Film The Art Of persuasion mengisahkan bagaimana para pemimpin politik di seluruh dunia mulai dari tokoh-tokoh terkenal dalam sejarah sampai dengan para pemimpin dunia saat ini menggunakan seni sebagai alat komunikasi politik yang dikenal dengan istilah politik citra.
Politik citra dapat diartikan sebagai suatu teknik dalam komunikasi politik untuk membentuk citra personal yang positif dari seorang tokoh politik agar orang itu dapat diterima oleh khalayak luas.
Film ini menunjukkan bahwa komunikasi politik dengan dengan menggunakan politik citra yang digunakan oleh berbagai pemimpin dalam sejarah seperti Darius Agung dari Persia, Aleksander Agung dari Macedonia dan Augustus dari Roma telah berhasil meligitimasi kekuasaan mereka atas rakyat dan teknik ini terus disempurkan dan masih terus digunakan sampai saat ini.
Secara prinsip, komunikasi politik dengan menggunakan politik citra yang digunakan oleh tokoh-tokoh sejarah dengan politik citra yang digunakan oleh para pemimpin dunia saat ini tidaklah jauh berbeda. Yang membedakan di antara keduanya hanyalah medium yang digunakan dalam penyampaian pesan dan format isinya.
Pada masa lampau, para pemimpin politik cenderung menggunakan beragam benda-benda seni seperti atribut, perhiasan, symbol, relief, lukisan dan ukiran sebagai medium untuk merefleksikan citra kepemimpinan mereka.
Darius I dari Persia atau yang lebih dikenal dengan Darius Agung (549 SM – 486/485 SM) ketika memerintah berhasil menaklukan banyak bangsa di bawah kekuasaan Persia. Hal ini dapat dilihat pada inkripsi berupa balok emas yang di atasnya terukir nama berbagai bangsa yang ditaklukan oleh Persia. Dengan menaklukan banyak bangsa, maka Persia rentan akan pemberontakan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa taklukan. Untuk meredam pemberontakan, maka Darius membuat relief yang menggambarkan berbagai bangsa yang ditaklukan oleh Persia datang dengan menyembah dan membawa persembahan bagi Darius di dinding istananya di Persepolis. Para utusan tersebut digambarkan datang dengan menggunakan pakaian khas masing-masing bangsa. Dengan relief ini, darius bermaksud mengambarkan dirinya sebagai raja yang bijaksana dan mampu membawa perdamaian bagi bangsa-bangsa yang telah ditaklukannya. Tak cukup sampai disitu, darius juga menciptakan symbol pribadi bagi dirinya, yaitu Darius Sang Pemanah. Darius menggunakan pemanah sebagai symbol pribadinya karena dalam kebudayaan Persia, seorang pemanah merupakan symbol prajurit militer yang melambangkan kekuatan, kekuasaan dan kebijaksanaan. Dengan demikian, Darius hendak mengklaim bahwa dirinya merupakan seorang raja yang kuta, berkuasa dan bijaksana.
Aleksander Agung dari Macedonia (356 SM – 323 SM) yang berhasil menaklukan Persia juga menggunakan politik citra untuk mempertahankan kekuasaannya atas bangsa-bangsa bekas taklukan Persia. Berbeda dengan Darius yang menggunakan symbol, maka Aleksander menggunakan wajahnya sebagai bentuk komunikasi politik citranya. Pada sebuah lukisan di Pompeii, kaki Gunung Vesuvius, digambarkan pertempuran antara Aleksander yang memimpin Macedonia melawan Darius yang memimpin Persia. Lukisan itu mengambarkan Aleksander di puncak kekuasaan dan kekuatan sedangkan Darius berada dalam kekalahan. Hal ini dapat dilihat dari cara pelukisan kedua tokoh; Aleksander dilukiskan sebagai seseorang pemberani dengan keyakinan yang kuat, ia dilukiskan sedang berkuda memimpin pasukannya dan memegang tombak, tanpa menggunkaan helm pelindung kepala dan tatapannya tajam lurus ke depan menatap Darius dengan penuh keyakinan; sedangkan Darius dilukiskan sedang ketakutan dan berlindung di balik pasukannya, seolah sudah bersiap untuk menyerah dan kalah. Aleksander menyadari betul betapa penggambaran wajah seseorang mampu merefleksikan siapa orang tersebut dan betapa wajah seseorang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi orang banyak. Bahkan gambaran wajah Aleksander sudah ditentukan jauh sebelum ia menjadi raja Macedonia. Hal ini dapat dilihat pada sebuah ukiran gading bergambarkan wajah Aleksander yang ditemukan dalam makam Raja Philip (ayah dari Aleksander) dan seluruh gambaran wajah Aleksander yang pernah ditampilkan tidak berubah sama sekali. Bahkan untuk membuat rakyatnya selalu mengingat wajahnya, Aleksander melakukan tindakan ekstrem dengan meletakkan gambar wajahnya pada mata uang. Suatu revolusi yang luar biasa dalam komunikasi politik citra.
Octavianus (23 September 63 SM–19 Agustus 14), yang bergelar Kaisar Augustus dari Roma mengikuti keberhasilan Aleksander dengan membuat sebuah patung yang menggambarkan Augustus sebagai sosok yang selalu siap berjuang untuk rakyat dengan menggunakan pakaian perang, sosok yang sederhana dengan tanpa menggunakan alas kaki dan sosok pilihan dewa-dewa dengan penggambaran dewa-dewa yang tersenyum pada Augustus yang terukir di plat dada pakaian perangnya.
Simbol-simbol yang digunakan oleh Darius dan penggambaran wajah yang digunakan oleh Aleksander dalam komunikasi politik citra sampai saat ini masih terus digunkan dan dikembangkan oleh berbagai pemimpin politik di seluruh dunia. Penggunaan symbol dan emblem sebagai lambing resmi dari suatu negara atau organisasi sangatlah lazim, seperti lambang elang pada US Great Seal milik Amerika Serikat dan Garuda Pancasila. Sedangkan penggambaran wajah juga telah menjadi sesuatu yang umum, dengan banayknya patung atau monument, lukisan dan ilustrasi serta gambar pada mata uang yang menampilkan pemimpin politik suatu negara.
Selain lambang dan symbol, politik citra juga semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Komunikasi politik citra tidak hanya menggunakan beragam benda seni namun telah memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, seperti Presiden Barack Obama yang selama kampanye pemilihan Presiden Amerika Serikat memanfaatkan situs Facebook sebagai medium kampanye dan pembentukan citra positif dirinya.
Isi dari penggambaran citra seseorang juga telah bergeser dari yang umumnya menampilkan sosok yang memiliki kekuatan dan kekuasaan menjadi sosok yang humanis namun tetap menonjolkan ketegasan, kewibawaan dan karisma seorang pemimpin. Hal ini dapat kita lihat dari citra yang ditampilkan oleh Presiden SBY melalui cara beliau berjalan, berbicara, berpenampilan serta pemilihan kata-kata yang beliau gunakan.
Dapat disimpulkan bahwa komunikasi politik citra yang digunakan pada oleh tokoh-tokoh sejarah dan yang kini digunakan oleh para pemimpin di seluruh dunia secara prinsip tida berbeda, melainkan komunikasi politik citra yang digunakan oleh para pemimpin dunia saat ini merupakan pengembangan dan penyempurnaan dari komunikasi politik citra yang telah digunakan selama ribuan tahun dengan memanfaatkan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi dan teknologi audio visual.
Jumat, November 27, 2009
Permasalahan Narkotika di Indonesia dan Penanggulangannya
BAB I
PENDAHULUAN
Kata Narkotika mungkin sudah tidak asing lagi di tengah kita. Maraknya kasus penyalahgunaan Narkoba (narkotika dan obat-obatan terlarang) di Indonesia terutama yang dilakukan oleh generasi muda Indonesia telah meresahkan kita. Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun di sisi lain Narkotika dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.
Posisi Indonesia di dalam jaringan Narkotika internasional disinyalir terus menguat dalam beberapa tahun terakhir. Selain menempati urutan nomor satu negara tujuan impor dan perdagangan Narkotika illegal di Asia tenggara, saat ini Indonesia juga mulai menjadi produsen Narkotika illegal dalam skala besar untuk kemudian diekspor dan diperdagangkan di kawasan Asia. Hal ini tercermin dari semakin maraknya kasus penggerebekan pabrik Narkotika, terutama sabu-sabu di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam makalah singkat ini, Penulis akan mengangkat satu kasus mengenai penyalahgunaan Narkotika di Indonesia kemudian membahasnya dari sisi hukum berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (pengganti Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika), dampak dan bahaya penyalahgunaan Narkotika serta upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan Narkotika.
BAB II
DATA
Sabu Rp 3,6 Miliar Disimpan di Kaki Palsu
10:51 | Thursday, 12 November 2009
TANGERANG- Demi uang, warga negara Iran, Mohammad Var Shouchi (32), nekat menyelundupkan sabu seberat 1,6 kg yang disembunyikan di kaki palsu sebelah kiri. Pihak Bea Cukai Bandara Soekarno Hatta berhasil melakukan pencegahan sesaat pelaku tiba di terminal 2 D kedatangan luar negeri.
Pelaku tiba di Bandara Soekarno Hatta menggunakan pesawat Emirates Airways dengan nomor penerbangan EK 358, Senin (9/11), pukul 22.15 WIB. Karena gerak geriknya yang mencurigakan, petugas langsung memeriksanya. Tak diduga, sabu jenis methamphetamine HCL yang berbentuk cairan bening dan kristal senilai Rp3,6 miliar itu disembunyikan di kaki palsu sebelah kiri yang digunakan pelaku.
Petugas Bea Cukai curiga melihat cara pelaku berjalan, yang berbeda dengan orang normal. Kaki sebelah kiri terlihat seolah diseret. “Karena pola berjalan pelaku itu, petugas langsung memberhentikan dan memeriksa. Setelah pemeriksaan, diketahui pelaku menggunakan kaki palsu di bagian kaki kiri. Cairan dan Kristal sabu tersebut dililitkan rapih di bagian betis. Pelaku sengaja menyeret kaki palsunya dikarenakan lakban pengikat shabu yang ditempatkan di bagian betis itu nyaris copot.
Dari hasil pemeriksaan, petugas menemukan sabu senilai Rp3,6 miliar yang dikemas dalam satu paket dan direkatkan dibagian betis kiri kaki palsunya,” kata Kepala Bea dan Cukai Provinsi Banten, Bachtiar.
Pengakuan pelaku, dirinya baru kali pertama masuk ke Indonesia. Pelaku rencananya akan menginap di salah satu hotel di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Karena terlilit hutang di kampung halamannya, dia bersedia mengantarkan sabu tersebut masuk ke Indonesia. Mantan supir taksi di Iran ini mengaku berhutang kepada salah satu bandar narkoba di Iran sebesar Rp400 juta. Hutang itu untuk biaya perobatan pasca kecelakaan yang menyebabkan kaki kirinya harus diamputasi. Sebesar Rp385 juta sudah dibayarkan kepada bandar narkoba tersebut. Sisanya Rp15 juta dilunasi dengan cara menjadi kurir.
“Pengakuannya seperti itu. Diketahui memang dia baru pertama kali ke Indonesia. Pelaku juga sudah memiliki voucher menginap yang dibawanya dari Iran,” jelas Bachtiar.
Saat ini, kasus penyelundupan sabu ini telah dikirim ke Polda Metro Jaya guna pengembangan lebih lanjut. Hingga saat ini belum ditemukan pihak lain yang terkait dengan kasus ini ataupun orang yang akan mengambil paket tersebut setelah tiba di Indonesia. Dugaan sementara, pelaku merupakan salah satu kurir jaringan Iran yang beberapa waktu lalu juga berhasil ditangkap.
“Diduga ini merupakan sindikat internasional asal Iran yang bulan lalu tertangkap. Tren saat ini memang mayoritas penyelundupan sabu berasal dari Iran,” ujarnya.
Pelaku sendiri terancam hukuman mati atau paling rendah penjara 20 tahun dengan denda Rp20 miliar karena sabu yang diselundupkan lebih dari 5 gram. Pelaku akan diancam dengan pasal 113 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika .
“Karena barang bukti beratnya melebihi 5 gram, pelaku diancam pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun,” terang Bachtiar. (kin/jpnn)
BAB III
PEMBAHASAN
Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional. Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama - sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional.
Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Bab I Pasal 1 mengenai Ketentuan Umum, yang dimaksud dengan:
1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
2. Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
Sementara pada pasl 35 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, disebutkan bahwa:
Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berdasarkan data yang disajikan oleh Penulis pada Bab II, telah terjadi tindak pidana Narkotika, yaitu berupa kepemilikan dan impor Narkotika secara illegal. Sementara jenis Narkotika yang diselundupkan masuk ke dalam wilayah NKRI ialah jenis sabu-sabu.
Sabu-sabu atau metamfetamina (metilamfetamina atau desoksiefedrin) adalah obat psikostimulansia dan simpatomimetik. Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sabu-sabu atau metamfetamina termasuk dalam daftar Narkotika Golongan I.
Tindakan yang dilakukan oleh Mohammad Var Shouchi tersebut di atas jelas telah melanggar pasal 7, pasal 16 ayat 1 dan ayat 3, pasal 17, pasal 24 ayat 1 dan pasal 41 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pasal 7 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan:
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan / atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 16 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan:
Ayat 1: Importir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Impor dari Menteri untuk setiap kali melakukan impor Narkotika.
Ayat 3: Surat Persetujuan Impor Narkotika Golongan I dalam jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 17 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan:
Pelaksanaan impor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengekspor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor.
Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan:
Setiap pengangkutan impor Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen atau surat persetujuan ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor dan Surat Persetujuan Impor Narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri.
Pasal 41 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan:
Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sejarah maraknya kasus peredaran dan penyalahgunaan Narkotika sendiri dapat dilihat dari ratusan tahun yang lalu dimana obat-obatan psikoaktif digunakan untuk keperluan pengobatan, keagamaan dan sebagai sarana hiburan. Pada akhir abad ke-19 dengan semakin berkembangnya ilmu kimia dan farmakologi, masyarakat mulai mensintesakan berbagai zat yang sangat kuat dan bersifat amat addictive yang dapat mengakibatkan kecanduan seperti kokain dan heroin.
Secara umum, permasalahan narkotika dapat dibagi menjadi tiga bagian yang saling terkait, antara lain:
1. Adanya produksi Narkotika secara gelap
2. Adanya perdagangan dan peredaran gelap Narkotika
3. Adanya penyalahgunaan Narkotika
Berdasarkan dampaknya terhadap pemakai, Narkotika dapat dibedakan menjadi tiga kategori, antara lain:
1. Depressant
Depressant merupakan obat penenang (sedatives) yang bekerja pada sistem syaraf. Depresant memberikan rasa rileks yang bersifat artifisial, mengurangi ketegangan atau kegelisahan serta tekanan mental. Namun depressant cenderung mengakibatkan ketergantungan psikologis, dalam artian pengguna akan merasa gelisah bila tidak menggunakan depressant lagi.
2. Stimulants
Stimulants merupakan zat yang mengaktifkan, memperkuat dan meningkatkan aktivitas dari sistem syaraf pusat. Stimulants dapat mendorong symptoms yang bersifat memabukkan seperti meningkatnya denyut jantung, membesarnya pupil mata, meningkatnya tekanan darah serta mual-mual dan muntah. Obat-obatan jenis stimulants dapat menyebabkan tindak kekerasan dan perilaku agresif serta menghasut dan tidak dapat berpikir secara jernih. Stimulants bahkan dapat menyebabkan sakit jiwa (delusional psychosis).
3. Hallucinogens
Hallucinogens secara kimiawi sangat beragam dan dapat mengakibatkan perubahan mental yang hebat seperti euphoria, kegelisahan, distorsi sensorik, halusinasi, berhayal, ketakutan yang berlebihan (paranoia) dan depresi.
Sementara itu bahaya dari penyalahgunaan Narkotika antara lain:
1. Bahaya terhadap diri pemakai
a) Narkotika mampu merubah kepribadian pemakai secara drastis
b) Menimbulkan sifat masa bodoh terhadap diri sendiri
c) Semangat bekerja menjadi menurun dan suatu ketika bisa saja pemakai bersikap seperti orang gila sebagai reaksi dari penggunaan Narkotika
d) Tidak memiliki keraguan untuk melanggar norma masyarakat, hukum dan agama
e) Tidak segan-segan menyiksa diri sendiri karena ingin menghilangkan rasa nyeri akibat ketergantungan Narkotika yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian
2. Bahaya terhadap keluarga
a) Pemakai tidak lagi menjaga sopan santun di rumah bahkan tidak segan-segan untuk melakukan tindak kekerasan
b) Tidak menghargai harta benda yang ada di rumah seperti mencuri untuk membeli Narkotika
c) Mencemarkan nama baik keluarga
d) Menghabiskan biaya yang amat besar untuk pengobatan dan rehabilitasi
3. Bahaya terhadap lingkungan masyarakat
a) Tidak segan-segan untuk melakukan tindak pidana seperti kekerasan dan pencurian
b) Mengganggu ketertiban umum
c) Membahayakan ketentraman dan keselamatan umum serta tidak menutup kemungkinan mempengaruhi orang lain untuk turut serta menjadi pemakai Narkotika
4. Bahaya terhadap bangsa dan negara
a) Rusaknya generasi muda penerus bangsa
b) Hilangnya rasa patriotisme, cinta dan bangga terhadap bangsa dan negara sehingga pada akhirnya kan melemahkan ketahanan bangsa dan negara
Dikarenakan adanya kecenderungan peningkatan kasus penyalahgunaan Narkotika di Indonesia yang telah mencapai taraf berbahaya dan memprihatinkan serta buruknya dampak Narkotika terhadap pemakai maka pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Narkotika Nasional menerapkan beberapa kebijakan sebagai bentuk upaya penanggulangan penyalahgunaan Narkotika secara nasional. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika secara komprehensif dan multidimensional.
2. Berupaya meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan dan pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika, termasuk melalui jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah.
3. Memanfaatkan peran serta media massa baik cetak maupun elektronik serta kemajuan teknologi komunikasi dan informasi untuk memberikan informasi kepada masyarakat secara luas.
4. Meningkatkan kerjasama regional dan internasional secara lebih intensif dengan mengadakan kesepakatan-kesepakatan baik bilateral maupun multilateral.
5. Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya penyelengaraan terapi dan rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan Narkotika dengan berpedoman pada standarisasi pelayanan terapi dan rehabilitasi yang telah ditentukan.
6. Melakukan pelaksanaan penegakan hukum secara tegas, konsisten dan sungguh-sungguh sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang berlaku serta meningkatkan dan memperketat pengawasan dan pengendalian Narkotika dan Prekursor Narkotika guna mencegah terjadinya penyalahgunaan dan penyelewengan ke pasar gelap.
Dalam melaksanakan tugasnya BNN juga berkoordinasi dengan instansi-instansi terkait dengan membentuk satuan-satuan tugas operasional, seperti:
1. Satuan tugas precursor BNN
Bekerjasama dengan Badan POM RI yang menangani pemantauan distribusi dan pengecekan penggunaan terhadap bahan-bahan kimia dasar yang digunakan oleh perusahaan kimia maupun pengguna bahan kimia.
2. Satuan tugas airport interdiction
Bekerjasama dengan Direktorat Jendral Bea dan Cukai, Departemen Keuangan RI yang bertugas menangani permasalah Narkotika di bandara-bandara nasional dan internasional guna mencegah masuk dan beredarnya Narkotika.
3. Satuan tugas seaport interdiction
Bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan RI yang bertugas menangani permasalahan Narkotika di pelabuhan-pelabuhan laut baik nasional maupun internasional guna mencegah peredaran Narkotika.
4. Satuan tugas pengawasan narkotika terhadap orang asing
Bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Imigrasi, Departemen Kehakiman dan HAM RI, bertugas menangani permasalahan Narkotika yang dilakukan oleh orang asing mulai dari keberadaannya sampai pada kegiatannya.
5. Satuan tugas operasional P4GN di lapas atau rutan
Bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM RI guna mengawasi peredaran Narkotika pada narapidana dan tahanan.
6. Satuan tugas kokain dan heroin
Bekerjasama dengan Direktorat IV / Narkotika dan Kejahatan Terorganisir, Bareskrim Polri, yang bertugas menangani permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba khususnya kokain dan heroin atau jenis narkotika.
7. Satuan tugas sabu-sabu dan ekstasi
Bekerja sama dengan Direktorat IV / Narkotika dan Kejahatan Terorganisir, Bareskrim Polri, yang bertugas menangani permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba khususnya sabu-sabu dan ekstasi atau jenis psikotropika.
8. Satuan tugas ganja
Bekerja sama dengan Direktorat IV / Narkotika dan Kejahatan Terorganisir, Bareskrim Polri, yang bertugas menangani permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba khususnya ganja, mulai dari kultivasi, pemetaan sampai dengan peredarannya.
Adapun dasar dari pembentukan Badan Narkotika Nasional tercantum dalam pasal 64 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berbunyi:
Ayat 1: Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN.
Ayat 2: BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Adapun tugas dan wewenang BNN tercantum dalam pasal 70 dan pasal 71 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berbunyi:
Pasal 70:
BNN mempunyai tugas:
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;
e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
h. mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika;
i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.
Pasal 71:
Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Berdasarkan data di atas, atas tindakannya menyelundupkan sabu-sabu seberat 1,6 kg, Mohammad Var Shouchi telah melakukan tindakan pidana Narkotika dan diancam dengan ketentuan pidana pasal 113 dan pasal 115 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berbunyi:
Pasal 113:
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hokum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
2. Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 115:
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hokum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
2. Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulan yang bisa penulis tarik dari data dan pembahasan di atas ialah bahwa masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat, sudah sangat memprihatinkan dan membahayakan kehidupan bangsa, masyarakat dan negara Indonesia. Indonesia bukan lagi sekedar menjadi tempat transit dalam peredaran dan perdagangan gelap Narkotika, tetapi telah menjadi tempat pemasaran dan bahkan telah menjadi tempat produksi Narkotika.
Tindak pidana Narkotika juga telah menjadi masalah global yang terorganisir dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih dan telah didukung oleh jaringan organisasi yang luas.
Permasalahan Narkotika di Indonesia kini bukan lagi menjadi masalah pemerintah melalui Kepolisian Negara RI maupun Badan Narkotika Nasional, namun merupakan permasalahahn bersama antara Pemerintah dan masyarakat luas. Untuk itu peran serta masyarakat baik dalam hal pencegahan, pengawasan, pemberantasan maupun rehabilitasi dan pengobatan amat diperlukan.
Keluarga, institusi pendidikan dan lingkungan masyarakat merupakan gerbang pertama dalam hal pencegahan penyalahgunaan Narkotika pada generasi muda Indonesia. Lemahnya pengawasan dan pencegahan dalam lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan masyarakat telah menyebabkan banyak generasi muda Indonesia terjerumus dalam kasus penyalahgunaan Narkotika.
SUMBER DATA
http://www.hariansumutpos.com/2009/11/sabu-rp36-miliar-disimpan-di-kaki-palsu.html
www.solusihukum.com/news/arsip/narkoba.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Metamfetamina
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
PENDAHULUAN
Kata Narkotika mungkin sudah tidak asing lagi di tengah kita. Maraknya kasus penyalahgunaan Narkoba (narkotika dan obat-obatan terlarang) di Indonesia terutama yang dilakukan oleh generasi muda Indonesia telah meresahkan kita. Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun di sisi lain Narkotika dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.
Posisi Indonesia di dalam jaringan Narkotika internasional disinyalir terus menguat dalam beberapa tahun terakhir. Selain menempati urutan nomor satu negara tujuan impor dan perdagangan Narkotika illegal di Asia tenggara, saat ini Indonesia juga mulai menjadi produsen Narkotika illegal dalam skala besar untuk kemudian diekspor dan diperdagangkan di kawasan Asia. Hal ini tercermin dari semakin maraknya kasus penggerebekan pabrik Narkotika, terutama sabu-sabu di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam makalah singkat ini, Penulis akan mengangkat satu kasus mengenai penyalahgunaan Narkotika di Indonesia kemudian membahasnya dari sisi hukum berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (pengganti Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika), dampak dan bahaya penyalahgunaan Narkotika serta upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan Narkotika.
BAB II
DATA
Sabu Rp 3,6 Miliar Disimpan di Kaki Palsu
10:51 | Thursday, 12 November 2009
TANGERANG- Demi uang, warga negara Iran, Mohammad Var Shouchi (32), nekat menyelundupkan sabu seberat 1,6 kg yang disembunyikan di kaki palsu sebelah kiri. Pihak Bea Cukai Bandara Soekarno Hatta berhasil melakukan pencegahan sesaat pelaku tiba di terminal 2 D kedatangan luar negeri.
Pelaku tiba di Bandara Soekarno Hatta menggunakan pesawat Emirates Airways dengan nomor penerbangan EK 358, Senin (9/11), pukul 22.15 WIB. Karena gerak geriknya yang mencurigakan, petugas langsung memeriksanya. Tak diduga, sabu jenis methamphetamine HCL yang berbentuk cairan bening dan kristal senilai Rp3,6 miliar itu disembunyikan di kaki palsu sebelah kiri yang digunakan pelaku.
Petugas Bea Cukai curiga melihat cara pelaku berjalan, yang berbeda dengan orang normal. Kaki sebelah kiri terlihat seolah diseret. “Karena pola berjalan pelaku itu, petugas langsung memberhentikan dan memeriksa. Setelah pemeriksaan, diketahui pelaku menggunakan kaki palsu di bagian kaki kiri. Cairan dan Kristal sabu tersebut dililitkan rapih di bagian betis. Pelaku sengaja menyeret kaki palsunya dikarenakan lakban pengikat shabu yang ditempatkan di bagian betis itu nyaris copot.
Dari hasil pemeriksaan, petugas menemukan sabu senilai Rp3,6 miliar yang dikemas dalam satu paket dan direkatkan dibagian betis kiri kaki palsunya,” kata Kepala Bea dan Cukai Provinsi Banten, Bachtiar.
Pengakuan pelaku, dirinya baru kali pertama masuk ke Indonesia. Pelaku rencananya akan menginap di salah satu hotel di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Karena terlilit hutang di kampung halamannya, dia bersedia mengantarkan sabu tersebut masuk ke Indonesia. Mantan supir taksi di Iran ini mengaku berhutang kepada salah satu bandar narkoba di Iran sebesar Rp400 juta. Hutang itu untuk biaya perobatan pasca kecelakaan yang menyebabkan kaki kirinya harus diamputasi. Sebesar Rp385 juta sudah dibayarkan kepada bandar narkoba tersebut. Sisanya Rp15 juta dilunasi dengan cara menjadi kurir.
“Pengakuannya seperti itu. Diketahui memang dia baru pertama kali ke Indonesia. Pelaku juga sudah memiliki voucher menginap yang dibawanya dari Iran,” jelas Bachtiar.
Saat ini, kasus penyelundupan sabu ini telah dikirim ke Polda Metro Jaya guna pengembangan lebih lanjut. Hingga saat ini belum ditemukan pihak lain yang terkait dengan kasus ini ataupun orang yang akan mengambil paket tersebut setelah tiba di Indonesia. Dugaan sementara, pelaku merupakan salah satu kurir jaringan Iran yang beberapa waktu lalu juga berhasil ditangkap.
“Diduga ini merupakan sindikat internasional asal Iran yang bulan lalu tertangkap. Tren saat ini memang mayoritas penyelundupan sabu berasal dari Iran,” ujarnya.
Pelaku sendiri terancam hukuman mati atau paling rendah penjara 20 tahun dengan denda Rp20 miliar karena sabu yang diselundupkan lebih dari 5 gram. Pelaku akan diancam dengan pasal 113 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika .
“Karena barang bukti beratnya melebihi 5 gram, pelaku diancam pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun,” terang Bachtiar. (kin/jpnn)
BAB III
PEMBAHASAN
Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional. Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama - sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional.
Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Bab I Pasal 1 mengenai Ketentuan Umum, yang dimaksud dengan:
1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
2. Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
Sementara pada pasl 35 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, disebutkan bahwa:
Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berdasarkan data yang disajikan oleh Penulis pada Bab II, telah terjadi tindak pidana Narkotika, yaitu berupa kepemilikan dan impor Narkotika secara illegal. Sementara jenis Narkotika yang diselundupkan masuk ke dalam wilayah NKRI ialah jenis sabu-sabu.
Sabu-sabu atau metamfetamina (metilamfetamina atau desoksiefedrin) adalah obat psikostimulansia dan simpatomimetik. Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sabu-sabu atau metamfetamina termasuk dalam daftar Narkotika Golongan I.
Tindakan yang dilakukan oleh Mohammad Var Shouchi tersebut di atas jelas telah melanggar pasal 7, pasal 16 ayat 1 dan ayat 3, pasal 17, pasal 24 ayat 1 dan pasal 41 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pasal 7 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan:
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan / atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 16 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan:
Ayat 1: Importir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Impor dari Menteri untuk setiap kali melakukan impor Narkotika.
Ayat 3: Surat Persetujuan Impor Narkotika Golongan I dalam jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 17 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan:
Pelaksanaan impor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengekspor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor.
Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan:
Setiap pengangkutan impor Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen atau surat persetujuan ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor dan Surat Persetujuan Impor Narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri.
Pasal 41 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan:
Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sejarah maraknya kasus peredaran dan penyalahgunaan Narkotika sendiri dapat dilihat dari ratusan tahun yang lalu dimana obat-obatan psikoaktif digunakan untuk keperluan pengobatan, keagamaan dan sebagai sarana hiburan. Pada akhir abad ke-19 dengan semakin berkembangnya ilmu kimia dan farmakologi, masyarakat mulai mensintesakan berbagai zat yang sangat kuat dan bersifat amat addictive yang dapat mengakibatkan kecanduan seperti kokain dan heroin.
Secara umum, permasalahan narkotika dapat dibagi menjadi tiga bagian yang saling terkait, antara lain:
1. Adanya produksi Narkotika secara gelap
2. Adanya perdagangan dan peredaran gelap Narkotika
3. Adanya penyalahgunaan Narkotika
Berdasarkan dampaknya terhadap pemakai, Narkotika dapat dibedakan menjadi tiga kategori, antara lain:
1. Depressant
Depressant merupakan obat penenang (sedatives) yang bekerja pada sistem syaraf. Depresant memberikan rasa rileks yang bersifat artifisial, mengurangi ketegangan atau kegelisahan serta tekanan mental. Namun depressant cenderung mengakibatkan ketergantungan psikologis, dalam artian pengguna akan merasa gelisah bila tidak menggunakan depressant lagi.
2. Stimulants
Stimulants merupakan zat yang mengaktifkan, memperkuat dan meningkatkan aktivitas dari sistem syaraf pusat. Stimulants dapat mendorong symptoms yang bersifat memabukkan seperti meningkatnya denyut jantung, membesarnya pupil mata, meningkatnya tekanan darah serta mual-mual dan muntah. Obat-obatan jenis stimulants dapat menyebabkan tindak kekerasan dan perilaku agresif serta menghasut dan tidak dapat berpikir secara jernih. Stimulants bahkan dapat menyebabkan sakit jiwa (delusional psychosis).
3. Hallucinogens
Hallucinogens secara kimiawi sangat beragam dan dapat mengakibatkan perubahan mental yang hebat seperti euphoria, kegelisahan, distorsi sensorik, halusinasi, berhayal, ketakutan yang berlebihan (paranoia) dan depresi.
Sementara itu bahaya dari penyalahgunaan Narkotika antara lain:
1. Bahaya terhadap diri pemakai
a) Narkotika mampu merubah kepribadian pemakai secara drastis
b) Menimbulkan sifat masa bodoh terhadap diri sendiri
c) Semangat bekerja menjadi menurun dan suatu ketika bisa saja pemakai bersikap seperti orang gila sebagai reaksi dari penggunaan Narkotika
d) Tidak memiliki keraguan untuk melanggar norma masyarakat, hukum dan agama
e) Tidak segan-segan menyiksa diri sendiri karena ingin menghilangkan rasa nyeri akibat ketergantungan Narkotika yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian
2. Bahaya terhadap keluarga
a) Pemakai tidak lagi menjaga sopan santun di rumah bahkan tidak segan-segan untuk melakukan tindak kekerasan
b) Tidak menghargai harta benda yang ada di rumah seperti mencuri untuk membeli Narkotika
c) Mencemarkan nama baik keluarga
d) Menghabiskan biaya yang amat besar untuk pengobatan dan rehabilitasi
3. Bahaya terhadap lingkungan masyarakat
a) Tidak segan-segan untuk melakukan tindak pidana seperti kekerasan dan pencurian
b) Mengganggu ketertiban umum
c) Membahayakan ketentraman dan keselamatan umum serta tidak menutup kemungkinan mempengaruhi orang lain untuk turut serta menjadi pemakai Narkotika
4. Bahaya terhadap bangsa dan negara
a) Rusaknya generasi muda penerus bangsa
b) Hilangnya rasa patriotisme, cinta dan bangga terhadap bangsa dan negara sehingga pada akhirnya kan melemahkan ketahanan bangsa dan negara
Dikarenakan adanya kecenderungan peningkatan kasus penyalahgunaan Narkotika di Indonesia yang telah mencapai taraf berbahaya dan memprihatinkan serta buruknya dampak Narkotika terhadap pemakai maka pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Narkotika Nasional menerapkan beberapa kebijakan sebagai bentuk upaya penanggulangan penyalahgunaan Narkotika secara nasional. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika secara komprehensif dan multidimensional.
2. Berupaya meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan dan pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika, termasuk melalui jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah.
3. Memanfaatkan peran serta media massa baik cetak maupun elektronik serta kemajuan teknologi komunikasi dan informasi untuk memberikan informasi kepada masyarakat secara luas.
4. Meningkatkan kerjasama regional dan internasional secara lebih intensif dengan mengadakan kesepakatan-kesepakatan baik bilateral maupun multilateral.
5. Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya penyelengaraan terapi dan rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan Narkotika dengan berpedoman pada standarisasi pelayanan terapi dan rehabilitasi yang telah ditentukan.
6. Melakukan pelaksanaan penegakan hukum secara tegas, konsisten dan sungguh-sungguh sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang berlaku serta meningkatkan dan memperketat pengawasan dan pengendalian Narkotika dan Prekursor Narkotika guna mencegah terjadinya penyalahgunaan dan penyelewengan ke pasar gelap.
Dalam melaksanakan tugasnya BNN juga berkoordinasi dengan instansi-instansi terkait dengan membentuk satuan-satuan tugas operasional, seperti:
1. Satuan tugas precursor BNN
Bekerjasama dengan Badan POM RI yang menangani pemantauan distribusi dan pengecekan penggunaan terhadap bahan-bahan kimia dasar yang digunakan oleh perusahaan kimia maupun pengguna bahan kimia.
2. Satuan tugas airport interdiction
Bekerjasama dengan Direktorat Jendral Bea dan Cukai, Departemen Keuangan RI yang bertugas menangani permasalah Narkotika di bandara-bandara nasional dan internasional guna mencegah masuk dan beredarnya Narkotika.
3. Satuan tugas seaport interdiction
Bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan RI yang bertugas menangani permasalahan Narkotika di pelabuhan-pelabuhan laut baik nasional maupun internasional guna mencegah peredaran Narkotika.
4. Satuan tugas pengawasan narkotika terhadap orang asing
Bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Imigrasi, Departemen Kehakiman dan HAM RI, bertugas menangani permasalahan Narkotika yang dilakukan oleh orang asing mulai dari keberadaannya sampai pada kegiatannya.
5. Satuan tugas operasional P4GN di lapas atau rutan
Bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM RI guna mengawasi peredaran Narkotika pada narapidana dan tahanan.
6. Satuan tugas kokain dan heroin
Bekerjasama dengan Direktorat IV / Narkotika dan Kejahatan Terorganisir, Bareskrim Polri, yang bertugas menangani permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba khususnya kokain dan heroin atau jenis narkotika.
7. Satuan tugas sabu-sabu dan ekstasi
Bekerja sama dengan Direktorat IV / Narkotika dan Kejahatan Terorganisir, Bareskrim Polri, yang bertugas menangani permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba khususnya sabu-sabu dan ekstasi atau jenis psikotropika.
8. Satuan tugas ganja
Bekerja sama dengan Direktorat IV / Narkotika dan Kejahatan Terorganisir, Bareskrim Polri, yang bertugas menangani permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba khususnya ganja, mulai dari kultivasi, pemetaan sampai dengan peredarannya.
Adapun dasar dari pembentukan Badan Narkotika Nasional tercantum dalam pasal 64 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berbunyi:
Ayat 1: Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN.
Ayat 2: BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Adapun tugas dan wewenang BNN tercantum dalam pasal 70 dan pasal 71 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berbunyi:
Pasal 70:
BNN mempunyai tugas:
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;
e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
h. mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika;
i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.
Pasal 71:
Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Berdasarkan data di atas, atas tindakannya menyelundupkan sabu-sabu seberat 1,6 kg, Mohammad Var Shouchi telah melakukan tindakan pidana Narkotika dan diancam dengan ketentuan pidana pasal 113 dan pasal 115 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berbunyi:
Pasal 113:
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hokum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
2. Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 115:
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hokum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
2. Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulan yang bisa penulis tarik dari data dan pembahasan di atas ialah bahwa masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat, sudah sangat memprihatinkan dan membahayakan kehidupan bangsa, masyarakat dan negara Indonesia. Indonesia bukan lagi sekedar menjadi tempat transit dalam peredaran dan perdagangan gelap Narkotika, tetapi telah menjadi tempat pemasaran dan bahkan telah menjadi tempat produksi Narkotika.
Tindak pidana Narkotika juga telah menjadi masalah global yang terorganisir dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih dan telah didukung oleh jaringan organisasi yang luas.
Permasalahan Narkotika di Indonesia kini bukan lagi menjadi masalah pemerintah melalui Kepolisian Negara RI maupun Badan Narkotika Nasional, namun merupakan permasalahahn bersama antara Pemerintah dan masyarakat luas. Untuk itu peran serta masyarakat baik dalam hal pencegahan, pengawasan, pemberantasan maupun rehabilitasi dan pengobatan amat diperlukan.
Keluarga, institusi pendidikan dan lingkungan masyarakat merupakan gerbang pertama dalam hal pencegahan penyalahgunaan Narkotika pada generasi muda Indonesia. Lemahnya pengawasan dan pencegahan dalam lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan masyarakat telah menyebabkan banyak generasi muda Indonesia terjerumus dalam kasus penyalahgunaan Narkotika.
SUMBER DATA
http://www.hariansumutpos.com/2009/11/sabu-rp36-miliar-disimpan-di-kaki-palsu.html
www.solusihukum.com/news/arsip/narkoba.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Metamfetamina
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Rabu, November 18, 2009
Tata Bahasa Etnis Tionghoa di Surabaya Ditinjau Dari Sudut Pandang Etnografi Komunikasi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata etnografi mungkin sudah tidak asing ditelinga sebagian masyarakat Indonesia. Etnografi yang biasanya dikaitkan dengan ilmu antropologi sesungguhnya merupakan salah satu bidang kajian dari paradigma penelitian kualitatif. Di Indonesia sendiri metode penelitian kualitatif (aliran kritis) kurang popular bila dibandingkan dengan aliran empiris (metode penelitian kuantitatif). Hal ini disebabkan karena aliran empiris lebih dahulu masuk ke Indonesia, selain itu hasil dari penelitian empiris lebih sesuai dengan paradigma pembangunan di Indonesia yaitu paradigma modernisasi karena hasil dari penelitian empiris berupa angka-angka dan statistik.
Namun demikian, perkembangan media dalam konteks sosial dan praktik budaya yang kian beragam semakin mengukuhkan eksistensi paradigma kualitatif. Kemampuannya menghasilkan produk analisis yang mendalam selaras dengan settingnya, diakui sebagai paradigma yang patut diperhitungkan dalam rangka menghadirkan refleksi bagi kajian ilmu komunikasi. Beberapa metode penelitian berbasis paradigma kualitatif ini - analisis wacana, studi kasus, semiotik dan etnografi – kini mulai dilirik para ilmuwan maupun peneliti.
Metode penelitian etnografi dianggap mampu menggali informasi secara mendalam dengan sumber-sumber yang luas. Dengan teknik “observatory participant”, etnografi menjadi sebuah metode penelitian yang unik karena mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam sebuah masyarakat atau komunitas sosial tertentu. Yang lebih menarik, sejatinya metode ini merupakan akar dari lahirnya ilmu antropologi yang kental dengan kajian masyarakatnya itu.
Dalam bidang kajian komunikasi, etnografi mempunyai istilah tersendiri, yaitu etnografi komunikasi. Etnografi komunikasi mencakup kajian di bidang etnografi dan komunikasi. Atau dengan kata lain, etnografi komunikasi ialah kajian etnografi yang mengkhususkan diri untuk mengkaji aspek-aspek sosiolinguistik dari suatu kelompok masyarakat.
Di dalam studi sosiolinguistik bahasa tidak hanya dipahami sebagai sistem tanda saja, tetapi juga dipandang sebagai sistem sosial, sistem komunikasi dan sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat tertentu. Oleh karena itu, di dalam kajian bahasa dengan ancangan sosiolinguistik senantiasa akan memperhitungkan bagaimana pemakaiannya di dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Faktor-faktor sosial itu, antara lain: status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya. Selain itu bentuk bahasanya dipengaruhi oleh faktor situasional, misalnya : siapa yang berbicara, bagaimana bentuk bahasanya, kepada siapa, kapan, dimana, dan mengenai masalah apa.
1. Etnis Tionghoa di Surabaya
Tidak dapat dipungkiri lagi keberadaan masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah komunitas yang cukup besar. Mereka sekarang bukan lagi sebagai komunitas yang minoritas, hal ini ditandai dengan banyaknya pemukiman-pemukiman yang bisa dijumpai di hampir setiap kota-kota di Indonesia. Datangnya para orang Tioanghoa ke “tanah Garuda” ini pada awalnya hanya untuk berdagang. Namun seiringnya waktu banyak orang Tionghoa yang memutuskan untuk menetap dan tinggal di Indonesia. Mereka yang menetap ini akhirnya membentuk suatu komunitas sesama orang Tionghoa ditempat yang mereka tinggali. Mulai dari sini juga masyarakat Tionghoa mulai membuka diri untuk berbaur dengan warga sekitar tempat dimana orang Tionghoa berdiam.
Pada abad ke-20, imigran Tionghoa mulai menyebar ke seluruh wilayah Nusantara salah satunya adalah Surabaya. Mereka yang masuk ke Surabaya menjadi beragam, tidak lagi didominasi oleh pedagang kelas menengah atau saudagar kaya, namun dari kalangan lapisan sosial yang rendah seperti tukang-tukang, pedagang kecil, buruh, kuli kasar dan lainnya. Perubahan ini tentu saja berpengaruh terhadap proses penyesuaian mereka dalam membentuk ssstem dan struktur sosial dalam komunitas Tionghoa di tempat baru dan dari tahun ke tahun jumlah orang Tionghoa semakin bertambah.
Para pendatang ini berasal dari berbagai suku yang terdapat di Tiongkok sana. Di Surabaya sendiri masyarakat Tionghoa terdiri dari berbagai suku seperti Hokkian, Hakka, Teo Chiu dan Kong Hu. Ciri khas dari masyarakat Tionghoa adalah hidup yang berkelompok dengan sesama sukunya, sehingga mengakibatkan penggunaan bahasa menjadi khas sesuai dengan ciri khas masing-masing suku.
Situasi kebahasaan di kota Surabaya hampir mirip dengan keadaan kebahasaan di Singapura yang merupakan negara multietnik dan multibahasa. Hal ini disebabkan karena Singapura banyak kedatangan imigran yang jumlahnya sama banyak seperti orang Tiongkok dan orang India yang menyebakan bahasa yang dipakai berbaur dengan orang asli Singapura yaitu Melayu dan juga bahasa Inggris karena saat itu Singapura dibawah jajahan Inggris.
Masyarakat Tionghoa di kota Surabaya adalah salah satu etnik yang memiliki cara berkomunikasi yang khas. Keberagaman komunikasi tersebut bisa dimasukan kedalam konsep-konsep dasar etnografi komunikasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini ialah: “Bagaimanakah tata bahasa yang digunakan oleh etnis Tionghoa di Surabaya bila ditinjau dari sudut pandang etnografi komunikasi?”
C. Pertanyaan Penelitian
Atas dasar perumusan masalah di atas, maka dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tata cara berkomunikasi etnis Tionghoa di Surabaya?
2. Komunitas komunikasi apakah yang terdapat pada etnis Tionghoa di Surabaya?
3. Bagaimanakah situasi, peristiwa dan tindak komunikasi etnis Tionghoa di Suarabaya?
4. Apa sajakah komponen komunikasi dalam tata bahasa etnis Tionghoa di Surabaya?
5. Nilai-nilai komunikasi apakah yang terdapat dalam tata bahasa etnis tionghoa di Surabaya?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Etnografi
Istilah etnografi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethnos yang berarti suku bangsa dan graphien yang berarti gambaran. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa etnografi adalah suatu metodologi pengetahuan yang mempelajari mengenai kebudayaan suatu suku bangsa.
Sebagai bagian dari antropologi, etnografi biasanya terdiri atas uraian terperinci mengenai aspek cara berperilaku dan cara berpikir yang sudah membaku pada orang yang dipelajari, berupa tulisan, foto, gambar atau film yang berisi laporan atau deskripsi tersebut.
B. Definisi Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi diantara keduanya. Pada umumnya, komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata (lisan) yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi dengan bahasa nonverbal.
C. Definisi Etnografi Komunikasi
Etnografi komunikasi adalah metode analisis wacana dalam linguistik atau bisa juga dikatakan bahwa etnografi komunikasi merupakan penerapan metode etnografis pada pola komunikasi yang bermakna baik menggunakan tuturan verbal maupun isyarat, bahasa tubuh atau tanda nonverbal dalam sebuah kelompok. Di sini, seorang penafsir mencoba memberikan pengertian bagi beragam bentuk komunikasi yang digunakan oleh anggota kelompok atau budaya.
Sebelum istilah etnografi komunikasi semakin populer dipakai, istilah etnografi berbicara (ethnography of speaking) lebih awal diacu sebagai pemerian pemakaian bahasa lisan. Etnografi komunikasi menjadi lebih luas karena tidak hanya melingkupi modus komunikasi lisan (speaking), tetapi juga melibatkan komunikasi tulis (writing) serta komunikasi isyarat (gesture), gerakan tubuh (kinesics), atau tanda (signing).
Istilah etnography of speaking awalnya diperkenalkan oleh seorang pakar antropologi dan sekaligus pakar linguistik Amerika, Dell Hymes.
Hymes memprihatinkan karya para pakar antropologi dan linguistik yang melupakan wilayah komunikasi manusia yang luas dan penting. Para antropolog telah lama melakukan kajian etnografis tentang aspek-aspek budaya seperti sistem kekerabatan, pandangan tradisional tentang obat-obatan dan penyembuhan penyakit; persoalan bahasa diperlakukan di bawah aspek lain, yaitu sebagai sarana untuk memperoleh topik-topik lain dari bahasa. Banyak buku yang mengkaji tentang perbandingan agama, perbandingan politik dan sebagainya, tetapi tidak ada buku tentang perbandingan wicara dari berbagai suku. Para linguis, menurutnya juga terlalu mementingkan bahasa sebagai sistem abstrak. Mereka terpaku untuk memerikan dan menjelaskan struktur kalimat yang dianggap gramatikal oleh penutur asli. Namun, bagaimana orang menggunakan kalimat itu apakah berbeda dengan kalimat lain, apakah kalimat itu menyuruh orang lain, atau memamerkan ujaran saja, dianggap di luar perhatian teori linguistik. Menurut Hymes “para pakar ilmu sosial memisahkan diri dari isi tutur, dan kedua pakar itu memisahkan diri dari pola penggunaan tutur” (1974:126). Etnografi komunikasi akan mengisi kesenjangan itu dengan menambahkan hal lain (pertuturan atau komunikasi) terhadap topik-topik garapan bidang antropologi bagi pemerian etnografis, dan mengembangkan kajian linguistik.
D. Konsep-Konsep Dasar dalam Etnografi Komunikasi
Menurut Hymes (1974), istilah etnografi komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajian berlandaskan etnografi dan komunikasi. Konsep etnografi wicara di dalam sosiolinguistik menurut Hymes merupakan bagian dari kajian komunikasi secara keseluruhan. Untuk itu perlu dipahami beberapa konsep penting yang berkaitan dengan etnografi wicara:
1. Tata Cara Bertutur
Tata cara bertutur (ways of speaking) mengandung gagasan, peristiwa komunikasi di dalam suatu komunitas mengandung pola-pola kegiatan tutur, sehingga kompetensi komunikatif seseorang mencakup pengetahuan tentang pola itu. Tata cara itu mengacu kepada hubungan antara peristiwa tutur, tindak tutur, dan gaya di satu pihak, dengan kemampuan dan peran seseorang, konteks dan institusi, serta kepercayaan, nilai, dan sikap di lain pihak.
2. Komunitas Tutur
Hymes berpendapat bahwa semua warga komunitas tutur saling terpaut bukan hanya oleh kaidah wicara yang sama, melainkan juga oleh setidak-tidaknya satu ragam (varietas) bahasa. Saville Troike menganggap persamaan bahasa itu tidak perlu, yang penting terdapat persamaan kaidah wicara. Troike juga menyebut adanya komunitas tutur yang tumpang tindih. Seorang mahasiswa adalah warga kampus, tetapi juga warga asrama, warga suku, warga bangsa, dan seterusnya. Tiap komunitas mempunyai sedikit kaidah pembeda komunikasi dan dalam hal-hal tertentu juga kaidah pembeda wicara. Ini berarti, setiap penutur tidak perlu termasuk hanya ke dalam satu komunitas tutur atau ke dalam dua atau lebih komunitas tutur yang sama sekali berbeda. Orang biasanya menjadi anggota dari beberapa komunitas tutur pada saat yang sama. Orang akan mengubah perilaku tuturya, dengan menyesuaikan diri dengan komunitas yang melibatkan tutumya, dengan menambah, mengurangi dan mengganti kaidah perilaku komunikatif.
3. Situasi, Peristiwa dan Tindak Tutur
Untuk mengkaji kebiasaan komunikasi di dalam suatu komunitas tutur, seorang peneliti harus mengamati unit-unit interaksi, yaitu situasi tutur (speech situation), peristiwa tutur (speech event) dan tindak tutur (speech act). Tindak tutur merupakan bagian dari peristiwa tutur dan peristiwa tutur menjadi bagian dari situasi tutur.
Situasi tutur adalah situasi yang dikaitkan dengan tuturan dan tidak ada kaitannya dengan linguistik.
Peristiwa tutur berciri komunikatif dan terikat dengan aturan cara bertutur. Peristiwa tutur dapat terdiri atas satu atau lebih tindak tutur. Dimungkinkan pula suatu tindak tutur sekaligus mencakup peristiwa tutur dan situasi tutur.
Tindak tutur merupakan tataran yang sederhana dan rumit, karena kedudukannya di dalam komunikasi merupakan jenjang terendah namun rumit sebab berkait dengan pragmatik.
Hymes berpendapat bahwa tindak tutur dipengaruhi oleh konteks sosial, bentuk gramatikal dan intonasi.
4. Komponen Tutur
Selain situasi, peristiwa dan tindak tutur masih ada konsep lain yang cukup penting, yaitu komponen tutur. Komponen tutur akan meliputi akronim dari SPEAKING. Konsepnya bisa dijelaskan pada setiap awal huruf, yaitu meliputi:
S = Situasi (act situation), mencakup latar dan suasana. Latar berkaitan dengan lingkungan fisik komunikasi yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Sedangkan suasana akan berkaitan dengan suasana psikologis.
P = Partisipan, mencakup tidak hanya penutur dan mitra tutur, tetapi juga adressor (juru bicara) yang terkadang yang diwakili tidak berada di tempat dan audience (pendengar).
E = End (tujuan), mencakup maksud dan hasil yang akan dipilah atas tujuan dari peristiwa tutur dipandang dari sudut budaya (outcomes) dan tujuan dari masing-masing partisipan (goals).
A = Act sequence (urutan tindak), mencakup bentuk pesan (bagaimana pesan itu disampaikan dan isi pesan (apa yang disampaikan).
K = Key (kunci), yang mengacu pada bagaimana suatu tuturan disampaikan.
I = Instrumentalities (peranti, perabotan), mencakup saluran (lisan, tulis, e-mail) dan bentuk tutur.
N = Norms (norma), mencakup norma interaksi dan norma interpretasi.
G = Genre, yang mengacu pada jenis-jenis wacana yang dipakai.
5. Nilai di Balik Tutur
Di dalam suatu komunikasi peneliti hendaknya mengamati pertuturan yang memiliki kaidah-kaidah tertentu dan yang menentukan kaidah tersebut adalah komunitas tutur. Kalau peneliti ingin mengawali pandangannya dari sudut tutur bukan dari sudut sosial komunitas tutur, peneliti dapat melihat bahwa di balik tutur ada nilai-nilai sosial-budaya. Artinya,dengan melihat tuturan seseorang atau sekelompok orang peneliti akan dapat menentukan atau setidak-tidaknya menerka dapat mengidentifikasi “siapa” orang itu, dari kelompok mana dia, makna sosial tutumya, nilai, ajaran, pandangan hidup dan sebagainya.
BAB III
TATA BAHASA ETNIS TIONGHOA DI SURABAYA
1. Tata Cara Komunikasi Etnis Tionghoa di Surabaya
Tata cara berkomunikasi atau ways of speaking mengandung pengertian bahwa peristiwa komunikasi dalam suatu komunitas mengandung pola-pola kegiatan komunikasi sehingga kompetensi komunikatif seseorang mencakup pengetahuan tentang pola itu. Dalam Masyarakat Tionghoa Surabaya, tata cara berkomunikasi yang mereka pakai berbeda dengan kelompok budaya lainnya. Dalam sistem berdagang, etnis Tionghoa memiliki slang atau jargon-jargon khusus yang hanya dimengerti oleh kalangan sendiri saja. Sedangkan untuk komunikasi sehari-hari dengan masyarakat sekitarnya, masyarakat Tionghoa memiliki pemarkah-pemarkah khusus yang merupakan pengaruh budaya asli mereka baik Mandarin atau Hokkian. Dalam komunikasi sehari-hari masyarakat Tionghoa Surabaya sering menggunakan bahasa campuran antara bahasa Indonesia, Jawa dan mandarin-hokkian. Dapat kita lihat bahwa telah terjadinya percampuran bahasa ini juga menyebabkan tata cara komunikasi masyarakat Tionghoa berubah pula dari seharusnya. Sebagai contoh, cara berbicara orang Tionghoa yang seharusnya agak sedikit kasar kalau didengar karena mereka mengunakan bahasa mandarin yang dalam terdapat tingkatan bunyi atau intonasi yang berbeda tiap katanya. Tapi ketika mereka telah berbaur dengan penduduk asli Surabaya sendiri maka orang Tionghoa berbicara lebih lembut mengikuti logat Jawa. Selain itu, terjadinya percampuran bahasa juga membuat tata cara orang Tionghoa berkomunikasi menjadi lebih mudah dengan orang asli Surabaya karena mengunakan bahasa yang sama dan mengerti bahasa tersebut. Masyarakat Tionghoa Surabaya ketika anak-anak muda melakukan pembicara dengan orang yang dianggap lebih tua, mereka akan hormat sekali dan memperhatikan dengan seksama. Hal ini terjadi karena ada pengaruh dari adat Jawa. Namun ketika diberi kesempatan untuk berbicara mereka akan mengeluarkan apa yang mereka inginkan. Ini merupalan cirri khas dari masyarakat Tionghoa yang mengeluarkan pendapat dengan sangat terbuka.
2. Komunitas Komunikasi Etnis Tionghoa di Surabaya
Hymes berpendapat bahwa semua warga komunitas komunikasi saling terpaut bukan hanya oleh kaidah wicara yang sama, melainkan juga oleh setidak-tidaknya satu ragam bahasa. Jadi yang ditekankan oleh Hymes adalah bahasa yang sama yang dipakai adalah hal yang menentukan orang tersebut masuk kedalam komunitas komunikasi. Tionghoa di Surabaya memiliki komunitas komunikasi berdasarkan bahasa yang dipakai. Seperti yang telah diungkapkan di atas, bahwa orang Tionghoa yang datang ke Surabaya terdiri dari beberapa suku seperti Hokkian, Hakka, Tio Chiu, dan Kong Hu. Mereka yang datang tersebut secara tidak langsung sudah membentuk kelompok masing-masing berdasarkan bahasa yang dipakai. Sebagai contoh adalah suku Hokkian yang merupakan suku Tionghoa yang mendominasi di Surabaya, mereka berkumpul dengan sesama orang Hokkian dan ketika pembicaraan yang terjadi bahasa yang digunakan adalah bahasa Hokkian. Walaupun begitu mereka tetap bergaul dengan orang Tionghoa lainnya. Karena suku Hokkian yang mendominasi maka ketika terjadi percakapaan, bahasa yang dipakai untuk berbicara adalah bahasa Hokkian tanpa mereka tahu apalah lawan bicara mereka adalah orang Tionghoa dari suku Hokkian. Dari contoh ini, teori Hymes mengenai komunitas komunikasi suku Tionghoa dapat dimasukkan kedalam fakta yang ada.
3. Situasi, Peristiwa dan Tindak Komunikasi Etnis Tionghoa di Surabaya
Ada 3 situasi komunikasi yaitu situasi komunikasi, peristiwa komunikasi dan tindak komunikasi. Semua ini saling terkait satu sama lainnya. Tindak komunikasi terjadi karena adanya peristiwa komunikasi, sedangkan peristiwa komunikasi terjadi karena adanya situasi komunikasi. Imlek merupakan hari besar bagi orang-orang Tionghoa dan merupakan perayaan yang besar. Dalam merayakan Imlek setiap orang Tionghoa harus mengucapkan kata-kata yang mengandung makna rejeki, keberuntungan dan lainnya kepada sesama dan hari tersebut dipercayai kita tidak boleh marah, kesal atau sedih karena hari tersebut adalah hari datangnya musim baru yang menandakan datangnya rejeki yang baru. Dalam hal ini yang menjadi situasi adalah Imlek yang dirayakan orang Tionghoa. Sedangkan peristiwanya adalah mengucapkan kata-kata yang bisa mendatangkan hoki kepada orang lain. Sehingga yang menjadi tindak komunikasi adalah harus ceria, senang dan bahagia.
4. Komponen Komunikasi Etnis Tionghoa di Surabaya
Di dalam komponen komunikasi terdapat akronim SPEAKING yang konsepnya bisa diterapkan dalam masyrakat Tiongdoa. Berikut adalah pembahasan dari akronim tersebut:
S = Situation
Orang Tionghoa ketika mereka melakukan komunikasi, mereka melihat latar dan suasana dimana mereka berkomunikasi. Mereka bisa bertindak sesuai dengan situasi yang ada. Tidak menyamakan semuanya harus dikomunikasikan sama.
P = Participation
Biasanya orang Tionghoa melakukan pembicaraan dengan siapa saja. Yang menjadi parsipannya adalah orang sesama suku, antar suku yag lain seperti Hakka dan warga setempat yaitu golongan orang-orang Jawa.
E = End
Orang Tionghoa biasanya melakukan pembicaraan atau berkomunikasi langsung pada tujuannya. Namun dikala situasi yang santai tujuannya pun berubah menjadi pembicaraan yang santai pula.
A = Act Sequence
Bentuk pesan yang sampaikan oleh orang Tionghoa sangat sopan dan memiliki sususan yang cukup rapi. Sedangkan isi dari pesan tersebut biasanya berupa hal-hal yang sangat penting.
K = Key
Kebanyakan orang Tionghoa di Surabaya dalam menyampaikan suatu Komunikasi mengacu pada hal yang santai dan lucu tapi terkadang dijumpai juga penyampaian yang sangat sinis, mereka biasanya adalah para wanita.
I = Instrumentalities
Hal ini mencakup saluran dalam berkomunikasi. Orang Tionghoa dalam berkomunikasi kebanyakan lisan karena mereka adalah orang yang to the point dan sedikit yang melakukan itu secara tertulis.
N = Norms
Orang Tionghoa memiliki norma dalam berdoa atau bersembahyang. Adanya aturan-aturan ketika bersembayang seperti tidak boleh kotor untuk masuk dedalam kelenteng atau berkata sembarangan di dalam klenteng merupakan salah satu contoh dari norma orang Tionghoa.
5. Nilai di Balik Komunikasi Etnis Tionghoa di Surabaya
Sering dikatakan bahwa komunitas etnis Tionghoa dalam segala aspek kehidupannya memiliki hal-hal yang bersifat spesifik termasuk dalam bahasa. Dengan spesifiknya bahasa tersebut maka terdapat suatu unsur nilai dalam komunikasi. Nilai yang terkandung dari komunikasi ini membuat kita sadar bahwa komunikasi yang dilakukan oleh orang Tionghoa di kota Surabaya sudah bisa diterima dalam budaya Indonesia sendiri karena dalam percakapanya bahasa yang digunakan orang Tionghoa tidak lagi semata-mata bahasa Hokkian saja, melainkan bahasa campuran antara Jawa dan Tionghoa itu sendiri.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis dan pembahasan di atas, maka kesimpulan yang dapat ditarik mengenai tata bahasa etnis Tionghoa di Surabaya berdasarkan kajian etnografi komunikasi ialah:
Tata bahasa etnis Tionghoa di Surabaya telah mengalami pencampuran dan pembauran antara adat istiadat kebudayaan China dengan adat istiadat kebudayaan Jawa.
Hal ini bisa dilihat dari cara etnis Tionghoa Surabaya dalam berkomunikasi sehari-hari. Bila mereka bercakap-cakap dengan masyarakat setempat, mereka cenderung akan menggunakan bahasa campuran antara bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia, namun bila mereka bercakap-cakap dengan sesama etnis Tionghoa mereka akan cenderung menggunakan bahasa Mandarin-Hokkian dengan sedikit campuran bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Mandarin-Hokkian ketika seorang etnis Tionghoa Surabaya bercakap-cakap dengan sesama etnis Tionghoa lainnya merupakan semacam generalisasi, tanpa memperhatikan dari suku mana etnis Tionghoa yang menjadi lawan bicaranya tersebut.
Selain itu, intonasi yang kuat dalam tata bahasa Mandarin telah mengalami perubahan menjadi intonasi yang lembut dan lambat sesuai dengan tata bahasa Jawa ketika digunakan untuk bercakap-cakap oleh etnis Tionghoa Surabaya, sehingga sekalipun menggunakan bahasa Mandarin ketika bercakap-cakap, bahasa Mandarin yang digunakan oleh etnis Tionghoa Surabaya akan terdengar halus dan lambat serta berlogat Jawa.
Namun dalam hal ini juga bergantung pada umur dan tingkatan generasinya. Secara umum generasi etnis Tionghoa yang lebih muda cenderung menggunakan bahasa Indonesia karena ada permasalahan bahwa hampir sebagian besar generasi masyarakat Cina sekarang tidak dapat berbahasa asli mereka. Itulah sebabnya sekarang banyak generasi muda Tionghoa yang mulai belajar bahasa Mandarin.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Ridjal K. Study Guide Cultural Anthropology. Jakarta: Learning Material Center Stikom The London School of Public Relations – Jakarta, 2008.
Chaer, Abdul & Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik. Jakarta : Rineka Cipta.
Hymes, D.H. 1974. Foundation in Sociolinguistic : An Ethnographic Approach. Philadelpia : University Of Pensylvania Press.
Noordjanah, Anjarwati. 2004. Komunitas Tionghoa di Surabaya (1910-1946). Semarang : MESIASS.
http://dwipur_sastra.staff.uns.ac.id/2009/06/03/etnografi-komunikasi-dan-register/
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata etnografi mungkin sudah tidak asing ditelinga sebagian masyarakat Indonesia. Etnografi yang biasanya dikaitkan dengan ilmu antropologi sesungguhnya merupakan salah satu bidang kajian dari paradigma penelitian kualitatif. Di Indonesia sendiri metode penelitian kualitatif (aliran kritis) kurang popular bila dibandingkan dengan aliran empiris (metode penelitian kuantitatif). Hal ini disebabkan karena aliran empiris lebih dahulu masuk ke Indonesia, selain itu hasil dari penelitian empiris lebih sesuai dengan paradigma pembangunan di Indonesia yaitu paradigma modernisasi karena hasil dari penelitian empiris berupa angka-angka dan statistik.
Namun demikian, perkembangan media dalam konteks sosial dan praktik budaya yang kian beragam semakin mengukuhkan eksistensi paradigma kualitatif. Kemampuannya menghasilkan produk analisis yang mendalam selaras dengan settingnya, diakui sebagai paradigma yang patut diperhitungkan dalam rangka menghadirkan refleksi bagi kajian ilmu komunikasi. Beberapa metode penelitian berbasis paradigma kualitatif ini - analisis wacana, studi kasus, semiotik dan etnografi – kini mulai dilirik para ilmuwan maupun peneliti.
Metode penelitian etnografi dianggap mampu menggali informasi secara mendalam dengan sumber-sumber yang luas. Dengan teknik “observatory participant”, etnografi menjadi sebuah metode penelitian yang unik karena mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam sebuah masyarakat atau komunitas sosial tertentu. Yang lebih menarik, sejatinya metode ini merupakan akar dari lahirnya ilmu antropologi yang kental dengan kajian masyarakatnya itu.
Dalam bidang kajian komunikasi, etnografi mempunyai istilah tersendiri, yaitu etnografi komunikasi. Etnografi komunikasi mencakup kajian di bidang etnografi dan komunikasi. Atau dengan kata lain, etnografi komunikasi ialah kajian etnografi yang mengkhususkan diri untuk mengkaji aspek-aspek sosiolinguistik dari suatu kelompok masyarakat.
Di dalam studi sosiolinguistik bahasa tidak hanya dipahami sebagai sistem tanda saja, tetapi juga dipandang sebagai sistem sosial, sistem komunikasi dan sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat tertentu. Oleh karena itu, di dalam kajian bahasa dengan ancangan sosiolinguistik senantiasa akan memperhitungkan bagaimana pemakaiannya di dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Faktor-faktor sosial itu, antara lain: status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya. Selain itu bentuk bahasanya dipengaruhi oleh faktor situasional, misalnya : siapa yang berbicara, bagaimana bentuk bahasanya, kepada siapa, kapan, dimana, dan mengenai masalah apa.
1. Etnis Tionghoa di Surabaya
Tidak dapat dipungkiri lagi keberadaan masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah komunitas yang cukup besar. Mereka sekarang bukan lagi sebagai komunitas yang minoritas, hal ini ditandai dengan banyaknya pemukiman-pemukiman yang bisa dijumpai di hampir setiap kota-kota di Indonesia. Datangnya para orang Tioanghoa ke “tanah Garuda” ini pada awalnya hanya untuk berdagang. Namun seiringnya waktu banyak orang Tionghoa yang memutuskan untuk menetap dan tinggal di Indonesia. Mereka yang menetap ini akhirnya membentuk suatu komunitas sesama orang Tionghoa ditempat yang mereka tinggali. Mulai dari sini juga masyarakat Tionghoa mulai membuka diri untuk berbaur dengan warga sekitar tempat dimana orang Tionghoa berdiam.
Pada abad ke-20, imigran Tionghoa mulai menyebar ke seluruh wilayah Nusantara salah satunya adalah Surabaya. Mereka yang masuk ke Surabaya menjadi beragam, tidak lagi didominasi oleh pedagang kelas menengah atau saudagar kaya, namun dari kalangan lapisan sosial yang rendah seperti tukang-tukang, pedagang kecil, buruh, kuli kasar dan lainnya. Perubahan ini tentu saja berpengaruh terhadap proses penyesuaian mereka dalam membentuk ssstem dan struktur sosial dalam komunitas Tionghoa di tempat baru dan dari tahun ke tahun jumlah orang Tionghoa semakin bertambah.
Para pendatang ini berasal dari berbagai suku yang terdapat di Tiongkok sana. Di Surabaya sendiri masyarakat Tionghoa terdiri dari berbagai suku seperti Hokkian, Hakka, Teo Chiu dan Kong Hu. Ciri khas dari masyarakat Tionghoa adalah hidup yang berkelompok dengan sesama sukunya, sehingga mengakibatkan penggunaan bahasa menjadi khas sesuai dengan ciri khas masing-masing suku.
Situasi kebahasaan di kota Surabaya hampir mirip dengan keadaan kebahasaan di Singapura yang merupakan negara multietnik dan multibahasa. Hal ini disebabkan karena Singapura banyak kedatangan imigran yang jumlahnya sama banyak seperti orang Tiongkok dan orang India yang menyebakan bahasa yang dipakai berbaur dengan orang asli Singapura yaitu Melayu dan juga bahasa Inggris karena saat itu Singapura dibawah jajahan Inggris.
Masyarakat Tionghoa di kota Surabaya adalah salah satu etnik yang memiliki cara berkomunikasi yang khas. Keberagaman komunikasi tersebut bisa dimasukan kedalam konsep-konsep dasar etnografi komunikasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini ialah: “Bagaimanakah tata bahasa yang digunakan oleh etnis Tionghoa di Surabaya bila ditinjau dari sudut pandang etnografi komunikasi?”
C. Pertanyaan Penelitian
Atas dasar perumusan masalah di atas, maka dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tata cara berkomunikasi etnis Tionghoa di Surabaya?
2. Komunitas komunikasi apakah yang terdapat pada etnis Tionghoa di Surabaya?
3. Bagaimanakah situasi, peristiwa dan tindak komunikasi etnis Tionghoa di Suarabaya?
4. Apa sajakah komponen komunikasi dalam tata bahasa etnis Tionghoa di Surabaya?
5. Nilai-nilai komunikasi apakah yang terdapat dalam tata bahasa etnis tionghoa di Surabaya?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Etnografi
Istilah etnografi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethnos yang berarti suku bangsa dan graphien yang berarti gambaran. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa etnografi adalah suatu metodologi pengetahuan yang mempelajari mengenai kebudayaan suatu suku bangsa.
Sebagai bagian dari antropologi, etnografi biasanya terdiri atas uraian terperinci mengenai aspek cara berperilaku dan cara berpikir yang sudah membaku pada orang yang dipelajari, berupa tulisan, foto, gambar atau film yang berisi laporan atau deskripsi tersebut.
B. Definisi Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi diantara keduanya. Pada umumnya, komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata (lisan) yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi dengan bahasa nonverbal.
C. Definisi Etnografi Komunikasi
Etnografi komunikasi adalah metode analisis wacana dalam linguistik atau bisa juga dikatakan bahwa etnografi komunikasi merupakan penerapan metode etnografis pada pola komunikasi yang bermakna baik menggunakan tuturan verbal maupun isyarat, bahasa tubuh atau tanda nonverbal dalam sebuah kelompok. Di sini, seorang penafsir mencoba memberikan pengertian bagi beragam bentuk komunikasi yang digunakan oleh anggota kelompok atau budaya.
Sebelum istilah etnografi komunikasi semakin populer dipakai, istilah etnografi berbicara (ethnography of speaking) lebih awal diacu sebagai pemerian pemakaian bahasa lisan. Etnografi komunikasi menjadi lebih luas karena tidak hanya melingkupi modus komunikasi lisan (speaking), tetapi juga melibatkan komunikasi tulis (writing) serta komunikasi isyarat (gesture), gerakan tubuh (kinesics), atau tanda (signing).
Istilah etnography of speaking awalnya diperkenalkan oleh seorang pakar antropologi dan sekaligus pakar linguistik Amerika, Dell Hymes.
Hymes memprihatinkan karya para pakar antropologi dan linguistik yang melupakan wilayah komunikasi manusia yang luas dan penting. Para antropolog telah lama melakukan kajian etnografis tentang aspek-aspek budaya seperti sistem kekerabatan, pandangan tradisional tentang obat-obatan dan penyembuhan penyakit; persoalan bahasa diperlakukan di bawah aspek lain, yaitu sebagai sarana untuk memperoleh topik-topik lain dari bahasa. Banyak buku yang mengkaji tentang perbandingan agama, perbandingan politik dan sebagainya, tetapi tidak ada buku tentang perbandingan wicara dari berbagai suku. Para linguis, menurutnya juga terlalu mementingkan bahasa sebagai sistem abstrak. Mereka terpaku untuk memerikan dan menjelaskan struktur kalimat yang dianggap gramatikal oleh penutur asli. Namun, bagaimana orang menggunakan kalimat itu apakah berbeda dengan kalimat lain, apakah kalimat itu menyuruh orang lain, atau memamerkan ujaran saja, dianggap di luar perhatian teori linguistik. Menurut Hymes “para pakar ilmu sosial memisahkan diri dari isi tutur, dan kedua pakar itu memisahkan diri dari pola penggunaan tutur” (1974:126). Etnografi komunikasi akan mengisi kesenjangan itu dengan menambahkan hal lain (pertuturan atau komunikasi) terhadap topik-topik garapan bidang antropologi bagi pemerian etnografis, dan mengembangkan kajian linguistik.
D. Konsep-Konsep Dasar dalam Etnografi Komunikasi
Menurut Hymes (1974), istilah etnografi komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajian berlandaskan etnografi dan komunikasi. Konsep etnografi wicara di dalam sosiolinguistik menurut Hymes merupakan bagian dari kajian komunikasi secara keseluruhan. Untuk itu perlu dipahami beberapa konsep penting yang berkaitan dengan etnografi wicara:
1. Tata Cara Bertutur
Tata cara bertutur (ways of speaking) mengandung gagasan, peristiwa komunikasi di dalam suatu komunitas mengandung pola-pola kegiatan tutur, sehingga kompetensi komunikatif seseorang mencakup pengetahuan tentang pola itu. Tata cara itu mengacu kepada hubungan antara peristiwa tutur, tindak tutur, dan gaya di satu pihak, dengan kemampuan dan peran seseorang, konteks dan institusi, serta kepercayaan, nilai, dan sikap di lain pihak.
2. Komunitas Tutur
Hymes berpendapat bahwa semua warga komunitas tutur saling terpaut bukan hanya oleh kaidah wicara yang sama, melainkan juga oleh setidak-tidaknya satu ragam (varietas) bahasa. Saville Troike menganggap persamaan bahasa itu tidak perlu, yang penting terdapat persamaan kaidah wicara. Troike juga menyebut adanya komunitas tutur yang tumpang tindih. Seorang mahasiswa adalah warga kampus, tetapi juga warga asrama, warga suku, warga bangsa, dan seterusnya. Tiap komunitas mempunyai sedikit kaidah pembeda komunikasi dan dalam hal-hal tertentu juga kaidah pembeda wicara. Ini berarti, setiap penutur tidak perlu termasuk hanya ke dalam satu komunitas tutur atau ke dalam dua atau lebih komunitas tutur yang sama sekali berbeda. Orang biasanya menjadi anggota dari beberapa komunitas tutur pada saat yang sama. Orang akan mengubah perilaku tuturya, dengan menyesuaikan diri dengan komunitas yang melibatkan tutumya, dengan menambah, mengurangi dan mengganti kaidah perilaku komunikatif.
3. Situasi, Peristiwa dan Tindak Tutur
Untuk mengkaji kebiasaan komunikasi di dalam suatu komunitas tutur, seorang peneliti harus mengamati unit-unit interaksi, yaitu situasi tutur (speech situation), peristiwa tutur (speech event) dan tindak tutur (speech act). Tindak tutur merupakan bagian dari peristiwa tutur dan peristiwa tutur menjadi bagian dari situasi tutur.
Situasi tutur adalah situasi yang dikaitkan dengan tuturan dan tidak ada kaitannya dengan linguistik.
Peristiwa tutur berciri komunikatif dan terikat dengan aturan cara bertutur. Peristiwa tutur dapat terdiri atas satu atau lebih tindak tutur. Dimungkinkan pula suatu tindak tutur sekaligus mencakup peristiwa tutur dan situasi tutur.
Tindak tutur merupakan tataran yang sederhana dan rumit, karena kedudukannya di dalam komunikasi merupakan jenjang terendah namun rumit sebab berkait dengan pragmatik.
Hymes berpendapat bahwa tindak tutur dipengaruhi oleh konteks sosial, bentuk gramatikal dan intonasi.
4. Komponen Tutur
Selain situasi, peristiwa dan tindak tutur masih ada konsep lain yang cukup penting, yaitu komponen tutur. Komponen tutur akan meliputi akronim dari SPEAKING. Konsepnya bisa dijelaskan pada setiap awal huruf, yaitu meliputi:
S = Situasi (act situation), mencakup latar dan suasana. Latar berkaitan dengan lingkungan fisik komunikasi yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Sedangkan suasana akan berkaitan dengan suasana psikologis.
P = Partisipan, mencakup tidak hanya penutur dan mitra tutur, tetapi juga adressor (juru bicara) yang terkadang yang diwakili tidak berada di tempat dan audience (pendengar).
E = End (tujuan), mencakup maksud dan hasil yang akan dipilah atas tujuan dari peristiwa tutur dipandang dari sudut budaya (outcomes) dan tujuan dari masing-masing partisipan (goals).
A = Act sequence (urutan tindak), mencakup bentuk pesan (bagaimana pesan itu disampaikan dan isi pesan (apa yang disampaikan).
K = Key (kunci), yang mengacu pada bagaimana suatu tuturan disampaikan.
I = Instrumentalities (peranti, perabotan), mencakup saluran (lisan, tulis, e-mail) dan bentuk tutur.
N = Norms (norma), mencakup norma interaksi dan norma interpretasi.
G = Genre, yang mengacu pada jenis-jenis wacana yang dipakai.
5. Nilai di Balik Tutur
Di dalam suatu komunikasi peneliti hendaknya mengamati pertuturan yang memiliki kaidah-kaidah tertentu dan yang menentukan kaidah tersebut adalah komunitas tutur. Kalau peneliti ingin mengawali pandangannya dari sudut tutur bukan dari sudut sosial komunitas tutur, peneliti dapat melihat bahwa di balik tutur ada nilai-nilai sosial-budaya. Artinya,dengan melihat tuturan seseorang atau sekelompok orang peneliti akan dapat menentukan atau setidak-tidaknya menerka dapat mengidentifikasi “siapa” orang itu, dari kelompok mana dia, makna sosial tutumya, nilai, ajaran, pandangan hidup dan sebagainya.
BAB III
TATA BAHASA ETNIS TIONGHOA DI SURABAYA
1. Tata Cara Komunikasi Etnis Tionghoa di Surabaya
Tata cara berkomunikasi atau ways of speaking mengandung pengertian bahwa peristiwa komunikasi dalam suatu komunitas mengandung pola-pola kegiatan komunikasi sehingga kompetensi komunikatif seseorang mencakup pengetahuan tentang pola itu. Dalam Masyarakat Tionghoa Surabaya, tata cara berkomunikasi yang mereka pakai berbeda dengan kelompok budaya lainnya. Dalam sistem berdagang, etnis Tionghoa memiliki slang atau jargon-jargon khusus yang hanya dimengerti oleh kalangan sendiri saja. Sedangkan untuk komunikasi sehari-hari dengan masyarakat sekitarnya, masyarakat Tionghoa memiliki pemarkah-pemarkah khusus yang merupakan pengaruh budaya asli mereka baik Mandarin atau Hokkian. Dalam komunikasi sehari-hari masyarakat Tionghoa Surabaya sering menggunakan bahasa campuran antara bahasa Indonesia, Jawa dan mandarin-hokkian. Dapat kita lihat bahwa telah terjadinya percampuran bahasa ini juga menyebabkan tata cara komunikasi masyarakat Tionghoa berubah pula dari seharusnya. Sebagai contoh, cara berbicara orang Tionghoa yang seharusnya agak sedikit kasar kalau didengar karena mereka mengunakan bahasa mandarin yang dalam terdapat tingkatan bunyi atau intonasi yang berbeda tiap katanya. Tapi ketika mereka telah berbaur dengan penduduk asli Surabaya sendiri maka orang Tionghoa berbicara lebih lembut mengikuti logat Jawa. Selain itu, terjadinya percampuran bahasa juga membuat tata cara orang Tionghoa berkomunikasi menjadi lebih mudah dengan orang asli Surabaya karena mengunakan bahasa yang sama dan mengerti bahasa tersebut. Masyarakat Tionghoa Surabaya ketika anak-anak muda melakukan pembicara dengan orang yang dianggap lebih tua, mereka akan hormat sekali dan memperhatikan dengan seksama. Hal ini terjadi karena ada pengaruh dari adat Jawa. Namun ketika diberi kesempatan untuk berbicara mereka akan mengeluarkan apa yang mereka inginkan. Ini merupalan cirri khas dari masyarakat Tionghoa yang mengeluarkan pendapat dengan sangat terbuka.
2. Komunitas Komunikasi Etnis Tionghoa di Surabaya
Hymes berpendapat bahwa semua warga komunitas komunikasi saling terpaut bukan hanya oleh kaidah wicara yang sama, melainkan juga oleh setidak-tidaknya satu ragam bahasa. Jadi yang ditekankan oleh Hymes adalah bahasa yang sama yang dipakai adalah hal yang menentukan orang tersebut masuk kedalam komunitas komunikasi. Tionghoa di Surabaya memiliki komunitas komunikasi berdasarkan bahasa yang dipakai. Seperti yang telah diungkapkan di atas, bahwa orang Tionghoa yang datang ke Surabaya terdiri dari beberapa suku seperti Hokkian, Hakka, Tio Chiu, dan Kong Hu. Mereka yang datang tersebut secara tidak langsung sudah membentuk kelompok masing-masing berdasarkan bahasa yang dipakai. Sebagai contoh adalah suku Hokkian yang merupakan suku Tionghoa yang mendominasi di Surabaya, mereka berkumpul dengan sesama orang Hokkian dan ketika pembicaraan yang terjadi bahasa yang digunakan adalah bahasa Hokkian. Walaupun begitu mereka tetap bergaul dengan orang Tionghoa lainnya. Karena suku Hokkian yang mendominasi maka ketika terjadi percakapaan, bahasa yang dipakai untuk berbicara adalah bahasa Hokkian tanpa mereka tahu apalah lawan bicara mereka adalah orang Tionghoa dari suku Hokkian. Dari contoh ini, teori Hymes mengenai komunitas komunikasi suku Tionghoa dapat dimasukkan kedalam fakta yang ada.
3. Situasi, Peristiwa dan Tindak Komunikasi Etnis Tionghoa di Surabaya
Ada 3 situasi komunikasi yaitu situasi komunikasi, peristiwa komunikasi dan tindak komunikasi. Semua ini saling terkait satu sama lainnya. Tindak komunikasi terjadi karena adanya peristiwa komunikasi, sedangkan peristiwa komunikasi terjadi karena adanya situasi komunikasi. Imlek merupakan hari besar bagi orang-orang Tionghoa dan merupakan perayaan yang besar. Dalam merayakan Imlek setiap orang Tionghoa harus mengucapkan kata-kata yang mengandung makna rejeki, keberuntungan dan lainnya kepada sesama dan hari tersebut dipercayai kita tidak boleh marah, kesal atau sedih karena hari tersebut adalah hari datangnya musim baru yang menandakan datangnya rejeki yang baru. Dalam hal ini yang menjadi situasi adalah Imlek yang dirayakan orang Tionghoa. Sedangkan peristiwanya adalah mengucapkan kata-kata yang bisa mendatangkan hoki kepada orang lain. Sehingga yang menjadi tindak komunikasi adalah harus ceria, senang dan bahagia.
4. Komponen Komunikasi Etnis Tionghoa di Surabaya
Di dalam komponen komunikasi terdapat akronim SPEAKING yang konsepnya bisa diterapkan dalam masyrakat Tiongdoa. Berikut adalah pembahasan dari akronim tersebut:
S = Situation
Orang Tionghoa ketika mereka melakukan komunikasi, mereka melihat latar dan suasana dimana mereka berkomunikasi. Mereka bisa bertindak sesuai dengan situasi yang ada. Tidak menyamakan semuanya harus dikomunikasikan sama.
P = Participation
Biasanya orang Tionghoa melakukan pembicaraan dengan siapa saja. Yang menjadi parsipannya adalah orang sesama suku, antar suku yag lain seperti Hakka dan warga setempat yaitu golongan orang-orang Jawa.
E = End
Orang Tionghoa biasanya melakukan pembicaraan atau berkomunikasi langsung pada tujuannya. Namun dikala situasi yang santai tujuannya pun berubah menjadi pembicaraan yang santai pula.
A = Act Sequence
Bentuk pesan yang sampaikan oleh orang Tionghoa sangat sopan dan memiliki sususan yang cukup rapi. Sedangkan isi dari pesan tersebut biasanya berupa hal-hal yang sangat penting.
K = Key
Kebanyakan orang Tionghoa di Surabaya dalam menyampaikan suatu Komunikasi mengacu pada hal yang santai dan lucu tapi terkadang dijumpai juga penyampaian yang sangat sinis, mereka biasanya adalah para wanita.
I = Instrumentalities
Hal ini mencakup saluran dalam berkomunikasi. Orang Tionghoa dalam berkomunikasi kebanyakan lisan karena mereka adalah orang yang to the point dan sedikit yang melakukan itu secara tertulis.
N = Norms
Orang Tionghoa memiliki norma dalam berdoa atau bersembahyang. Adanya aturan-aturan ketika bersembayang seperti tidak boleh kotor untuk masuk dedalam kelenteng atau berkata sembarangan di dalam klenteng merupakan salah satu contoh dari norma orang Tionghoa.
5. Nilai di Balik Komunikasi Etnis Tionghoa di Surabaya
Sering dikatakan bahwa komunitas etnis Tionghoa dalam segala aspek kehidupannya memiliki hal-hal yang bersifat spesifik termasuk dalam bahasa. Dengan spesifiknya bahasa tersebut maka terdapat suatu unsur nilai dalam komunikasi. Nilai yang terkandung dari komunikasi ini membuat kita sadar bahwa komunikasi yang dilakukan oleh orang Tionghoa di kota Surabaya sudah bisa diterima dalam budaya Indonesia sendiri karena dalam percakapanya bahasa yang digunakan orang Tionghoa tidak lagi semata-mata bahasa Hokkian saja, melainkan bahasa campuran antara Jawa dan Tionghoa itu sendiri.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis dan pembahasan di atas, maka kesimpulan yang dapat ditarik mengenai tata bahasa etnis Tionghoa di Surabaya berdasarkan kajian etnografi komunikasi ialah:
Tata bahasa etnis Tionghoa di Surabaya telah mengalami pencampuran dan pembauran antara adat istiadat kebudayaan China dengan adat istiadat kebudayaan Jawa.
Hal ini bisa dilihat dari cara etnis Tionghoa Surabaya dalam berkomunikasi sehari-hari. Bila mereka bercakap-cakap dengan masyarakat setempat, mereka cenderung akan menggunakan bahasa campuran antara bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia, namun bila mereka bercakap-cakap dengan sesama etnis Tionghoa mereka akan cenderung menggunakan bahasa Mandarin-Hokkian dengan sedikit campuran bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Mandarin-Hokkian ketika seorang etnis Tionghoa Surabaya bercakap-cakap dengan sesama etnis Tionghoa lainnya merupakan semacam generalisasi, tanpa memperhatikan dari suku mana etnis Tionghoa yang menjadi lawan bicaranya tersebut.
Selain itu, intonasi yang kuat dalam tata bahasa Mandarin telah mengalami perubahan menjadi intonasi yang lembut dan lambat sesuai dengan tata bahasa Jawa ketika digunakan untuk bercakap-cakap oleh etnis Tionghoa Surabaya, sehingga sekalipun menggunakan bahasa Mandarin ketika bercakap-cakap, bahasa Mandarin yang digunakan oleh etnis Tionghoa Surabaya akan terdengar halus dan lambat serta berlogat Jawa.
Namun dalam hal ini juga bergantung pada umur dan tingkatan generasinya. Secara umum generasi etnis Tionghoa yang lebih muda cenderung menggunakan bahasa Indonesia karena ada permasalahan bahwa hampir sebagian besar generasi masyarakat Cina sekarang tidak dapat berbahasa asli mereka. Itulah sebabnya sekarang banyak generasi muda Tionghoa yang mulai belajar bahasa Mandarin.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Ridjal K. Study Guide Cultural Anthropology. Jakarta: Learning Material Center Stikom The London School of Public Relations – Jakarta, 2008.
Chaer, Abdul & Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik. Jakarta : Rineka Cipta.
Hymes, D.H. 1974. Foundation in Sociolinguistic : An Ethnographic Approach. Philadelpia : University Of Pensylvania Press.
Noordjanah, Anjarwati. 2004. Komunitas Tionghoa di Surabaya (1910-1946). Semarang : MESIASS.
http://dwipur_sastra.staff.uns.ac.id/2009/06/03/etnografi-komunikasi-dan-register/
Langganan:
Postingan (Atom)