejeki yang baru. Dalam hal ini yang menjadi situasi adalah Imlek yang dirayakan orang Tionghoa. Sedangkan peristiwanya adalah mengucapkan kata-kata yang bisa mendatangkan hoki kepada orang lain. Sehingga yang menjadi tindak komunikasi adalah harus ceria, senang dan bahagia.
4. Komponen Komunikasi Etnis Tionghoa di Surabaya
Di dalam komponen komunikasi terdapat akronim SPEAKING yang konsepnya bisa diterapkan dalam masyrakat Tiongdoa. Berikut adalah pembahasan dari akronim tersebut:
S = Situation
Orang Tionghoa ketika mereka melakukan komunikasi, mereka melihat latar dan suasana dimana mereka berkomunikasi. Mereka bisa bertindak sesuai dengan situasi yang ada. Tidak menyamakan semuanya harus dikomunikasikan sama.
P = Participation
Biasanya orang Tionghoa melakukan pembicaraan dengan siapa saja. Yang menjadi parsipannya adalah orang sesama suku, antar suku yag lain seperti Hakka dan warga setempat yaitu golongan orang-orang Jawa.
E = End
Orang Tionghoa biasanya melakukan pembicaraan atau berkomunikasi langsung pada tujuannya. Namun dikala situasi yang santai tujuannya pun berubah menjadi pembicaraan yang santai pula.
A = Act Sequence
Bentuk pesan yang sampaikan oleh orang Tionghoa sangat sopan dan memiliki sususan yang cukup rapi. Sedangkan isi dari pesan tersebut biasanya berupa hal-hal yang sangat penting.
K = Key
Kebanyakan orang Tionghoa di Surabaya dalam menyampaikan suatu Komunikasi mengacu pada hal yang santai dan lucu tapi terkadang dijumpai juga penyampaian yang sangat sinis, mereka biasanya adalah para wanita.
I = Instrumentalities
Hal ini mencakup saluran dalam berkomunikasi. Orang Tionghoa dalam berkomunikasi kebanyakan lisan karena mereka adalah orang yang to the point dan sedikit yang melakukan itu secara tertulis.
N = Norms
Orang Tionghoa memiliki norma dalam berdoa atau bersembahyang. Adanya aturan-aturan ketika bersembayang seperti tidak boleh kotor untuk masuk dedalam kelenteng atau berkata sembarangan di dalam klenteng merupakan salah satu contoh dari norma orang Tionghoa.
5. Nilai di Balik Komunikasi Etnis Tionghoa di Surabaya
Sering dikatakan bahwa komunitas etnis Tionghoa dalam segala aspek kehidupannya memiliki hal-hal yang bersifat spesifik termasuk dalam bahasa. Dengan spesifiknya bahasa tersebut maka terdapat suatu unsur nilai dalam komunikasi. Nilai yang terkandung dari komunikasi ini membuat kita sadar bahwa komunikasi yang dilakukan oleh orang Tionghoa di kota Surabaya sudah bisa diterima dalam budaya Indonesia sendiri karena dalam percakapanya bahasa yang digunakan orang Tionghoa tidak lagi semata-mata bahasa Hokkian saja, melainkan bahasa campuran antara Jawa dan Tionghoa itu sendiri.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis dan pembahasan di atas, maka kesimpulan yang dapat ditarik mengenai tata bahasa etnis Tionghoa di Surabaya berdasarkan kajian etnografi komunikasi ialah:
Tata bahasa etnis Tionghoa di Surabaya telah mengalami pencampuran dan pembauran antara adat istiadat kebudayaan China dengan adat istiadat kebudayaan Jawa.
Hal ini bisa dilihat dari cara etnis Tionghoa Surabaya dalam berkomunikasi sehari-hari. Bila mereka bercakap-cakap dengan masyarakat setempat, mereka cenderung akan menggunakan bahasa campuran antara bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia, namun bila mereka bercakap-cakap dengan sesama etnis Tionghoa mereka akan cenderung menggunakan bahasa Mandarin-Hokkian dengan sedikit campuran bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Mandarin-Hokkian ketika seorang etnis Tionghoa Surabaya bercakap-cakap dengan sesama etnis Tionghoa lainnya merupakan semacam generalisasi, tanpa memperhatikan dari suku mana etnis Tionghoa yang menjadi lawan bicaranya tersebut.
Selain itu, intonasi yang kuat dalam tata bahasa Mandarin telah mengalami perubahan menjadi intonasi yang lembut dan lambat sesuai dengan tata bahasa Jawa ketika digunakan untuk bercakap-cakap oleh etnis Tionghoa Surabaya, sehingga sekalipun menggunakan bahasa Mandarin ketika bercakap-cakap, bahasa Mandarin yang digunakan oleh etnis Tionghoa Surabaya akan terdengar halus dan lambat serta berlogat Jawa.
Namun dalam hal ini juga bergantung pada umur dan tingkatan generasinya. Secara umum generasi etnis Tionghoa yang lebih muda cenderung menggunakan bahasa Indonesia karena ada permasalahan bahwa hampir sebagian besar generasi masyarakat Cina sekarang tidak dapat berbahasa asli mereka. Itulah sebabnya sekarang banyak generasi muda Tionghoa yang mulai belajar bahasa Mandarin.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Ridjal K. Study Guide Cultural Anthropology. Jakarta: Learning Material Center Stikom The London School of Public Relations – Jakarta, 2008.
Chaer, Abdul & Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik. Jakarta : Rineka Cipta.
Hymes, D.H. 1974. Foundation in Sociolinguistic : An Ethnographic Approach. Philadelpia : University Of Pensylvania Press.
Noordjanah, Anjarwati. 2004. Komunitas Tionghoa di Surabaya (1910-1946). Semarang : MESIASS.
http://dwipur_sastra.staff.uns.ac.id/2009/06/03/etnografi-komunikasi-dan-register/
Tampilkan postingan dengan label MCR Qualitative-Semester 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MCR Qualitative-Semester 5. Tampilkan semua postingan
Rabu, November 18, 2009
Langganan:
Postingan (Atom)