Rabu, November 18, 2009

SISTEM KOMUNIKASI INDONESIA

Sistem Komunikasi Indonesia (SKI) dapat didefinisikan sebagai suatu sistem dimana pola-pola komunikasi yang secara ideal dan normatif berdasarkan nilai-nilai Pancasila, norma sosial dan budaya serta hukum dapat diterapkan pada seluruh lapisan masyarakat Indonesia. SKI sebagai deskripsi dari berbagai fenomena komunikasi di dalam masyarakat Indonesia tidak dapat dilepaskan dari aspek politik, pers, ekonomi, teknologi, hukum dan sosial budaya masyarakat Indonesia sebagai bagian dari sistem sosial Indonesia.

SKI dan Budaya Politik di Indonesia
Menurut Almond dan Powell, yang dimaksud dengan budaya politik adalah suatu konsep yang terdiri dari sikap, keyakinan, nilai-nilai dan keterampilan yang sedang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat, termasuk pola-pola kecenderungan khusus serta pola-pola kebiasaan yang terdapat pada kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Masih menurut Almond dan Powell, orientasi individu terhadap system politik mencakup tiga aspek, yaitu:
1. Orientasi kognitif, yaitu pengetahuan dan keyakinan tentang sistem politik.
2. Orientasi afektif, yaitu aspek perasaan dan emosional seorang individu terhadap sistem politik.
3. Orientasi evaluatif, yaitu penilaian sesorang terhadap sistem politik, menunjuk pada komitmen terhadap nilai-nilai dan pertimbangan-pertimbangan politik terhadap kinerja sistem politik.
Orientasi politik masyarakat Indonesia bisa dibilang saat ini sedang tumbuh berkembang menuju ke arah demokratisasi, hal ini bisa dilihat dari sikap dan opini masyarakat terhadap kegiatan politik pemerintah akhir-akhir ini. Menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia terpilih pada 20 Oktober 2009 silam, perhatian masyarakat Indonesia tertuju pada proses seleksi calon menteri yang akan duduk di Kabinet Indonesia Bersatu II. Masyarakat Indonesia berharap bahwa dalam memilih menteri-menterinya SBY dan Boediono memilih orang-orang yang tepat untuk duduk dalam kabinet sesuai dengan kapsitas dan kompetensinya dan tidak hanya memikirkan “balas budi” terhadap parta-partai pendukungnya dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, walaupun semua itu adalah hak prerogatif Presiden. Disini bisa dilihat bahwa masyarakat Indonesia mulai paham dengan proses politik dalam lembaga kepresidenan (orientasi kognitif).
Namun ditengah hiruk pikuk seleksi calon menteri, tidak sedikit pihak-pihak yang menyayangkan metode seleksi yang digunakan oleh SBY dan Boediono hanya sebagai ajang pembentukan citra dan opini dalam masyarakat. Melalui proses seleksi terbuka dengan cara memanggil para calon menteri ke kediaman pribadi SBY untuk diwawancarai yang kemudian diekspos oleh berbagai media di Indonesia, berbagai kalangan menilai bahwa SBY sedang berusaha membentuk citra positif di masyarakat bahwa proses seleksi menteri berjalan transparan dan akuntabel. Namun SBY tidak secara jelas menyebutkan apa dan bagaimana kriteria calon menteri yang diinginkan oleh SBY, kelebihan dan kekurangan masing-masing calon menteri pada setiap bidang, alasan dalam memilih seseorang untuk duduk di posisi menteri bila telah terpilih serta opini masyarakat terhadap menteri terpilih. Inilah transparansi proses yang sesungguhnya dalam proses seleksi menteri Kabinet Indonesia Bersatu II.
Pada saat nama-nama menteri yang akan duduk di Kabinet Indonesia Bersatu II diumumkan oleh SBY pada tanggal 21 Oktober 2009 di Istana Negara, beragam reaksi dimunculkan oleh beragam kalangan masyarakat. Sebagian menganggap bahwa SBY dan Boediono terlalu baik hati dalam membagi-bagikan kursi menteri pada partai-partai politik pendukungnya hingga penempatan orang-orang yang dianggap tidak kompeten dalam bidangnya. Namun polemik yang paling hangat dibicarakan soal menteri-menteri Kabinet Indonesia Bersatu II ialah munculnya nama Endang Rahayu Sedyaningsih sebagai Menteri Kesehatan. Munculnya nama Endang tidak diduga sama sekali sebelumnya karena pada saat proses seleksi calon menteri, nama yang dipanggil SBY untuk menduduki posisi Menteri Kesehatan ialah Nila Djuwita Anfasa Moeloek, istri dari Farid Anfasa Moeloek, mantan Menteri Kesehatan.
Polemik yang muncul berkaitan dengan terpilihnya Endang ialah kedekatan Endang secara personal dengan fasilitas penelitian medis milik Angkatan Laut Amerika Serita Namru-2 yang pernah menjadi polemik saat endemi virus flu burung menyerang Indonesia. Menteri Kesehatan yang menjabat sebelum Endang, Siti Fadillah Supari menganggap bahwa keberadaan Namru-2 di Indonesia sama sekali tidak membawa manfaat bahkan Namru-2 dituding mengumpulkan sampel virus flu burung dari Indonesia untuk dibutkan vaksin yang kemudian dijual kembali ke negara-negara yang membutuhkan termasuk Indonesia. Akhirnya Siti Fadilla Supari pun memutuskan untuk menutup Namru-2. Tak berhenti sampai disitu, Endang pun dituduh pernah membawa sampel virus ke luar negeri tanpa izin dari Departemen Kesehatan. Hal ini terjadi ketika Endang menjabat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Riset Medis Departemen Kesehatan yang berujung kepada dimutasinya Endang oleh Siti Fadillah Supari. Opini publik yang berkembang seputar pemilihan menteri Kabinet Indonesia Bersatu II dan pemilihan Endang sebagai Menteri Kesehatan menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia telah memiliki orientasi afektif dan orientasi evaluatif mengenai proses dan kegiatan politik di Indonesia.
Secara umum, ada beberapa tipe budaya politik yang dikenal dalam mengkaji sistem politik suatu negara, antara lain:
1. Budaya politik parokial
Budaya politik ini umunya terdapat pada masyarakat tradisional dimana orientasi politik individu dan masyarakat masih sangat rendah.
2. Budaya politik subjek
Ciri khas dari budaya politik ini ialah sikap pasrah dalam menerima dan melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah.
3. Budaya politik partisipan
Budaya politik partisipan merupakan budaya politik ideal dimana masyarakat telah memiliki perhatian, kesadaran dan minat yang tinggi terhadap kegiatan politik pemerintah baik dalam proses input maupun proses output politik.
4. Budaya politik subjek – parokial
Budaya politik subjek – parokial menitik beratkan pada sistem pemerintahan sentralisasi, dimana budaya parokial yang berkembang dalam masyarakat sedikit demi sedikit mulai tertekan oleh kebijakan otoriter pemerintah.
5. Budaya politik subjek – partisipan
Dalam budaya politik subjek – partisipan terdapat golongan masyarakat yang secara aktif terlibat dalam proses input politik namun terdapat pula golongan masyarakat yang pasif dan cenderung berorientasi kepada struktur pemerintahan otoriter.
6. Budaya politik parokial – partisipan
Budaya politik parokial – partisipan umumnya berlaku di negara-negara berkembang, dimana masyarakatnya masih terikat kepada budaya parokial namun sedikit demi sedikit mulai terlibat aktif dalam proses politik.
Bila menilik pada jenis-jenis budaya politik yang telah disebutkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa saat ini Indonesia menganut budaya politik parokial – partisipan.
Secara nasional Indonesia yang menganut sistem pemerintahan demokrasi merupakan penganut budaya politik partisipan. Karena pada dasarnya partisipasi masyarakat secara bebas dalam proses politik merupakan inti dari demokrasi, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Hal ini bisa dilihat dari proses pemilu di Indonesia, mulai dari Pilkada (Pemilihan Kepala daerah), Pemilu Legislatif sampai kepada Pilpres (Pemilihan Presiden) yang saat ini telah menganut sistem pemilu langsung. Rakyat bebas menentukan pilihannya sendiri tanpa ada intervensi.
Bahkan sesuai dengan hak partisipatif politiknya, dimana setiap orang dapat berpartisipasi dalam politik baik untuk memilih dan atau dipilih, banyak masyarakat yang kemudian berbondong-bondong mandaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif dari berbagai partai politik yang berpartisipasi dalam Pemilu Legislatif. Partai sebagai bagian dari infrastruktur politik merupakan penyalur aspirasi masyarakat. Sistem multipartai yang dianut oleh Indonesia saat ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam politik diakui oleh pemerintah, walaupun mungkin kondisi ini belum ideal.
Sistem multipartai disatu pihak dapat menguntungkan masyarakat karena masyarakat dapat memilih partai yang benar-benar sesuai visi, misi dan cita-cita perjuangannya dengan idealisme masyarakat. Namun disisi lain, sistem multipartai juga dapat menyulitkan masyarakat. Kesulitan yang ditimbulkan oleh sistem multipartai ialah masyarakat bingung dalam menentukan pilihan partainya, dimana sering kali visi, misi dan cita-cita perjuangan partai tidak terkomunikasikan dengan baik kepada simpatisan partai tersebut. Hal ini dapat kita lihat dalam kampanye partai politik menjelang pemilu, dimana kampanye yang seharusnya menjadi ajang komunikasi dan edukasi politik dari partai kepada simpatisan cenderung menjadi ajang pengerahan massa, hiburan massa dan ajang promosi partai melalui kegiatan sosial seperti pembagian sembako sehingga melupakan esensi dari kampanye itu sendiri.
Namun tentu hal ini tidak bisa semata-mata dilihat dari kacamata politik namun harus pula melihat kondisi ekonomi masyarakat. Diakui atau tidak, sebgian besar masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan status social ekonomi menengah – menengah dan menengah – bawah yang lebih memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pokok ketimbang mendengarkan kaum elit partai berbicara mengenai kondisi makro-Indonesia yang biasanya berkaitan dengan angka-angka statistik. Kaum masyarakat marginal inilah yang kemudian menjadi sasaran dari strategi komunikasi instan partai politik menjelang pemilu.
Selain itu, partisipasi politik masyarakat dalam proses input politik guna mempengaruhi output politik pada budaya politik partisipan di Indonesia juga diakomodir melalui UUD 1945 pasal 28 yang berisi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Tidaklah mengherankan bila saat ini masyarakat Indonesia mulai lebih kritis terhadap pemerintahan dengan seringkali memberikan opini, pendapat, masukan, kritik dan saran serta menyalurkan aspirasinya melalui demonstrasi terbuka. Semua ini adalah bentuk dari partisipasi politik masyarakat dalam input politik.
Sementara itu, bila kita melihat kehidupan sehari-hari masyarakat, di beberapa daerah budaya politik parokial masih kental mengakar dalam kehidupan masyarakat. Kita ambil contoh Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu provinsi di Indonesia. Yogyakarta sebagai daerah istimewa merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang dipimpin oleh seorang raja yang masih berkuasa secara definitif dan administratif. Sosok dan karisma dari seorang Sri Sultan Hamengkubuwono X di mata rakyat Yogyakarta sangat kuat. Bahkan ketika masa jabatan Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai gubernur telah habis pada Oktober 2008 dan Pemerintah sedang memformulasikan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan, rakyat Yogyakarta secara bulat tetap meminta Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk menjadi Gubernur DIY seumur hidup. Hal ini menunjukkan bahwa peran Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai tokoh sentral dalam kehidupan masyarakat amat kuat, walaupun DIY secara administratif memiliki alat-alat kelengkapan pemerintahan layaknya provinsi-provinsi lainnya di Indonesia namun sosok Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai raja sekaligus gubernur amat kuat. Segala perintah dan amanat dari Sri Sultan Hamengkubuwono X dipatuhi dengan segenap hati oleh seluruh elemen masyarakat Yogyakarta.
Selain di Yogyakarta, di beberapa suku adat tradisional di Indonesia pun kondisi yang sama masih berlaku, yaitu budaya politik parokial masih amat kental terasa. Peranan kepala suku sebagai tokoh sentral dalam kehidupan rakyat masih kuat di rasakan. Sebagai contoh, dalam kehidupan masyarakat Suku Towa di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan peranan seorang Ammatowa (kepala adat Suku Towa) amat besar. Seorang Ammatowa sebagai pimpinan adat bisa dikatakan sangat mempengaruhi seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat Suku Towa.
Kedua contoh di atas bisa dikatakan merupakan ciri-ciri dari budaya politik parokial, dimana peranan seorang tokoh sentral dalam kehidupan masyarakat amat kuat.

Sistem Pers dan Politik Di Indonesia
Sistem komunikasi dan politik merupakan dua hal yang selalu terkait dan berhubungan satu sama lain. Sistem komunikasi dan sistem politik merupakan subsistem dari Sistem Komunikasi Indonesia, bersamaan dengan subsistem ideologi, budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan.
Salah satu fungsi dari lembaga pers ialah sebagai jembatan (penghubung) dua arah antara pemerintahan dan negara sebagai subjek pengendali sistem politik dan masyarakat sebagai objek dari suatu system politik. Ini berarti bahwa sistem pers tidak dapat dipisahkan dari sistem sosial dan bentuk pemerintahan negara. Ketika sistem sosial masyarakat berubah, proses dan isi kegiatan politik pun berubah dan system pers pun ikut berubah mengikuti sistem politik dan sosial.
Menurut F. S. Siebert, T. B. Peterson dan W. Schramm, ada empat teori yang berkembang mengenai sistem pers suatu negara, keempat teori itu antara lain:
1. Teori Pers Otoriter (Authoritarian)
2. Teori Pers Liberal (Libertarian)
3. Teori Pers Komunis (Soviet Totalitarian)
4. Teori Pers Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility)
Perbandingan di antara keepat teori pers tersebut ditunjukkan pada table do bawah ini:
Authoritarian Libertarian Soviet Totalitarian Social Responsibility
Berkembang Di Inggris abad ke-16 dan 17 dan diterapkan di beberapa negara Dipraktikkan di Inggris setelah tahun 1688, juga di Amerika Serikat dan berkembang ke seluruh dunia Lahir di Uni Soviet, berkembang di negara-negara komunis Eropa Timur Dikembangkan di Amerika Serikat pada abad ke-20
Sumber atau asumsi dasar Dari falsafah kekuasaan mutlak kerajaan dan pemerintah atau keduanya Dari karya-karya Milton, Locke, Mill, falsafah umum rasionalisme dan hak-hak alam Marxisme, Lenimisme dan pembauran pikiran-pikiran Hegel, serta cara berpikir Rusia di abad ke-19 Dari tulisan W. E. Hocking, rumusan Komisi Kebebasan Pers, para praktisi jurnalistik dan kode etik media
Tujuan utama Mendukung dan mengembangkan kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa dan untuk mengabdi kepada negara Memberi informasi, menghibur, menjual tetapi terutama untuk menemukan kebenaran dan untuk mengontrol pemerintah Membantu suksesnya dan berlangsungnya sistem sosialisme Soviet khususnya kelangsungan diktator partai Member informasi, menghibur, menjual tetapi terutama mengangkat konflik pada forum diskusi
Pihak yang menggunakan media Mereka yang mendapat izin dari kerajaan atau pemerintah Siapa saja yang mempunyai sarana ekonomi Para anggota partai yang setia dan ortodoks Setiap orang yang merasa mempunyai sesuatu untuk disampaikan
Kontrol media Media dikontrol oleh pemerintah, terbit hanya atas izin pemerintah, bahkan kadang-kadang dengan sensor pemerintah Media dikontrol melalui proses kebebasan berpikir untuk menemukan kebenaran, juga melalui proses pengadilan Dikontrol dengan pengawasan ketat dan tindakan-tindakan politik dan ekonomi pemerintah Dikontrol dengan pendapat masyarakat (community opinion), tindakan konsumen (consumer action) dan etika profesi (professional ethics)
Yang tidak boleh dilakukan Mengkritik mekanisme pemerintah dan pejabat yang sedang berkuasa Melakukan pencemaran nama baik, penghinaan, pornografi, tidak sopan dan melawan pemerintah pada waktu perang Mengkritik tujuan partai dan kebijakannya Memuat tulisan yang melanggar hak-hak pribadi yang diakui oleh hukum serta dilarang melanggar kepentingan vital masyarakat
Kepemilikan Swasta yang mendapat izin pemerintah atau pemerintah Pada umumnya adalah swasta Sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah Swasta, kecuali jika pemerintah merasa perlu demi keamanan dan demi kepentingan umum
Ciri khas Media merupakan sarana efektif bagi kebijakan pemerintah meski tidak harus dimiliki pemerintah Media merupakan alat mengecek pemerintah dan untuk memenuhi kebutuhan utama masyarakat Teori ini menonjolkan kontrol ketat oleh pemerintah dan media massa benar-benar menjadi alat negara Media harus memenuhi kewajiban sosial, jika ingkar maka masyarakat akan menekan media tersebut untuk mematuhinya

Menilik pada keempat teori pers yang berkembang di dunia, maka Indonesia pernah menganut tiga diantara empat sistem pers tersebut, yakni sistem pers otoriter, sistem pers liberal dan sistem pers tanggung jawab sosial.
Sistem pers otoriter di Indonesia mulai diterapkan pada masa Orde Lama dan puncak ketatnya kontrol pemerintah terhadap sistem pers terjadi pada masa Orde Baru.
Pada masa Orde Lama atau masa-masa awal kemerdekaan, ditengah pertumbuhan pers yang tengah pesat-pesatnya, pemerintah melalui Presiden Soekarno melakukan kontrol ketat terhadap kegiatan politik yang turut berimbas kepada pers di Indonesia. Ihwal awal mula terjadinya pembredelan pertama terhadap pers Indonesia ialah ketika Indonesia diliputi suasana perpecahan pada tahun 1948. Di masa itu semakin terasa ada dua golongan yang saling bertentangan yakni golongan kanan (Front Nasional) dan golongan ekstrem kiri (komunis) yang disebut FDR (Front Demokrasi Rakyat). Puncak konflik ini ditandai oleh meletusnya pemberontakan Peristiwa Madiun yang didalangi oleh PKI Muso. Peristiwa ini sempat mengguncang pemerintah. Betapa tidak, sementara rakyat kita sedang sibuk menghadapi agresi Belanda, tiba-tiba PKI menusuk dari belakang. Pidato Presiden Soekarno yang berbunyi: "Pilih Soekarno-Hatta atau Muso dengan PKI-nya" sempat menjadi berita utama dalam setiap koran. Di masa penuh konflik inilah untuk pertama kalinya terjadi pemberedelan koran dalam sejarah pers RI. Tercatat beberapa koran dari pihak FDR seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota telah dibreidel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengeritik pihaknya.
Ketika Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai Konstitusi RI, Presiden membatasi kegiatan politik dan pers di Indonesia. Persyaratan untuk mendapatkan SIT (Surat Izin Terbit) dan Surat Izin Cetak diperketat.
Bahkan pada rentang tahun 1950an sampai awal tahun 1960an, pers Indonesia sempat hanya menjadi corong pemerintah tanpa memperjuangkan kepentingan rakyat. Pada masa itu, Presiden Soekarno mengeluarkan pedoman resmi untuk penerbit surat kabar dan majalah di seluruh Indonesia yang intinya ialah bahwa surat kabar dan majalah wajib menjadi pendukung, pembela dan alat penyebar “Manifesto Politik” yang pada saat itu menjadi haluan negara dan program pemerintah.
Memasuki masa Orde Baru (tahun 1966), merupakan masa-masa kelam bagi pers Indonesia. Melalui Undang-Undang Pokok Pers No 11 tahun 1966 (yang kemudian diperbaharui menjadi Undang-Undang Pokok Pers No 21 tahun 1982), disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak penerbitan pers asal sesuai dengan hakekat demokrasi Pancasila.
Namun seiring dengan semakin kuatnya kekuasaan Presiden Soeharto, pemerintah melalui Departemen Penerangan muali melakukan kontrol dan pengawasan yang ketat terhadap isi pemberitaan media, mulai dari keharusan memiliki SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dan Surat Izin Terbit, kontrol isi dan sensor yang ketat terhadap pemberitaan media, peringatan, ancaman, pengrusakan, maraknya kasus pembredelan terhadap berbagai media cetak (surat kabar dan majalah) karena dianggap meresahkan masyarakat dan membentuk opini yang tidak baik terhadap pemerintah di mata rakyat karena kritikan mereka terhadap pemerintah yang pada akhirannya dianggap dapat merusak stabilitas nasional dan membocorkan rahasia negara bahkan sampai kepada kasus pembunuhan wartawan.
Pada masa itu, bila suatu surat kabar atau majalah memberitakan berita yang isinya mengkritik, mempertanyakan berbagai kebijakan pemerintah atau mengungkap berbagai masalah yang berkaitan dengan pemerintah, lembaga-lembaga negara ataupun elemen-elemen pendukung negara lainnya, maka hampir dapat dipastikan surat kabar dan majalah tersebut akan ditutup atau dicabut SIUPP-nya oleh pemerintah melalui Departemen Penerangan. Contoh beberapa surat kabar dan majalah yang pernah dicabut Surat Izin Terbit dan SIUPP-nya oleh pemerintah ialah Sinar Harapan, tabloid Monitor dan Detik serta majalah Tempo dan Editor.
Sementara itu, sistem pers liberal diterapkan di Indonesia pasca Orde Baru dan pada awal-awal masa reformasi. Melalui Menteri Yunus Yosfiah, Presiden Habibie yang menggantikan Presiden Soeharto mencabut aturan mengenai SIUPP karena peraturan SIUPP dianggap bertentangan dengan HAM. Bahkan pada masa pemerintahan selanjutnya, pemerintahan Gus Dur – Mega juga turut menghapus Departemen Penerangan yang selama masa Orde Baru menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam menertibkan pers.
Dengan dihapuskannya SIUPP, maka pengurusan untuk mendirikan perusahaan atau penerbit pers tidak lagi bertele-tele melewati birokrasi yang rumit. Siapa saja asalkan memiliki modal dan sumber daya dapat mendirikan perusahaan pers. Dengan demikian dimulailah sistem pers liberal di Indonesia.
Kebebasan mutlak yang diperoleh pers Indonesia ternyata kemudian membuat pers larut dalam euforia kebebasannya. Pers seolah kebablasan dalam menyajikan berita kepada masyarakat. Pada masa itu, pers seolah-olah beramai-ramai membongkar keburukan dan kebobrokan system pemerintahan Orde Baru. Pers seolah menjadi hakim baru dalam masyarakat dengan metode pemberitaan trial by the press (pengadilan oleh pers). Dengan kata lain, pers cenderung mengadili seseorang bersalah sebelum munculnya putusan pengadilan. Hal ini tentu melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan menyulitkan terdakwa untuk memperoleh penyidikan pengadilan yang adil dan tidak berpihak. Kasus trial by the press ini dapat dilihat dalam berbagai pemberitaan mengenai Soeharto dan keluarganya.
Selain itu pers juga kehilangan self censorshipnya. Dengan kata lain, dalam memberitakan sesuatu, pers tidak mempertimbangkan terlebih dahulu apakah pemberitaan tersebut layak dimunculkan kepada penonton atau tidak. Akibatnya hampir setiap hari kita dapat melihat pemberitaan media yang mengandung unsur kekerasan tanpa sensor. Hal ini diakibatkan oleh besarnya keinginan masyarakat untuk mengetahui kebenaran dari media sehingga permintaan pasar mampu mengalahkan idealisme media.
Selain itu, kondisi pers semakin diperparah dengan munculnya beragam surat kabar dan tabloid yang mengusung unsure pornografi dan misteri sebagai jualan utamanya, sebut saja Lampu Merah, NonStop, majalah Popular dan Misteri, tabloid Kiss dan Sensual dan lain sebagainya.
Sedangkan di media televisi, kita dapat menyaksikan beragam acara yang mengusung tema misteri, antara lain Dunia Lain di TransTV, Pemburu Hantu di Lativi (sekarang TV One), Kisah Misteri di RCTI dan masih banyak lainnya. Media berkhilah bahwa semua acara-acara tersebut merupakan permintaan pasar dan media hanya memenuhi permintaan pasar.
Namun ternyata, lama-kelamaan masyarakat mulai jenuh dan resah dengan berbagai pemberitaan media yang mengandung unsur kekerasan, seksualitas dan misteri karena dianggap tidak sesuai dengan moral, etika dan falsafah kehidupan berbangsa yang berlandaskan Pancasila.
Salah satu contoh kasus yang mungkin dapat menggambarkan kekuatan masyarakat dalam menyaring isi media ialah kasus tabloid Monitor pimpinan Arswendo Atmowiloto beberapa tahun yang lalu. Tabloid tersebut mengadakan poling pembaca mengenai peringkat orang terkenal di dunia. Hasil angket menempatkan Soeharto pada urutan pertama, Arswendo Atmowiloto sendiri pada urutan kesembilan dan Nabi Muhammad SAW pada urutan kesepuluh. Pemuatan nama Nabi Muhammad yang berada di bawah Soeharto dan Arswendo ini memicu reaksi keras dari umat Islam di Indonesia karena dinilai tidak etis. Akhirnya atas pertimbangan Dewan Pers, pemerintah mencabut izin terbit tabloid ini dan Arswendo sendiri mendekam di penjara selama beberapa tahun. Sebelumnya sudah seringkali tabloid Monitor menampilkan judul dan cover berbau pornografi.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sebagai konsumen media menaruh perhatian besar terhadap isi dari media. Apa yang diberitakan media harus bisa dipertanggung jawabkan baik secara etika, moral, ketepatan dan objektivitas serta keadilan bagi setiap orang. Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang pers dan Undang-Undang No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran mengatur peran serta masyarakat untuk turut serta mengembangkan dan mengawasi pers dan penyiaran di Indonesia. Dengan peran serta masyarakat sebagai pengawas kegiatan pers dan penyiaran di Indonesia maka Indonesia pun menganut sistem pers Tanggung jawab Sosial.

Sistem Komunikasi dan Teknologi
Perkembangan teknologi dalam kehidupan manusia telah mengubah kebudayaan manusia. Menurut Marshall Mc Luhan, “the medium is the message”, artinya terkadang media yang digunakan untuk menyampaikan suatu pesan lebih penting daripada isi pesan itu sendiri. Dan saat ini perkembangan teknologi di bidang media yang sedang mencapai puncaknya ialah perkembangan media digitall dan media mobile.
Contoh nyata dari determinisme teknologi dapat dilihat pada kasus peralihan medium surat ke medium SMS atau e-mail sebagai bentuk komunikasi. Beberapa tahun yang lalu sangatlah lazim menggunakan surat sebagai media komunikasi. Bila hendak mengirimkan kabar kepada seseorang kita akan mengirimkan surat kepada orang tersebut baik melalui kantor pos maupun melalui jasa kurir. Namun saat ini sangat jarang sekali ditemukan masyarakat perkotaan menggunakan surat untuk berkomunikasi. Selain dengan alasan biaya, waktu yang dibutuhkan agar surat dapat sampai di alamat yang dituju juga dinilai amat lambat sementara aktivitas manusia terus berlangsung tanpa henti sehingga pengiriman surat dinilai tidak efektif dan efisien. Sebagai gantinya, masyarakat cenderung lebih suka menggunakan teknologi SMS ataupun e-mail. Selain biayanya relatif lebih murah, pengiriman sms dan e-mail juga nyaris tidak membutuhkan waktu. Bila saat ini kita mengirimkan SMS ataupun e-mail, maka dalam rentang waktu beberapa menit SMS atau e-mail yang kita kirimkan tersebut akan sampai di alamat yang kita tuju.
Namun sebagian masyarakat menganggap bahwa SMS dan e-mail tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran surat tertulis. Alasannya ialah penyampaian berita lewat SMS dan e-mail sifatnya kurang formal terutama bila pesan hendak disampaikan kepada orang yang lebih tua ataupun orang yang dihormati dan disegani, sehingga SMS dan e-mail hanya dapat digunakan untuk penyampaian pesan secara informal antar sesama rekan yang saling mengenal. Namun untuk penyampaian berita yang sifatnya formal tetap harus menggunkaan surat tertulis, seperti misalnya undangan pernikahan ataupun surat pemberitahuan resmi lainnya.
Contoh sederhana lainnya bahwa perkembangan teknologi dapat mengubah kebudayaan manusia ialah handphone. Beberapa tahun yang lalu ketika handphone belum sepopuler sekarang, masyarakat akan sangat panik bila lupa membawa dompet yang biasanya berisi kartu identitas dan lain sebagainya. Namun ketika perkembangan handphone di Indonesia semakin baik dan hampir setiap orang di perkotaan memiliki handphone, masyarakat tidak lagi merasa panik bila mereka meninggalkan dompet di rumah. Masyarakat akan lebih merasa panik bila meninggalkan handphone mereka di rumah. Masyarakat lebih memillih meninggalkan dompet dibanding meninggalkan handphone mereka.
Perubahan kebudayaan manusia tak lepas dari pengaruh peralihan teknologi analog ke teknologi digital. SMS dan e-mail dan handphone dalam contoh di atas merupakan satu dari sekian banyak teknologi digital yang mempengaruhi kehidupan manusia. Saat ini hampir tidak ada satu aspek pun dalam kehidupan kita yang tidak tersentuh oleh teknologi digital, terutama dalam bidang informasi dan teknologi. Surat digantikan oleh SMS dan e-mail; buku dan surat kabar digantikan oleh e-book dan e-newspaper; tayangan televisi digantikan oleh video streaming; mesin tik diantikan oleh software word processing di computer; permainan anak-anak digantikan oleh game-game digital; kaset dan CD music digantikan oleh iPod dan MP3 Player bahkan dalah hal sosialisasi pun kita difasilitasi oleh beragam situs jejaring sosial.
Perkembangan teknologi digital pun terus berkembang menjadi teknologi mobile. Hal ini untuk memenuhi tuntutan kebutuhan manusia yang semakin aktif dan dinamis dengan mobilitas yang tinggi sehingga beragam alat-alat teknologi yang memudahkan pekerjaan manusia itu dapat dibawa kemanapun ia pergi sehingga akan semakin memudahkan pekerjaan manusia. Contohnya ialah handphone yang merupakan teknologi digital sekaligus mobile sehingga manusia bisa tetap berkomunikasi kapanpun dan dimanapun; laptop dan netbook yang merupakan bentuk mobile dari komputer sehingga seseorang dapat bekerja dimanapun dan kapanpun; iPod yang memungkinkan kita untuk mendengarkan musik dan menonton video dimanapun dan kapanpun serta PSP yang merupakan bentuk mobile dari Sony Playstation yang memungkinkan kita untuk bermain games dimanapun dan kapanpun bahkan saat ini media elektronik dapat menyiarkan program-programnya secara langsung dari lokasi manapun dengan teknologi OB (Outside Broadcasting) Van yaitu sebuah kendaraan yang dilengkapi teknologi untuk menyiarkan program secara live kapan pun dan dimana pun.. Jadi pada prinsipnya ialah teknologi mobile dikembangkan agar manusia bisa melakukan aktivitas apa pun dimana pun dan kapan pun.
Selain itu perkembangan teknologi digital dan mobile juga telah mengubah perilaku masyarakat dalam menjalankan aktivitas dan pekerjaannya. Saat ini mulai banyak profesi-profesi yang dikerjakan tidak di kantor secara fisik melainkan di virtual office. Virtual office merujuk pada suatu tempat dimana seseorang dapat mengerjakan segala pekerjaan-pekerjaannya dimanapun ia berada dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi. Umumnya profesi-profesi yang menggunakan virtual office merupakan profesi-profesi di bidang kreatif.
Sebagai subsistem dari Sistem Komunikasi Indonesia, pers dan media di Indonesia pun tak luput dari perkembangan teknologi digital dan mobile. Dulu ketika seorang wartawan selesai mengumpulkan data dan informasi untuk bahan beritanya, maka ia harus kembali ke kantor beritanya untuk menuliskan berita tersebut untuk diserahkan kepada editor dan naik cetak sebelum deadline. Peralatan untuk menuliskan beritapun masih sangat sederhana, yaitu dengan menggunakan mesin tik. Kreativitas wartawan dalam menuliskan berita pun sangat terbatas karena peralatan yang memang seadanya dan tingkat kesulitan yang tinggi karena wartawan tersebut dalam menuliskan beritanya tidak boleh melakukan kesalahan baik dalam penulisan maupun pengejaan. Belum lagi waktu yang terbuang selama seorang wartawan berada di lapangan untuk proses pengumpulan data dan bahan berita.
Namun pekerjaan wartawan sedikit terbantu ketika penggunaan komputer mulai meluas dan dikembangkannya software word processing. Wartawan dapat mengembangkan kreativitasnya dalam penulisan berita dan iapun tidak perlu lagi takut melakukan kesalahan dalam pengetikan karena tulisan dapat diedit terlebih dahulu sebelum dicetak. Seiring dengan meluasnya penggunaan laptop dan internet, seorang wartawan bahkan dapat menulis berita segera setelah ia mengumpulkan cukup data dan bahan untuk beritanya tanpa perlu kembali ke kantor beritanya terlebih dahulu untuk menuliskan berita, setelah sang wartawan selesai menulis beritanya wartawan tersebut hanya perlu mengirimkan hasil tulisannya lewat e-mail ke kantor beritanya. Ini tentu meningkatkan efisensi kerja wartawan media. Bahkan saat ini banyak wartawan yang hanya mengumpulkan potongan-potongan berita singkat hanya untuk sekedar menyampaikan perkembangan terkini dari suatu kejadian sehingga masyarakat akan selalu up-to-date dalam mengikuti perkembangan informasi terkini. Akibatnya saat ini muncul beragam situs berita online yang beritanya diupload oleh wartawan-wartawan mereka secara langsung dan hampir setiap menit selalu ada berita baru yang diupload. Contoh beberapa situs berita online seperti ini antara lain Kompas Cyber Media (Kompas.com), Detik.com, Okezone.com, Astaga.com dan masih banyak lagi.
Namun masalah yang kerap kali muncul seiring dengan cepatnya penyampaian berita oleh wartawan kepada masyarakat ialah masalah keakuratan berita. Seringkali karena wartawan terlalu diburu oleh waktu untuk sesegera mungkin memberikan laporan mengenai suatu peristiwa, wartawan tersebut hanya melaporkan apa yang ia lihat di lapangan tanpa melakukan penyelidikan adan investigasi lebih lanjut untuk mengungkap kebenaran dari berita yang ia peroleh. Kita ambil contoh kasus pemberitaan penyergapan tersangka teroris Ibrohim di Desa Beji, Kemcatan Kedu, Temanggung, Jawa Tengah beberapa bulan yang lalu.
Pada saat penyergapan yang berlangsung selama hampir 18 jam tersebut, berbagai wartawan dari berbagai media baik cetak maupun elektronik berkumpul disana dan berusaha memberikan laporan secara langsung setiap perkembangan yang terjadi di lapangan. Wartawan dari salah satu stasiun televisi berita swasta pada laporan pagi hari melaporkan bahwa ada dugaan atau diduga bahwa tersangka teroris yang disergap oleh Densus 88 itu adalah Noordin M Top. Beberapa saat kemudian ketika pemberitaan semakin hangat dan meluas dan hampir semua perhatian masyarakat tertuju pada berita tersebut, media tersebut melaporkan bahwa diduga kuat bahwa tersangka teroris yang disergap dan telah tewas tersebut ialah Noordin M Top. Pada saat siang hari ketika petugas kepolisian mengevakuasi jenazah tersangka teroris keluar dari lokasi penyergapan media tersebut menyampaikan bahwa tersangka teroris yang tewas dalam penyergapan dipastikan ialah Noordin M Top.
Masyarakat pun bergembira dan menyampaikan sejuta pujian terhadap kinerja kepolisian yang berhasil menumpas tersangka teroris paling dicari di Indonesia itu. Namun kegembiraan dan pujian pupus setelah beberapa hari kemudian pihak kepolisian menyampaikan bahwa yang tersangka teroris yang tewas dalam penyergapan di temanggung bukanlah Noordin M Top melainkan Ibrohim, salah satu kaki tangan dari Noordin M Top dan salah satu otak pelaku peledakan Bom Marriott II.
Kesalahan pemberitaan oleh media ini tentu menjadi tanda tanya besar oleh masyarakat mengenai keakuratan penyampaian berita oleh media. Ditambah lagi pimpinan redaksi media tersebut mengakui bahwa wartawannya di lapangan terpengaruh oleh desas-desus yang beredar di kalangan sesama wartawan tanpa melakukan pengecekan lebih lanjut agar berita yang diterima benar-benar akurat. Semua itu akibat dari keinginan media untuk menyampaikan setiap perkembangan berita secara up-to-date.
Selain itu pengaruh dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di bidang media juga mempunyai dampak yang sangat luas terhadap masyarakat yakni kemampuan media tersebut untuk mengubah paradigma, pikiran dan perilaku dari konsumen media. Salah satu contoh dari bagaimana sebuah media dapt mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat ialah kasus yang melibatkan dua institusi penegakan hukum di Indonesia yaitu Polri vs KPK atau yang lebih dikenal dengan istilah Cicak vs Buaya walaupun akhirnya istilah ini tidak lagi dipakai atas permintaan Kapolri Jend. Pol. Bambang Hendarso Danuri.
Kasus yang tengah menjadi agenda media dan menyita perhatian seluruh masyarakat Indonesia ini tentu disini tidak akan dibahas siapa yang bersalah dan siapa yang tidak bersalah, karena wewenag untuk menentukan siapa yang bersalah dan siapa yang tidak bersalah di muka hukum ada di tangan Pengadilan. Tetapi yang akan dibahas disini ialah bagaimana agenda media dan pemberitaan yang terus menerus mampu mengubah perilaku dan pikiran masyarakat. Pada mulanya kasus ini hanya menjadi kasus biasa walaupun telah banyak dibicarakan oleh masyarakat, namun begitu media gencar memberitakan bahwa KPK memiliki rekaman bukti kriminalisasi KPK dan kemudian Polri bereaksi dengan menahan Bibit dan Chandra, maka masyarakat pun bereaksi keras menentang penahanan itu dan menuntut Polri segera membebaskan Bibit dan Chandra dari tehanan, bahkan tuntutan masyarakat meluas pada pengunduran diri Kapolri, Kabareskrim dan Jaksa Agung. Presiden yang terus menerus didesak oleh media dan masyarakat untuk menyelesaikan kasus ini pun akhirnya bertindak dengan memberikan keterangan pers mengenai sikapnya, namun ketidakpuasan masyarakat akhirnya membuat Presiden SBY membentuk Tim Verifikasi Fakta Penahanan Bibit dan Chandra atau yang lebih dikenal dengan nama Tim 8.
Disini jelas bahwa apa yang menajdi agenda media itulah yang menjadi agenda masyarakat. Bahkan administrator atau creator dari Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto di situs jejaring social Facebook pada halaman informasinya sempat mengungkapkan bahwa media teknologi dan informasi seperti Facebook merupakan suatu media yang sangat efektif dan cepat untuk menggalang dukungan serta penyebaran ideologi (pemikiran). Apalagi ditengah arus informasi saat ini dimana hampir semua golongan masyarakat mampu mengakses informasi lewat beragam media massa dan derasnya arus pemberitaan media massa mengenai kasus ini, maka Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto ini menjadi sangat efektif. Para Facebookers yang tergabung dalam gerakan ini telah menjadi semacam perwakilan dari kekuatan rakyat. Salah satu stasiun televisi swasta bahkan menyebut para anggota gerakan ini sebagai “Parlemen Online” karena suara mereka benar-benar mampu mempengaruhi proses politik di negeri ini, walaupun mereka semua tidak saling mengenal satu sama lain dan hanya berkomunikasi secara online lewat Facebook. Kesuksesan dari Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto ini ternyata juga diikuti oleh group-group sejenis lainnya di Facebook, antara lain Gerakan 1.000.000 Facebookers Kecam Komisi III DPR, Dukung Polri dan Kejaksaan Agung serta group-group sejenis lainnya.
Contoh terakhir dari perkembangan media informasi dan komunikasi dalam masyarakat ialah berkembangnya citizen journalism (jurnalisme masyarakat) yaitu masyarakat yang dengan sukarela memberikan kontribusi untuk menyampaikan informasi mengenai suatu peristiwa dengan tujuan untuk berbagi. Perkembangan citizen journalism tak terlepas dari meluasnya pemakaian internet oleh masyarakat. Citizen journalism ini kebanyakan dilakukan lewat media internet seperti melalui blog dan forum-forum online atau melalui berbagai situs jejaring sosial seperti facebook dan Twitter.
Terkadang dalam beberapa kasus citizen journalism lebih cepat dalam menyampaikan berita dibanding dengan media konvensional. Sebagai contoh pada kasus Bom di Hotel Ritz-Carlton dan J. W. Marriott pada 17 Juli 2009, ketika ledakan bom terjadi pada pukul 07.50 pada pukul 07.54 di forum online Kaskus, sudah ada yang memposting thread mengenai ledakan tersebut, sementara media-media lainnya umumnya baru memberitakan mengenai ledakan tersebut sekitar pukul 08.00. Anggota dari forum online Kaskus yang memposting thread tersebut merupakan salah seorang karyawan yang bekerja di salah satu gedung perkantoran yang berada tak jauh dari lokasi ledakan. Kaskus sendiri merupakan sebuah forum online yang mengkliam dirinya sebagai forum komunitas online terbesar di Indonesia dengan 1.193.645 anggota terdaftar. Kaskus dapat diakses melalui alamat web di http://www.kaskus.us/.
Melihat uraian di atas tentu kita akan beranggapan bahwa penetrasi teknologi di bidang informasi dan komunikasi di Indonesia sudah maju, namun ternyata perkembangan teknologi yang demikian pesatnya hanya dapat dinikmati oleh sebagian masyarakat saja seperti masyarakat perkotaan dan masyarakat dengan status sosial ekonomi menengah-menengah dan menengah-atas. Mereka-mereka inilah yang mampu mengkonsumsi beragam teknologi untuk menunjang aktivitas sehari-hari. Bila sebagian besar masyarakt perkotaan telah memiliki dan memanfaatkan teknologi handphone atau mungkin Blackberry, maka sekitar 38.471 desa di seluruh Indonesia sama sekali belum tercover oleh jaringan telepon tetap (PSTN). Hal ini tentu menimbulkan ketimpangan terhadap akses teknologi informasi dan komunikasi di masyarakat Indonesia.

Sistem Komunikasi dan Ekonomi
Pada abad ke-21, sebagai era digital dan perkembangan teknolgi informasi dan komunikasi semakin pesat, konsumsi media dan informasi telah tumbuh dalam skala massal dan telah menjadi suatu komoditas dagang. Hal ini di satu sisi membuat media semakin terjangkau bagi masyarakat namun di sisi lain kesenjangan dalam konsumsi media dalam kehidupan masyarakat juga semakin tajam.
Perkembangan teknologi membuat kebutuhan manusia akan informasi menjadi semakin krusial. Media dan informasi telah melintasi ruang dan waktu. Seluruh kejadian yang terjadi di seluruh dunia dapat kita ketahui lewat berbagai media yang sekarang hadir di tengah masyarakat. Konsumsi media pun meningkat secara drastis, sebab sedikit saja kita tertinggal dalam mendapatkan informasi maka kita akan tertinggal dalam peradaban manusia, sebab kecerdaan manusia bisa dikatakan bergantung pada sebanyak apa informasi yang ia miliki.
Hal ini menyebabkan tingkat konsumsi media masyarakat meningkat, sebagai contoh dalam sebuah keluarga selain berlangganan surat kabar untuk mengetahui perkembangan informasi, namun kita juga hampir dapat dipastikan juga menyaksikan tayangan televisi, radio atau mungkin internet. Kebutuhan manusia akan informasi menyebabkan nilai ekonomis dari informasi semakin tinggi sehingga menjadikan informasi sebagai suatu komoditas dagang baru dalam era informasi di abad ke-21 ini. Oleh sebab itu tidaklah heran bila saat ini kita melihat pertumbuhan media baik media cetak maupun elektronik terus meningkat. Perkembangan paling besar sebenarnya terjadi pada media elektronik. Saat ini semakin banyak bermunculan televisi-televisi lokal yang membidik segmen masyarakat lokal dengan jangkauan area terbatas. Selain televisi, media elektronik lain yang juga berkembang dengan pesat ialah situs berita online. Hal ini disebabkan karena biasa produksi dari situs berita online yang bisa dikatakan cukup rendah.
Sebuah media yang mampu menampilkan pemberitaan dengan tingkat akurasi, objektivitas dan kredibilitas yang tinggi serta sanggup menyajikan perkembangan informasi secara real time akan memiliki konsumen yang tinggi. Sebagai contoh, di bidang televisi jika kita ingin mengikuti perkembangan berita maka kita cenderung akan memilih menonton Metro TV dibanding menonton Global TV, sedangkan di bidang surat kabar kita akan memilih membaca Kompas dibanding membaca Lampu Merah. Tingkat konsumsi masyarakat yang tinggi terhadap suatu media terntu akan menguntungkan media tersebut karena pendapatan dari pemasangan iklan tentu akan meningkat pula.
Dampak dari semakin meningkatnya pertumbuhan media ialah semakin ketatnya persaingan dalam mendapatkan konsumen serta menurunnya keuntungan yang didapat sementara ongkos produksi yang dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah acara atau media yang berkualitas terus meningkat.
Akibatnya adalah, dalam menghasilkan sebuah program acara, stasiun televisi cenderung mengikuti trend acara yang sedang digandrungi oleh masyarakat. Beberapa tahun yang lalu, ketika trend tayangan misteri sedang in di masyarakat Indonesia, hampir semua stasiun televisi nasional menghadirkan tayangan misteri bagi pemirsa mereka. Tayangan misteri di televisi nasional Indonesia dipioniri oleh Kisah Misteri (Kismis) di RCTI yang menghadirkan cerita-cerita misteri yang dialami oleh narasumber. Begitu pula ketika tayangan drama seri Taiwan, Jepang dan Korea sedang popular di kalangan pemirsa televisi, kita dapat dengan mudah menemukan sinetron-sinetron Indonesia yang ide cerita atau bahkan alur ceritanya sama persis dengan drama seri Taiwan, Jepang dan Korea yang popular di tanah air yang ditayangkan oleh stasiun televisi nasional. Trend ini dimulai ketika stasiun televisi Indosiar menayangkan drama seri Taiwan Meteor Garden yang kemudian ide dan alur ceritanya diikuti oleh sinetron Indonesia berjudul Siapa Takut Jatuh Cinta yang ditayangkan oleh stasiun televisi SCTV.
Atas dasar tuntutan profit pulalah, setiap berita atau acara yang ditayangkan oleh media selalu didasarkan pada perhitungan ekonomis, apakah acara atau berita yang ditayangkan oleh media tersebut dapat menarik minat konsumen media dan memberikan profit bagi perusahaan media. Dalam media elektronik seperti televisi dan radio dikenal istilah rating dan share sebagai tolak ukur seberapa besar minat konsumen media untuk menyaksikan acara yang ditayangkan oleh media. Bila tayangan tersebut menarik minat masyarakat dan rating serta share-nya tinggi, maka acara tersebut akan dilanjutkan penayangannya oleh media bahkan dibuat sekuel-sekuelnya, namun bila rating serta share dari acara tersebut rendah maka dapat dipastikan cepat atau lambat penayangan acara tersebut akan dihentikan oleh media.
Atas dasar tersebut, saat ini banyak perusahaan-perusahaan media di Indonesia yang bergabung satu sama lain dan bersinergi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi serta guna mneghadapi persaingan antar media yang semakin ketat (concentration of ownership). Kita mengenal beberapa jenis konsentrasi media yang terjadi pada media-media di Indonesia, antara lain:
1. Chain / Broadcast network
Chain atau broadcast network pada dasarnya ialah ketika sebuah perusahaan media memiliki beberapa jaringan media sejenis yang tersebar di beberapa daerah di dalam wilayah suatu negara. Umumnya istilah chain network digunakan peda media cetak seperti misalnya Jawa Pos Group yang memiliki surat kabar tersendiri untuk setiap provinsi di Indonesia namun masih merupakan bagian dari jaringan Jawa Pos Group. Sedangkan istilah broadcast network umumnya lebih banyak digunakan pada media elektronik seperti radio dan televisi. Contoh dari broadcast network ialah jaringan radio Trijaya Network. Selain Trijaya FM Jakarta, Trijaya Network juga memiliki sejumlah radio-radio lainnya di seluruh Indonesia.
2. Cross-media Ownership
Cross-media ownership ialah ketika sebuah perusahaan media memiliki lebih dari satu jenis media. Contoh dari cross-media ownership di Indonesia ialah MNC, salah satu perusahaan media terbesar di Indonesia yang memiliki media televisi, radio, situs berita online, surat kabar dan tabloid. Di bidang televisi, MNC memiliki stasiun televisi RCTI, TPI dan Global TV; di media radio MNC memiliki jaringan radio Trijaya Network dan Women Radio; pada media MNC memiliki harian Sindo, tabloid Genie, tabloid Mom & Kiddie serta tabloid Realita; selain itu MNC juga memiliki situs berita online Okezone.com dan jaringan televisi berlangganan Indovision. Contoh lain dari cross-media ownership ialah Media Group yang memiliki stasiun televisi Metro TV dan harian Media Indonesia.
3. Internasionalisasi
Internasinalisasi ialah bersinerginya perusahaan media nasional dengan media internasional. Salah satu contoh internasionalisasi ialah bergabungnya stasiun televisi AnTV dengan Star TV.
Tidak seperti jaringan media cetak dimana perusahaan media diperbolehkan untuk memiliki jaringan sebanyak-banyaknya, maka dalam jaringan media elektronik jaringan yang dimiliki oleh perusahaan media dibatasi oleh peraturan perundangan. Hal ini untuk mencegah monopoli siaran dan untuk mecegah penyebaran opini dalam masyarakat yang didasarkan pada subjektivitas media. Karena pada dasarnya tidak ada satu media pun yang dalam pemberitaannya benar-benar objektif tanpa ada pengaruh subjektivitas pribadi sama sekali. Wartawan dalam menulis berita sedikit banyak akan dipengaruhi oleh subjektivitasnya, editor dalam mengedit berita sedikit banyak dipengaruhi oleh subjektivitasnya dan Pemred dalam membuat editorial atau opini media sedikit banyak akan dipengaruhi oleh subjektivitasnya.
Contoh dari subjektivitas media dapat kita lihat dalam “perang” pemberitaan antara Metro TV dan TV One pada saat menjelang dan selama proses pemilihan ketua umum baru Partai Golkar. Hal ini disebabkan karena kedua media tersebut dimiliki oleh kader Partai Golkar yang saling berebut posisi ketua umum partai Golkar. Metro TV dimiliki oleh Surya Paloh yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, sedangkan TV One dimiliki oleh Anindya Bakrie, anak dari Aburizal Bakrie yang merupakan kader Partai Golkar. Kedua stasiun televisi berita tersebut saling berperang lewat pemberitaan dan berusaha membentuk opini publik bahwa sosok yang diusungnya merupakan sosok yang paling pantas menduduki posisi ketua umum partai Golkar. Akibatnya dalam setiap pemberitaan menyangkut proses pemilihan ketua umum Partai Golkar, kedua stasiun televise ini seolah terlibat rivalitas dan menyajikan berita dengan sudut pandang yang sangat bertentangan. Bahkan ketika akhirnya Aburizal Bakrie terpilih sebagai ketua umum Partai Golkar yang baru, Metro TV sama sekali tidak memberitakan mengenai hal ini. Hal ini kontras sekali dengan kondisi sebelum penetapan ketua umum Partai Golkar yang baru dimana Metro TV selalu berusaha memberikan laporan perkembangan terbaru dari arena pemilihan ketua umum Partai Golkar. Subjektivitas dari Metro TV pada Surya Paloh juga kerap kali terlihat pada saat Metro TV menayangkan berita mengenai aktivitas Surya Paloh dimana durasi dari berita mengenai aktivitas Surya Paloh selalu lebih lama dibandingkan dengan durasi dari berita-berita lainnya.
Dari uraian-uraian di atas, dapat kita lihat bahwa konsumsi masyarakat terhadap media massa sangatlah besar, namun konsumsi media massa yang demikian besar tersebut tidaklah merata bagi seluruh masyarakat Indonesia. Mungkin masyarakat ekonomi menengah-menengah dan menengah-atas di perkotaan dapat dengan mudahnya mengkonsumsi beragam jenis media massa, namun bagi masyarakat kecil yang tergolong masyarakat ekonomi menengah-bawah dan masyarakat yang tergolong masyarakat miskin, pilihan media yang dapat mereka konsumsi sangatlah terbatas atau mungkin mereka tidak memiliki akses terhadap informasi dan media massa. Jangankan untuk berlangganan internet yang biaya per-bulannya mencapai ratusan ribu rupiah, menonton televisi yang biaya tarif dasar listriknya terus naik atau berlangganan surat kabar, terkadang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari pun masyarakat ekonomi menengah-bawah dan masyarakat miskin amat kesulitan. Akibatnya timbul kesenjangan dalam konsumsi media dan kesenjangan dalam akses informasi, sehingga masyarakat ekonomi menengah-bawah dan masyarakat miskin di Indonesia akan semakin tertinggal dalam memperoleh informasi.
Sedangkan para pelaku industry di bidang media massa seolah tidak peduli akan kondisi ini, sebagai contoh para operator seluler yang saat ini marak menawarkan jasa layanan internet lewat jaringan GPRS (Global Packet Radio Switch) yang seharusnya dapat dijadikan alternatif untuk mengakses informasi lewat situs berita online malah terus-menerus mengedukasi masyarakat dan pelanggannya untuk menggunakan internet tersebut untuk hiburan semata seperti mengakses Facebook atau Twitter.
Sementara kendala akses informasi bagi masyarakat di pedesaan dan daerah terpencil sama halnya seperti kendala dalam akses terhadap teknologi yaitu kurangnya infra struktur pendukung. Seperti halnya jaringan internet yang saat ini mayoritas penggunanya ialah masyarakat di perkotaan, hal ini disebabkan karena minimnya sarana dan prasarana penunjang jaringan internet. Memang pemerintah melalui Depkominfo menargetkan bahwa pada tahun 2014 sekitar 10.000 desa di seluruh Indonesia akan tercover jaringan internet, namun tentu hal ini masih harus menunggu realisasi nyata dari pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar