Rabu, September 16, 2009

Industri Film Nasional Indonesia - Sejarah, Permasalahan dan Solusi

Ada 3 alasan kenapa kita perlu membicarakan tentang film Indonesia, antara lain:

1. Film merupakan salah satu bagian dari industri kreatif.

Tren pertrumbuhan film dalam 3 tahun terakhir naik menjadi 15%.

Untuk tahun 2006 industri film menyumbang 33.5% dari Pendapatan Domestik Bruto. Jumlah ini 6 kali lebih besar dari pemasukan dari sektor minyak dan gas bumi untuk periode yang sama.

2. Jumlah produksi film Indonesia terus meningkat.

Hal ini berarti bahwa secara bisnis, prospek film Indonesia sebagai industri komersial juga meningkat.

3. Penonton film di Indonesia masih lebih suka menonton film Indonesia

Data jumlah penonton film di Indonesia untuk tahun 2006 menunjukkan bahwa:

Film Indonesia

Penonton: 12 juta

Judul: 40 judul

Rata-rata film Indonesia ditonton oleh 300 ribu orang per judul

Film asing

Penonton: 23 juta

Judul: 188 judul

Rata-rata film asing ditonton oleh 122 ribu orang per judul

Sejarah singkat perkembangan industri film Indonesia

1900 Bioskop pertama muncul di Indonesia

1920 Produksi film dalam negeri pertama yang berjudul “Loetoeng Kasaroeng”. Dalam produksi film ini, kru-kru yang memproduksinya masih merupakan orang-orang Belanda.

1931 Film dengan suara pertama muncul, yaitu “Boenga Roos”. Kemunculan film ini merupakan kemajuan besar bagi industri film Indonesia karena hanya berjarak 4 tahun dengan Amerika yang pertama kali memproduksi film dengan suara.

1936 Film pertama yang menggunakan Bahasa Indonesia “Terang Boelan”.

1939 Pecahnya Perang Dunia II di Eropa oleh Adolf Hitler. Akibat peristwa ini, produksi film Eropa menurun dan mereka pun tidak bisa mengirim film ke Indonesia. Karena permintaan pasar akan film sangat besar maka orang Indonesia pun memproduksi film sendiri dari yang semula hanya 5 judul per tahun menjadi 13 judul per tahun.

1940 – 1941 Industri film terus berkembang hingga menghasilkan 41 judul per tahun.

1942 Jepang menguasai Indonesia dan melarang produksi film kecuali untuk keperluan propaganda Jepang.

1945 – 1947 Film dokumenter perang marak beredar.

1950 Film pertama produksi orang Indonesia “Darah dan Doa” dibuat. Hari pertama produksi film ini diperingati sebagai Hari Film Nasional.

SETELAH ITU... Jumlah produksi film Indonesia relatif stabil dengan rata-rata 20 – 70 judul per tahun . Kondisi ini berlangsung sampai tahun 1977.

1978 Harga minyak dunia naik yang berimbas pada naiknya perekonomian Indonesia. Banyak orang yang berbondong-bondong menanamkan modalnya di industri film sehingga produksi film Indonesia kala itu mencapai 134 judul per tahun.

1992 – 1997 Film Indonesia tersingkir dari bioskop-bioskop kelas atas. Industri film Indonesia mati suri.

Ada beberapa alasan mengapa industri film Indonesia sampai mengalami mati suri, diantaranya yaitu:

· Teknologi home video mulai marak di Indonesia. Ditambah lagi banyaknya video bajakan sehingga orang lebih memilih menonton film bajakan di rumah.

· Mulai membesarnya raksasa Studio 21 yang memperkenalkan studio multiplex dan kebanyakan dibangun di mall-mall sehingga menyebabkan matinya bioskop-bioskop lainnya.

· Adanya monopoli impor film dan penghapusan quota film asing.

Mengapa film-film Indonesia tidak bisa melawan film-film impor?

· Karena membesarnya Studio 21 penonton film jadi lebih spesifik yaitu kelas atas dan berpendidikan.

· Banyak pembuat film di Indonesia yang membuat film sekedarnya dan tidak mengikuti perkembangan dunia film internasional.

· Belum terbentuknya budaya menonton film di biokop pada masyarakat Indonesia.

Industri film di Indonesia bangkit lagi karena diawali oleh film “Kuldesak” yang dibuat oleh sekelompok orang yang ingin membuat film Indonesia bangkit lagi dan produksi film ini memakan waktu 2 tahun.

1998 Kuldesak beredar di bioskop

Menyusul “Daun di Atas Bantal”

2000 “Petualangan Sherina” berhasil meraih 1,4 juta penonton

“Jelangkung” 1 juta penonton

2002 “Ada Apa dengan Cinta?” berhasil meraih 2,4 juta penonton dan berhasil menjadi tren film remaja sampai sekarang ini.

SEJAK SAAT ITU... Jumlah produksi film per tahun dan jumlah penontonnya juga terus naik. Data tahun 2002 – 2003 menunjukkan bahwa film Indonesia ditonton oleh minimal 300 ribu orang per judul. Walaupun film horor ditonton oleh rata-rata 1 juta orang per judul. Sedangkan akhir-akhir ini yang sedang menjadi tren adalah film komedi dengan Nagabonar Jadi 2 yang meraih 2 juta penonton, Get Married yang meraih 1,5 juta penonton dan Quicky Express yang dalam 2 minggu pertama pemutarannya berhasil meraih 600 ribu penonton.

Permasalaha Film Nasional Indonesia

Salah satu permasalahan paling umum dan terutama dari industry film nasional Indonesia ialah tingginya angka kerugian dalam industry film. Kerugian ini antara lain disebabkan oleh rendahnya jumlah penonton film Indonesia karena kalah bersaing dengan film-film produksi macanegara. Untuk factor pembajakan film, walaupun masih terbilang cukup tinggi namun pembajakan film Indonesia tidak setinggi tingkat pembajakan film-film produksi Hollywood misalnya. Hal ini mungkin dikarenakan adanya semacam perjanjian moral tak tertulis diantara para pelaku pembajakan film untuk tidak membajak film-film produksi dalam negeri. Namun hal ini memang belum bisa dibuktikan kebenarannya.

Guna mengatasi lingkaran setan kerugian dalam industri film layar lebar Indonesia, menurut saya ada beberapa cara, diantaranya yaitu:

Pertama dan yang paling utama harus dilakukan adalah meningkatkan kualitas cerita. Karena kalau kita lihat, yang menjadi perbedaan paling mencolok antara film Indonesia dengan film asing adalah dari sisi kualitas cerita. Para sineas Indonesia cenderung menggunakan pola cerita yang sama yang sedang menjadi trend dan telah sukses untuk membuat film-film mereka. Ketika film “Ada Apa Dengan Cinta” meledak dengan tema remaja mereka, semua film yang beredar di Indonesia mulai dari film layar lebar, FTV dan sinetron banyak mengangkat tema remaja. Demikian pula dengan tema horor dan komedi yang sedang trend akhir-akhir ini. Akan tetapi tema cerita yang diangkat itu, karena terlalu banyak dieksploitasi dengan banyaknya film yang beredar dengan tema yang sama akhirnya lama-kelamaan menjadi tidak logis, terkesan maksa, dan runutan jalannya cerita sangat mudah ditebak. Contohnya “Film Horor” yang katanya terinspirasi oleh kesuksesan “Scary Movie” ditambah sedang trendnya tema film horor di tanah air. Menurut saya, cerita dalam film ini terkesan memaksa untuk menampilkan seluruh jenis dan macam kebudayaan hantu yang ada di Indonesia yang sebenarnya keberadaan hantu-hantu ini tidak terlalu berpengaruh terhadap jalannya cerita.

Menurut saya, para sineas Indonesia harus lebih berani membuat film dengan tema cerita yang benar-benar baru dan kreatif. Kita bisa kembali melihat dari film “Ada Apa Dengan Cinta”. Ketika Rudi Soedjarwo memutuskan untuk memproduksi AAdC, industri film Indonesia yang saat itu sedang terpuruk masih diwarnai oleh film-film horor jadul ala Suzanna dan film-film yang menjual erotisme. Banyak pihak yang waktu itu meragukan keberhasilan AAdC. Tetapi kenyataan membuktikan bahwa film ini sukses besar dan bahkan dikatakan bahwa film inilah yang menjadi titik balik kebangkitan industri film tanah air. Ini membuktikan bahwa bila kita mampu membuat sebuah film dengan kualitas cerita yang baik, tema film yang baru dan kreatif maka bukan hanya kerugian yang bisa kita atasi tetapi juga film ini bisa memcatat rekor baru kesuksesan.

Mungkin membuat film dengan tema cerita yang benar-benar baru dain yang melawan arus trend sangat dihindari sineas Indonesia karena takut tidak disukai pasar dan malah semakin memperbesar kerugian biaya produksi. Tetapi bila film dengan tema baru itu mempunyai kualitas cerita yang baik maka saya yakin film itu akan sangat menjual. Karena menurut saya penonton film di Indonesia cenderung sangat mempercayai informasi dari mulut ke mulut mengenai suatu film. Menurut pengalaman saya ketika sebuah film diputar di bioskop, dalam minggu pertama para movie freak pasti akan langsung menonton film itu. Setelah mereka menonton pasti merekan akan menceritakan kepada teman-teman mereka dan merekomendasikan film itu jika ceritanya benar-benar bagus dan akan lebih banyak lagi orang yang menonton film tersebut. Bukan tidak mungkin para penonton film akan menonton film yang sama lebih dari satu kali bila ceritanya benar-benar bagus dan layak untuk ditonton lebih dari satu kali. Hal yang sama juga berlaku untuk film Indonesia.

Hal kedua yang bisa dilakukan adalah dengan membentuk budaya menonton film Indonesia di kalangan para penonton film di Indonesia. Salah satu caranya bisa melalui kerjasama antara asosiasi pembuat film Indonesia dengan stasiun TV, karena seperti yang kita tahu bahwa di Indonesia media massa yang paling banyak bersentuhan dengan rakyat Indonesia adalah TV. Kerjasama ini bisa berupa membuat suatu program televisi yang khusus mengulas secara detail film-film Indonesia yang sedang diputar di bioskop maupun yang sedang dalam proses penggarapan. Mulai dari beberapa tahun yang lalu program-program televisi seperti ini sebenarnya sudah ada tetapi sepertinya tidak bertahan lama. Bila program seperti ini diadakan lagi dan benar-benar dikembangkan secara sinergis oleh kedua belah pihak maka akan sangat membantu untuk mempromosikan film-film Indonesia.

Last but not least yang menurut saya bisa dilakukan adalah menjalin kerja sama antara para pembuat film Indonesia dengan pemerintah dalam hal ini Departemen Kebudayaan dan Pariwisata serta Pemerintah Daerah untuk penggunaan spot tertentu seperti objek wisata dan sebagainya. Anggap saja Departemen Pariwisata den Pemerintah Daerah tempat suatu objek wisata berada berpromosi melalui film, sehingga bila ada film Indonesia yang scenenya mengambil tempat di objek wisata itu maka Departemen Pariwisata den Pemerintah Daerah bersangkuta turut menanggung biaya produksi film senilai promosi. Untuk memberitahu penonton nama objek wisata tempat scene itu diambil bisa diinformasikan lewat selintas promo atau dengan metode yang biasa dilakukan oleh stasiun TV untuk memberitahukan acara selanjutnya kepada pemirsanya saat suatu program televisi akan berakhir. Cara ini menurut saya akan lebih efektif ketimbang hanya memberitahukan mengenai objek wisata melalui ucapan terima kasih pada credit film karena biasanya para penonton film di Indonesia sangat jarang yang mau melihat credit suatu film. Cara ini tentunya harus benar-benar didukung oleh Departemen Pariwisata dan Pemerintah Daerah karena bentuk kerjasama yang terjadi lebih berupa promosi melalui film dan diharapkan ada timbal balik berupa bantuan dana untuk produksi film. Cara ini sudah dilakukan oleh Pemerintah Malaysia beberapa tahun lalu melalui film “The Entrapment” dimana film yang merupakan hasil kerjasama antara Pemerintah Malaysia dengan Hollywood ini mengambil lokasi shooting di Malaysia. Hasilnya cukup baik dimana sejak saat itu aliran wisatawan mancanegara ke Malaysia terus meningkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar