Rabu, September 16, 2009

Regulasi dan Etika Media di Indonesia

PENDAHULUAN
Sejak kejatuhan Orde Baru dan kelahiran Era Reformasi di Indonesia yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto dan naiknya Presiden BJ Habibie, pers dan media massa di Indonesia seolah terlahir kembali dengan kebebasan dan kemerdekaannya. Pada masa Orde Baru kebebasan pers dan media massa merupakan salah satu hal penting yang selalu dituntut untuk dilaksanakan di Indonesia karena kebebasan pers dianggap sebagai bukti bahwa kedaulatan rakyat suatu negara benar-benar diakui.
Kita tahu bahwa pada masa Orde Lama dan Orde Baru, pers dan media massadi Indonesia “dikuasai” oleh pemerintah dan golongan-golongan tertentu dan kerap kali digunakan sebagai alat propaganda. Pada massa itu regulasi mengenai media massa yang ditetapkan oleh pemerintah amat sangat ketat. Untuk menerbitkan surat kabar saja contohnya kita harus memiliki SIUPP. Kita bahkan sudah sering kali mendengar kasus pembrdelan terhadap berbagai surat kabar, majalah dan berbagai media massa lainnya karena dianggap meresahkan masyarakat dan membentuk opini yang tidak baik terhadap pemerintah di mata rakyat karena kritikan mereka terhadap pemerintah.
Akan tetapi ditegah perkembangan arus informasi dan teknologi yang semakin pesat di seluruh dunia akhir-akhir ini ditambah lagi semakin sadar dan butuhnya masyarakat akan informasi yang aktual, tepat dan objektif maka kebutuhan akan kebebasan pers semakin besar. Oleh karena itu ketika Era Reformasi berhasil dimulai di Indonesia, kebebasan pers merupakan salah satu hal yang dituntut untuk segera dilaksanakan di Indonesia. Hal ini tentu berdampak baik bagi perkembangan pers dan media massa di Indonesia. Salah satu perubahan signifikan akibat dari pemberlakuan kebebasan pers ialah tidak adanya lagi penyensoran, pembredelan dan pelangaran penyiaran terhadap pers. Tentu saja kebebasan pers sebagai sesuatu yang dinilai baru di tengah kehidupan masyarakat Indonesia dianggap perlu mendapat pengawasan dan pembinaan agar kebebasan yang diberikan dapat menjadi kebebasan yang bertanggung jawab dan tidak lepas kendali. Untuk itulah pemerintah pada menetapkan suatu regulasi dan pedoman etika untuk mengontrol perilaku pers tanpa membatasi kebebasan mereka.


DEFINISI RAGULASI DAN ETIKA MEDIA MASSA
Dalam pembahasan kami ini, kami mendefinisikan bahwa regulasi media massa ialah seperangkat aturan yang berisikan aturan-aturan mengenai media massa dan segala aspek terkaitnya seperti jurnalisme, penyiaran dan sebagainya dan bersifat mengikat.
Sementara itu etika media massa ialah kesadaran moral mengenai kewajiban-kewajiban media massa dan mengenai penilaian media massa yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah.


REGULASI MEDIA MASSA DI INDONESIA
Regulasi mengenai media massa di Indonesia yang ditetapkan oleh pemerintah pada dasarnya lebih spesifik ke bentuk regulasi mengenai penyiaran oleh media massa dan mengenai pers. Regulasi mengenai penyiaran pun lebih mengarah kepada penyiaran oleh media massa elektronik, hal ini dikarenakan bahwa definisi siaran itu sendiri lebih merujuk pada proses penyampaian informasi dalam bentuk audio, visual atau audiovisual. Sementara untuk media massa cetak regulasi yang digunakan ialah regulasi mengenai pers. Karena media cetak yang paling umum dan mendominasi di Indonesia adalah surat kabar dan surat kabar merupakan hasil kerja pers. Padahal saat ini hampir semua media massa memerlukan peran pers untuk menyiarkan informasi.
Terlepas dari semua itu, pemerinah telah beritikad baik untuk mengontrol kebebasan media massa di Indonesia tanpa mengurangi kebebasan media massa itu sendiri. Walau bagaimanapun, kebebasan media massa harus menjadi kebebasan yang bertanggung jawab.
Untuk itu pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1966 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers dan disahkan di Jakarta pada tanggal 23 September 1999 oleh Presiden BJ Habibie. Dasar pertimbangan penetapan UU ini adalah pertama bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyatdan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Kedua bahwa kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani adalah merupakan Hak Asasi Manusia. Ketiga bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa harus mendapat jaminan hukum agar dapat melaksanakan asa, fungsi, hak, kewajiban dan peranannya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional. Keempat bahwa pers nasional harus ikut berperan mejaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kelima bahwa UU nomor 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Selain itu, untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional yang profesional dibentuklah suatu lembaga independen, yaitu Dewan Pers. Fungsi-fungsi Dewan Pers antara lain:
• Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain
• Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers
• Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik
• Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers
• Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah
• Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan
• Mendata perusahaan pers

Selain itu pemerintah juga menetapkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran yang disahkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2002 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Dengan pemberlakuan UU ini maka UU Penyiaran yang sebelumnya yaitu UU nomor 24 tahun1997 dinyatakan tidak berlaku lagi. Dasar dari penetapan UU ini adalah pertama bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui penyiaran merupakan Hak Asasi Manusia dan didukung oleh Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua bahwa spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Ketiga bahwa untuk menjaga integrasi nasional, kemajemukan masyarakat Indonesia dan terlaksananya otonomi daerah maka perlu dibentuk sistem penyiaran nasional yang menjamin terciptnya tatanan informasi nasional yang adil, merata dan seimbang guna mewujudkan kehidupan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keempat bahwa lembaga penyiaran merupakan media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi, memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial. Kelima bahwa siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan bebas memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak, maka penyelenggara penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian, dan kesatuan bangsa yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Sebagai tindak lanjut dari UU ini dibentuklah suatu lembaga independen untuk mengatur hal-hal mengenai penyiaran yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Wewenang dari KPI antara lain:
• Menetapkan standar program siaran
• Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran
• Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
• Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan pemerintah,lembaga penyiaran dan masyarakat
• Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran

Sementara itu tugas dan kewajiban KPI antara lain:
• Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layakdan benar sesuai dengan Hak Asasi Manusia
• Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran
• Ikut membangun iklim persaingan yang sehat anatar lembaga penyiaran dan industri terkait
• Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata dan seimbang
• Menampung, meneliti dan menindak lanjuti aduan, sangahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran
• Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalisme di bidang penyiaran


ETIKA MEDIA MASSA
Etika media massa merupakan bagian yang paling banyak disorot dari kemerdekaan pers. Hal ini dikarenakan hilangnya filter yang membatasi antara informasi yang diberikan oleh media massa dengan yang dikonsumsi oleh masyarakat dalam era kemerdekaan pers ini. Media massa menjadi bebas untuk menayangkan informasi apapun yang mereka suka. Demikian pula dengan masyarakat, dengan semakin bebasnya informasi yang diberikan oleh media, konsumen semakin bebas untuk mengkonsumsi informasi itu. Tentu hal ini memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif dari hal ini ialah media semakin bebas berekspresi dalam menayangkan informasi dan konsumen semakin variatif dalam memilih informasi apa yang mereka inginkan. Sementara dampak negatifnya ialah semakin hilangnya budaya-budaya masyarakat karena arus informasi yang mengalir bebas ini. Sebagai contoh, saat ini semakin banyak surat kabar, majalah atau tabloid yang hanya menjual sensasi dan sensualitas yang kualitas isinya sebenarnya meragukan dan masyarakat pun bisa dengan bebas membelinya. Hal ini lama-kelamaan akan semakin mengikis nilai kehidupan dan budaya bangsa Indonesia.
Sebenarnya berkaitan dengan etika komunikasi massa ada beberapa poin penting yang menjadi dasar dari etika media massa itu sendiri,antara lain: tanggung jawab, kebebasan pers, masalah etis, ketepatan dan objektivitas serta tindakan adil untuk semua orang.
Untuk di Indonesia sendiri, pemerintah tekah menetapkan beberapa pedoman etika yang berkaitan dengan penyiaran dan pers seperti yang tertuang dalam UU nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, serta ada pula Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang disusun oleh asosiasi-asosiasi wartawan di Indonesia. Akan tetapi masalah etika selalu berpulang kepada pandangan moral para pelaku media massa itu lagi. Saat ini banyak sekali kita temui pelangaran terhadap etika media massa. Dan media massa sendiri cenderung tidak peduli dengan pelanggaran yang mereka lakukan. Hal ini mungkin disebabkan karena pergeseran fungsi media massa yang semakin bergerak ke arah komersialisme dengan adanya sistem oplah untuk media cetak dan sistem rating dan share pada media elektronik untuk mengukur jumlah konsumen dan keuntungan mereka. Selama tingkat konsumsi masyarakat terhadap media itu tetap tinggi, etika dan moral bukan menjadi persoalan utama lagi.
Dalam UU nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, etika media massa tercantum dengan jelas pada pasal 36 ayat 1, 3 sampai 6 tentang isi siaran serta pasal 48 ayat 4 dan 5 tentang pedoman perilaku penyiaran. Bunyi ayat-ayat itu anatara lain:
Pasal 36:
• Ayat 1: isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
• Ayat 3: isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan acara pada waktu yang tepat, dan penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebut klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.
• Ayat 4: isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.
• Ayat 5: isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan, dan/atau bohong; menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan SARA.
• Ayat 6: isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan, dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia atau merusak hubungan internasional.

Pasal 48:
• Ayat 5: pedoman perilaku penyiaran menentukan standar isi siaran yang sekurang-kurangnya berkaitan dengan : rasa hormat terhadap pandangan keagamaan; rasa ormat terhadap pribadi; kesopanan dan kesusilaan; pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sedisme; perlindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan; penggolongan program dilakukan menurut usia khalayak; penyiaran program dalam bahasa asing; ketepatan dan kenetralan program berita; siaran langsung; dan siaran iklan
• Ayat 6: KPI memfasilitasi kode etik penyaiaran.

Sementara itu dalam UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers, pedoman etika dinyatakan dalam pasal 7 ayat 2 yang berbunyi: “Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik”.
Selain peraturan dari pemerintah, pada tanggal 6 Agustus 1999 di Bandung juga dideklarasikan KEWI yang disusun oleh 26 asosiasi-asosiasi wartawan di Indonesia. Ke-26 asosiasi wartawan itu antara lain: AJI, ALJI, AWAM, AWE, HIPSI, HIPWI, HIWAMI, HPPI, IJTI, IPPI, IWARI, IWI, KEWADI, KO-WAPPI, KOWRI, KWI, KWRI, PEWARPI, PJI, PWFI, PWI, SEPERNAS, Serikat Pewarta, SOMPRI, SWAMI, SWII.
Tujuan dari disusunnya KEWI ini yaitu untuk membentuk landasan moral atau etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan.
KEWI berisi 7 poin. Ke-7 poin itu antara lain:
1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2. Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta membeberkan identitas kepada sumber informasi.
3. Wartawan Indonesia menghormati asas-asas praduga tak bersalah, tidak mencampuradukkan fakta-fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenran informasi.
4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
6. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.
7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan dan melayani Hak Jawab.
Ada beberapa catatan penting tentang pelaksanaan etika media massa, antara lain:
1. pelaksanaan etika media massa masih membutuhkan perjuangan yang berat dan terus menerus. Etika media massa sangat sulit untuk dilaksanakan oleh semua pihak. Visi, misi, dan orientasi yang berbeda-beda antar media massa menyebabkan perbedaan pla dalam pelaksanaan etika. Media yang orientasinya pada keuntungan materi dengan mementingkan pasar akan lebih cenderung untuk mengekspos berita yang sensasional, bombastis, kriminal atau bahkan seks. Media seperti ini akan kesulitan dalam menerapkan etika media massa.
2. pelaksanaan etika bisa terhambat karena masing-masing pihak membuat ukuran sendiri-sendiri mengenai etika.
3. Pelaksanaan etika media massa sulit diwujudkan karena tanggung jawabnya terletak pada diri sendiri dan sanksi masyarakat.
4. Semakin tinggi pendidikan masyarakat, semakin sadar mereka akan pentingnya pelaksanaan etika media massa, walaupun hal ini belum menjadi jaminan. Semakin tinggi pendidikan, justru kadang membuat kita semakin gampang untuk mengakali pelanggaran etika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar