Jumat, September 18, 2009

Kebudayaan Etnis Tionghoa Ditinjau Dari Tujuh Unsur Kebudayaan Universal

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Bab I – Pendahuluan
A. Latar Belakang Penulisan Masalah
1. Tujuh Unsur Kebudayaan Universal
2. Etnis Tionghoa di Indonesia
3. Alasan Pemilihan Etnis Tionghoa Sebagai Bahan Kajian Makalah
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan Makalah

Bab II – Kerangka Teoritis
A. Definisi Kebudayaan
1. Definisi Kebudayaan Secara Etimologis
2. Definisi Konseptual Kebudayaan
3. Definisi Operasional Kebudayaan
4. Instrumen Variabel Teori Kebudayaan
B. Definisi Masyarakat
1. Definisi Masyarakat Secara Etimologis
2. Definisi Konseptual Masyarakat
3. Definisi Operasional Masyarakat
4. Instrumen Variabel Teori Masyarakat


Bab III – Analisis dan Pembahasan
A. Bahasa Etnis Tionghoa
B. Sistem Teknologi dan Alat Produksi Etnis Tionghoa
C. Sistem Mata Pencaharian
D. Organisasi Sosial Etnis Tionghoa
E. Sistem Pengetahuan Etnis Tionghoa
F. Sistem Religi Etnis Tionghoa
G. Kesenian Etnis Tionghoa

Bab IV – Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran

Lampiran



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan Makalah
Kata kebudayaan tentu sudah tidak asing ditelinga kita. Kata kebudayaan menunjuk pada suatu tindakan berpola dari manusia dengan menggunakan kemampuan akal budinya. Dalam catatan sejarah peradaban umat manusia, kebudayaan dalam kehidupan manusia telah ada bahkan ratusan tahun sebelum Masehi. Oleh karena itu kita mengenal berbagai suku bangsa dengan kebudayaan mereka yang luar biasa seperti Kebudayaan Babilonia, Kebudayaan Mesopotamia, Kebudayaan Mesir, Kebudayaan Suku Aztec dan lain sebagainya. Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan "budaya" yang dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang "budaya" ini merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap 'kebudayaan' sebagai "peradaban" sebagai lawan kata dari "alam". Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.
Pada sub-bab Latar Belakang Penulisan Makalah ini, Penulis akan membahas mengenai 3 pokok bahasan utama, yaitu mengenai tujuh unsur kebudayaan universal yang akan menjadi dasar analisis kebudayaan dalam makalah ini, sejarah mengenai etnis Tionghoa di Indonesia serta alasan mengapa Penulis memilih etnis Tinghoa sebagai bahan analisis dalam makalah etnografi ini.
1. Tujuh Unsur Kebudayaan Universal

Manusia dengan kemampuan akal budinya, telah mengembangkan berbagai macam tindakan demi keperluan hidupnya. Namun demikian, kebudayaan manusia bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja seiring dengan kelahiran manusia tersebut, berbagai macam pengetahuan akan tindakan tersebut hanya bisa diperoleh dengan jalan belajar sejak manusia tersebut lahir hingga sepanjang masa hidupnya.
Kebudayaan sebagai konsep umum tentu terlalu besar untuk dipahami. Para ahli antropologi dalam mengkaji kebudayaan yang integratif membagi bagian tersebut kedalam unsur-unsur tertentu yang disebut cultural universal. Istilah universal berarti bahwa unsur-unsur tersebut ada dan bisa ditemukan dalam semua kebudayaan dari semua bangsa di dunia.
C. Cluckhohn dalam bukunya Universal Categories of Culture (1953) membahas kerangka-kerangka kebudayaan yang kemudian dijadikan kerangka umum. Berdasarkan itu pulalah, Koentjaraningrat memaparkan tujuh unsur kebudayaan secara universal, antara lain:
a. Bahasa, yaitu alat untuk berkomunikasi berbentuk:
1.) lisan
2.) tulisan
b. Sistem teknologi dan peralatan hidup, yang meliputi:
1.) produksi, distribusi dan transportasi
2.) peralatan komunikasi
3.) peralatan konsumsi dalam bentuk wadah
4.) pakaian dan perhiasan
5.) tempat berlindung dan perumahan
6.) senjata
c. Sistem mata pencaharian, yang meliputi:
1.) berburu dan mengumpulkan makanan
2.) bercocok tanam
3.) peternakan
4.) perikanan
5.) perdagangan
d. Organisasi sosial, yang meliputi:
1.) kekerabatan
2.) asosiasi dan perkumpulan
3.) sistem kenegaraan
4.) sistem kesatuan hidup
e. Sistem pengetahuan, meliputi pengetahuan tentang:
1.) flora dan fauna
2.) waktu, ruang dan bilangan
3.) tubuh manusia dan perilaku antar sesama manusia
f. Sistem religi, yang meliputi:
1.) sistem kepercayaan
2.) sistem nilai dan pandangan hidup
3.) komunikasi keagamaan
4.) upacara keagamaan
g. Kesenian, yang meliputi:
1.) seni patung / pahat
2.) relief
3.) lukisan dan gambar
4.) rias
5.) vokal
6.) musik
7.) bangunan
8.) kesusasteraan
9.) drama

2. Etnis Tionghoa di Indonesia
Pada bagian ini, Saya akan menjelaskan mengenai asal-usul etnis Tionghoa dan perkembangan serta persebaran mereka di Indonesia.
Sukubangsa Tionghoa (biasa disebut juga Cina) di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang"). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢人, hanyu pinyin: hanren, "orang Han").
Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara Cina, menyebabkan banyak sekali orang-orang yang juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara. Karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya para pedagang akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Cina untuk terus berdagang.
Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuna di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.
Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Tionghoa atau Tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Cina untuk terbebas dari kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Cina yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina.
Sekelompok orang asal Cina yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda, merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun 1900, mereka mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang bila lafalnya diindonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Cina, tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah "Cina" menjadi "Tionghoa" di Hindia Belanda.
Kebudayaan etnis Tionghoa di Indonesia bukanlah suatu bentuk budaya tunggal dan homogen tetapi merupakan budaya heterogen, dimana etnis Tionghoa di Indonesia merupakan kumpulan dari budaya-budaya yang berbeda di daerah Tiongkok (China) yang kemudian teralkulturasi dengan kebudayaan Indonesia (Melayu). Bentuk-bentuk kebudayaan ini bisa berbeda-beda di daerah yang satu ke daerah yang lain, akan tetapi semua itu bisa dikategorikan sebagai budaya Tionghoa yang termasuk dalam keluarga besar kebudayaan Indonesia yang multietnik.
Selain itu ada pula perbedaan golongan antara etnis Tionghoa totok dengan etnis Tionghoa peranakan. Bisa dikatakan bahwa etnis Tionghoa totok merupakan etnis Tionghoa asli dari China, merka bermigrasi secara langsung ke Indonesia baik pada masa kerajaan-kerajaan Nusantara maupun pada masa kolonial Belanda. Sedangkan etnis Tionghoa peranakan sudah merupakan hasil akulturasi dan asimilasi kebudayaan antara etnis Tinghoa dengan kebudayaan Indonesia.
Kebanyakan etnis Tionghoa peranakan sudah tidak bisa lagi berbahasa Mandarin, sedangkan etnis Tionghoa totok masih sangat fasih berbahasa Mandarin.
Orang-orang Tionghoa di Indonesia, umumnya berasal dari tenggara Cina. Mereka termasuk suku-suku:
• Hakka
• Hainan
• Hokkien
• Kantonis
• Hokchia
• Tiochiu
Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara ini dapat dimengerti, karena dari sejak zaman Dinasti Tang kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Cina memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou pernah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.
Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatra Utara, Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
• Hakka - Aceh, Sumatra Utara, Batam, Sumatra Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat,Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Menado, Ambon dan Jayapura.
• Hainan - Riau (Pekanbaru dan Batam), dan Menado.
• Hokkien - Sumatra Utara, Pekanbaru, Padang, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Menado, dan Ambon.
• Kantonis - Jakarta, Makassar dan Menado.
• Hokchia - Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya).
• Tiochiu - Sumatra Utara, Riau, Riau Kepulauan, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).
Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan sastra Melayu Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3000 buku, suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang dihasilkan oleh angkatan pujangga baru, angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu. Dengan demikian komunitas ini telah berjasa dalam membentuk satu awal perkembangan bahasa Indonesia.
3. Alasan Pemilihan Etnis Tionghoa Sebagai Bahan Kajian Makalah
Pada bagian ini, Saya akan menguraikan alasan mengapa Saya memilih etnis Tionghoa sebagai bahan analisis Saya dalam makalah ini, antara lain sebagai berikut:
Pertama, Saya pribadi ialah warga negara Indonesia yang berasal dari etnis Tionghoa. Oleh karena itu, Saya berkeinginan untuk memperkenalkan budaya etnis Tinghoa sebagai salah satu khasanah dari kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam dan multietnik ini.
Kedua, mengamati perkembangan kebudayaan Tionghoa akhir-akhir ini, kebudayaan etnis Tionghoa bisa diibaratkan dengan “naga yang bangun dari tidurnya”. Budaya yang selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru dikekang tiba-tiba bangkit dan berkembang dengan sangat pesat. Hal ini menandakan bahwa cultural genocide yang dilakukan pemerintah Orde Baru tidak dapat menghilangkan akar budaya yang melekat pada masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Mely G. Tan, sosiolog senior yang ahli dalam sinologi (iccsg.wordpress.com), membenarkan bahwa etnis Tionghoa dimanapun mereka berada sangat lekat dengan kebudayaan Tionghoa. Ini tak dapat dipisahkan dari karakter mereka sebagai bangsa perantau yang mempunyai tradisi menghormati negeri leluhur. Tak diragukan lagi, Tiongkok adalah sebuah bangsa dengan kebudayaan yang sangat kuat. Budaya ini dipelihara turun-temurun oleh rakyatnya selama berabad-abad. Walaupun keturunan rakyat negeri tirai bambu ini terserak ke seluruh penjuru dunia dan telah menjadi warga negara di tempat mereka tinggal, budaya Tionghoa tetap lekat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan mudah dapat ditemui Tiongkoktown (pecinan) yang khas di seluruh Asia Tenggara, Amerika, Eropa, bahkan Afrika Selatan.
Ketiga, Saya ingin mencoba menghapuskan stereotype yang banyak terbentuk pada masyarakat Indonesia terhadap etnis Tionghoa yang menganggap bahwa etnis Tionghoa “berbeda” dari bangsa Indonesia lainnya, bahwa etnis Tionghoa merupakan “suku bangsa asing” di Indonesia. Stereotype yang menganggap bahwa etnis Tionghoa ialah “eksklusif”, tidak mau berbaur dengan masyarakat Indonesia dan bahwa etnis Tionghoa secara ekonomi lebih mapan dari penduduk Indonesia lainnya.
Yang terjadi sesungguhnya ialah kesalahpahaman yang sengaja diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan cara mengadu domba antara etnis Tionghoa dengan penduduk asli Indonesia. Hal ini dilakukan untuk memecah belah persatuan Indonesia sehingga bangsa Indonesia akan lebih sulit untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Seperti yang kita semua tahu, pemerintah kolonia Belanda membeda-bedakan penduduk Indonesia berdasarkan ras atau suku bangsa sehingga turut mempengaruhi pemikiran penduduk Indonesia. Selain itu pemerintah kolonial Belanda juga menciptakan stereotype di benak penduduk Indonesia bahwa etnis Tionghoa ialah orang asing yang menduduki poisisi ekonomi yang lebih tinggi dari penduduk Indonesia, “pelit” terhadap penduduk Indonesia, tidak mau bergabung bersama penduduk Indonesia dalam perjuangan melawan pemerintah kolonial Belanda, dan lain sebagainya. Sementar itu, di benak etnis Tionghoa, pemerintah kolonial Belanda menggambarkan penduduk Indonesia sebagai orang-orang pemalas, pencuri, tidak dapat dipercaya dan hanya pantas dijadikan kacung dan lain sebagainya.
Di Indonesia sendiri, budaya Tiongkok sudah mempengaruhi kehidupan masyarakat Nusantara jauh sebelum Republik Indonesia ada. Interaksi yang berlangsung selama ratusan tahun, tak pelak menyebabkan budaya Tionghoa meresap erat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tengok saja pakaian Madura, batik-batik utara Jawa, teknologi setrika, Sisingaan di Jawa Barat, pis bolong (mata uang Tiongkok kuno yang bolong di tengah) dalam ritual sembayang agama Hindu di Bali, teknologi membuat berbagai makanan seperti mie, bakso dan tahu, cara membajak sawah dengan sapi, petasan, bedug, dan lain sebagainya. Melihat pengaruh budaya Tionghoa dan kontribusinya dalam budaya lokal nusantara, sungguh etnis Tionghoa tidak bisa disebut sebagai bangsa 'asing' di negeri ini.
Keempat, bisa dibilang bahwa kebudayaan Tionghoa merupakan kebudayaan yang unik. Hal ini Saya katakan tanpa bermaksud memberikan kesan eksklusif terhadap kebudayaan etnis Tionghoa ataupun merendahkan kebudayaan suku bangsa lainnya. Alasan Saya mengatakan bahwa kebudayaan etnis Tionghoa unik adalah bahwa kebudayaan etnis Tionghoa sangat berhubungan erat dengan kebudayaan bangsa China. Sementara kita semua mengetahui bahwa kebudayaan China merupakan salah satu kebudayaan tertua di dunia.
Kebudayaan China sendiri bukanlah kebudayaan homogen, melainkan merupakan gabungan dari berbagai suku bangsa yang bersatu membentuk kebudayaan China. Suku bangsa yang mendominasi peradaban China selalu berganti-ganti disesuaikan dengan dinasti yang berkuasa di China. Walaupun demikian, keseluruhan dinasti yang pernah berkuasa di China beserta seluruh suku bangsa yang ada di China memberikan sumbangan yang memperkaya kebudayaan China sebagai satu kesatuan.
Kebudayaan etnis Tionghoa sendiri seperti yang sudah pernah Saya sebutkan sama seperti kebudayaan China, yang merupakan kebudayaan heterogen. Etnis Tionghoa di Indonesia terdiri atas beragam suku, akan tetapi mereka semua menggabungkan diri dalam wadah kesatuan etnis Tionghoa. Kebudayaan etnis Tionghoa sendiri telah berasimilasi dengan kebudayaan Indonesia, namun corak khas dari kebudayaan etnis Tionghoa yang bersumber dari kebudayaan China tetap melekat erat.
Atas dasar inilah, maka Saya mengatakan bahwa kebudayaan etnis Tionghoa nerupakan kebudayaan yang unik.

B. PERUMUSAN MASALAH
Atas dasar latar belakang diatas, maka Saya dapat merumuskan permasalahan dalam makalah ini sebagai berikut: “Bagaimana penerapan tujuh unsur kebudayaan secara universal pada kebudayaan etnis Tionghoa di Indonesia.

C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH
Atas dasar perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bahasa pada kebudayaan etnis Tionghoa di Indonesia.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis sistem teknologi dan alat produksi pada kebudayaan etnis Tionghoa di Indonesia.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis sistem mata pencaharian pada kebudayaan etnis Tionghoa di Indonesia.
4. Untuk mengetahui dan menganalisis organisasi sosial pada kebudayaan etnis Tionghoa di Indonesia.
5. Untuk mengetahui dan menganalisis sistem pengetahuan pada kebudayaan etnis Tionghoa di Indonesia.
6. Untuk mengetahui dan menganalisis sistem religi pada kebudayaan etnis Tionghoa di Indonesia.
7. Untuk mengetahui dan menganalisis kesenian pada kebudayaan etnis Tionghoa di Indonesia.



BAB II
KERANGKA TEORITIS

A. Definisi Kebudayaan
1. Definisi Kebudayaan Secara Etimologis
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere yang berarti “mengolah” atau “mengerjakan”.
Sedangkan dalam bahasa Indonesia budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal dan budi manusia.

2. Definisi Konseptual Kebudayaan
Arkeolog R. Soekmono (www.sinarharapan.co.id) mengatakan, “Kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan alam penghidupan”.
Antropolog Koentjaraningrat (www.sinarharapan.co.id) berpendapat, “Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”.
Robert H Lowie (elearning.unej.ac.id) berpendapat, “Kebudayaan adalah segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistic, kebiasaan makan, keahlian yang diperoleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan
merupakan warisan masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal”.

Menurut Edward B. Tylor (id.wikipedia.org), “Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat”.
Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (id.wikipedia.org), “Kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat”.

3. Definisi Operasional Kebudayaan
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem yang kompleks dari manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

4. Instrumen Variabel Teori Kebudayaan
Variabel Teori Dimensi Indikator
Kebudayaan Sistem Tata cara
Sistematis
Struktur
Manusia Ciri fisik
Ciri psikologis
Kebutuhan manusia
Masyarakat Organisasi sosial
Sistem kekerabatan
Pranata sosial

B. Definisi Masyarakat
1. Definisi Masyarakat Secara Etimologis
Dalam bahasa Inggris, masyarakat disebut society yang berasal dari bahasa Latin societas yang berarti “hubungan persahabatan dengan yang lain”. Societas sendiri diturunkan dari kata socius yang berarti teman.
Dalam bahasa Indonesia kata masyarakat berakar dari kata dalam bahasa Arab musyarak yang berarti “ikut serta” atau “berpartisipasi”.

2. Definisi Konseptual Masyarakat
Menurut Selo Sumardjan (organisasi.org), “Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan”.
Menurut Karl Marx (organisasi.org), “Masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi”.
Menurut Emile Durkheim (organisasi.org), “Masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya”
Menurut Paul B. Horton & C. Hunt (organisasi.org), “Masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut”.
Menurut Koentjaraningrat (edipri.staff.gunadarma.ac.id), “Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan adat istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama”.

3. Definisi Operasional Masyarakat
Masyarakat adalah suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem tertentu yang bersifat kontinyu dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.

4. Instrumen Variabel Teori Masyarakat
Variabel Teori Dimensi Indikator
Masyarakat Manusia Ciri fisik
Ciri psikologis
Kebutuhan manusia
Interaksi Hubungan
Sosialisasi
Keterlibatan
Identitas Pengenalan
Ciri khas
Keunikan

Masyarakat Multikultural atau Masyarakat Majemuk
Kebudayaan masyarakat Indonesia yang terdiri atas beragam agama, suku bangsa bahasa, kebudayaan dan adat istiadat menyebabkan Indonesia mendapat predikat sebagai negara multikultural atau negara multietnik. Sebagai negara multikultural atau multietnik, Saya merasa perlu untuk memberikan sedikit definisi mengenai masyarakat multikultural atau masyarakat majemuk, karena masyarakat merupakan cikal bakal terbentuknya suatu negara. Berikut ialah pendapat beberapa ahli mengenai masyarakat majemuk atau masyarakat multikultural tersebut.
J.S. Furnivall (1967) (Sosiologi 2: Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat) berpendapat bahwa, “Masyarakat majemuk ialah suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam satu kesatuan politik”.
J. Nasikun (Sosiologi 2: Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat) menyatakan, “Suatu masyarakat bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara struktural memiliki sub-subkebudayaan yang bersifat deverse yang ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat dan juga sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial, serta sering munculnya konflik-konflik sosial”.
Cliford Geertz (Sosiologi 2: Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat) berpendapat bahwa, “Masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang terbagi ke dalam sub-subsistem yang kurang lebih berdiri sendiri dan masing-masing subsistem terikat oleh ikatan-ikatan primordial”.



BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Dalam bab Analisis dan Pembahasan ini, Saya akan menguraikan tujuan penulisan makalah tentang tujuh unsur kebudayaan etnis Tionghoa secara universal:
1. Bahasa Kebudayaan Etnis Tionghoa
Bahasa berasal dari keinginan suatu suku bangsa untuk mewariskan budaya dan pengetahuan mereka dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Bahasa yang digunakan oleh etnis Tionghoa dalam berkomunikasi dapat dibedakan menjadi bahasa lisan dan bahasa tulisan seperti pada kebudayaan umumnya.
Untuk bahasa lisan, terdapat beberapa macam bahasa yang digunakan oleh etnis Tionghoa, antara lain bahasa Hokkien, bahasa Hakka, bahasa Tiochiu, bahasa Khek dan bahasa Mandarin. Penggunaan bahasa yang beraneka ragam ini dikarenakan nenek moyang etnis Tionghoa yang berasal dari China terdiri atas berbagai suku-suku yang berbeda-beda. Masing-masing suku memiliki bahasa-bahasa mereka masing-masing selain juga penggunaan bahasa Mandarin sebagai bahasa nasional dan persatuan mereka. Untuk memperjelas uraian diatas, Sayaakan menggunakan Indonesia sebagai contoh. Di Indonesia selain terdapat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa persatuan, terdapat pula bahasa-bahasa tradisional yang digunakan oleh berbagai suku bangsa di Indonesai seperti misalnya suku Betawa memiliki bahasa Betawi sebagai bahasa tradisional, suku Sunda memiliki bahasa Sunda sebagai bahasa tradisional, dan lain sebagainya. Demikian pula dengan leluhur etnis Tionghoa,
mereka menggunakan beberapa bahasa sesuai dengan suku asli mereka di China.
Dalam perkembangannya di Indonesia, para etnis Tionghoa lebih banyak menggunakan bahasa-bahasa tradisional mereka. Hal ini berdampak pada semakin berkurangnya jumlah etnis Tionghoa yang menguasai bahasa Mandarin, terutama generasi mudanya. Etnis Tionghoa yang masih fasih menguasai bahasa Mandarin umumnya berasal dari golongan Tionghoa totok. Pada masa sekarang ini, dimana asimilasi kebudayaan antara etnis Tionghoa dengan kebudayaan setempat telah berlangsung selama ratusan tahun, bahasa lisan yang dipergunakan oleh etnis Tionghoa bukan hanya bahasa tradisional leluhur mereka namun etnis Tionghoa juga menggunakan bahasa-bahasa daerah dimana mereka tinggal selain menggunakan juga bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa nasional Indonesia. Sebagai contoh, keluarga besar orang tua saya yang berasal dari Propinsi Bangka Belitung, bahasa tradisional yang mereka gunakan merupakan pencampuran antara bahasa Khek dengan bahasa Melayu.
Untuk bahasa tulisan, etnis Tionghoa tradisional menggunakan aksara kanji China (Hanzi) dari bahasa Mandarin dan aksara Hanyu Pinyin sebagai sistem alihaksara dari aksara kanji China ke aksara Latin. Aksara kanji inipun terdapat beberapa jenis, yaitu aksara kanji tradisional (traditional Hanzi), aksara kanji yang disederhanakan (simplified Hanzi).

2. Sistem Teknologi dan Alat Produksi Etnis Tionghoa
Sistem teknologi dan alat produksi yang dimiliki oleh etnis Tionghoa pada umumnya merupakan warisan dari leluhur mereka, yaitu bangsa China. Bangsa China sebagai salah satu bangsa tertua di dunia bisa dikatakan merupakan bangsa yang maju teknologinya.
Salah satu bukti kemajuan teknologi bangsa China ialah penemuan kertas oleh Tsai Lun pada tahun 105 Masehi. Selain itu, kegiatan perekonomian bangsa China yang meliputi laut dan darat juga telah memberikan suatu petunjuk pada kita bahwa teknologi pelayaran bangsa China tidak kalah dengan bangsa-bangsa dari Eropa.
Sesungguhnya, bila dilihat secara mendetail, maka sistem teknologi dan alat produksi suatu bangsa akan berkaitan erat dengan sistem pengetahuan bangsa tersebut. Karena dengan pengetahuan tersebutlah maka suatu bangsa dapat menciptakan sistem teknologi yang akan mempermudah kehidupan mereka.
Ketika leluhur etnis Tionghoa bermigrasi ke Indonesia, mereka turut pula membawa sistem teknologi dan sistem pengetahuan bangsa China bersama mereka. Sistem pengetahuan dan sistem teknologi ini kemudian berasimilasi dengan sistem pengetahuan dan sistem teknologi bangsa Indonesia sehingga melahirkan sistem pengetahuan dan sistem teknologi serta memperkaya sistem teknologi dan sistem pengetahuan bangsa Indonesia yang sebelumnya telah ada.

3. Sistem Mata Pencaharian Etnis Tionghoa
Sistem mata pencaharian berasal dari keinginan suatu suku bangsa untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Di Indonesia terdapat stereotype yang menganggap bahwa kegiatan ekonomi etnis Tionghoa ialah berdagang atau di bidang keuangan. Hal ini tidak bisa dikatakan sebagai suatu hal tanpa dasar. Sejak zaman dahulu kala, bangsa China memang dikenal luas di dunia sebagai bangsa yang menggunakan perdagangan sebagai kekuatan ekonominya. Dalam sejarah, kita mengenal adanya Jalur Sutera yang merupakan jalur perdagangan darat yang menghubungkan China dengan beberapa negara di Eropa Timur, Timur Tengah, Mesir bahka sampai ke Afrika Selatan. Selain itu, satu hal yang tidak bisa kita lupakan ialah bahwa leluhur etnis Tionghoa Indonesia merupakan para pedagang bangsa China yang kemudian menetap di Nusantara, dengan demikian dapat dikatakan bahwa etnis Tionghoa memang erat kaitannya dengan perdagangan.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda-pun mayoritas pekerjaan etnis Tionghoa ialah berdagang atau di bidang keuangan. Hal ini disebabkan adanya kebijakan passenstelsel dan Wijkenstelsel yang bertujuan untuk mencegah interaksi antara etnis Tionghoa dengan penduduk Indonesia. Kebijakan ini meyebabkan konsentrasi kegiatan ekonomi etnis Tionghoa di perkotaan, sehingga menciptakan suatu kawasan kegiatan finansial etnis Tionghoa yang sekarang dikenal dengan nama Pinangsia di kawasan Glodok, Jakarta Barat.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah terrhadap aktivitas etnis Tionghoa telah meyebabkan menyempitnya pilihan pekerjaan yang dapat ditekuni oleh etnis Tionghoa, sehingga kembali etnis Tionghoa menekuni aktivitas dagang dan sektor keuangan sebagai tulang punggung utama kegiatan ekonomi mereka.
Etnis Tionghoa memiliki prinsip dalam bekerja bahwa “Apa yang kami lakukan hari ini, bukan untuk hari ini saja, tetapi untuk kedepan”. Dalam keluarga etnis Tionghoa selalu diajarkan untuk tidak bergantung kepada orang lain. Etnis Tionghoa selalu mengajarkan anak-anak mereka harus mampu menguasai jenis pekerjaan dari yang paling mudah sampai yang sulit. Bahkan etnis Tionghoa selalu beranggapan kalau pekerjaan itu tidak permanen seperti layaknya roda berputar, suatu saat diatas, lain waktu dibawah. Maka modal yang paling penting bagi etnis Tionghoa adalah sikap dapat dipercaya, sehingga sudah menjadi semacam kewajiban bagi etnis Tionghoa untuk pandai bergaul. Perdagangan adalah lahan satu-satunya yang paling memungkinkan untuk saling berkomunikasi dan bergaul, saling kenal dan membangun relasi.
Begitu juga menjadi pedagang bukan karena faktor keturunan. Ini lebih berkaitan dengan pendidikan awal di lingkungan keluarga sebagai akar budaya khas, dengan alasan keluarga Tionghoa tidak semudah suku lain sehingga mereka bekerja keras. Keluarga etnis Tionghoa pun selalu membiasakan diri untuk menabung. Dalam kehidupan sehari-hari, bila memiliki penghasilan Rp 10.000,- maka yang digunakan hanya Rp. 2.000,-. Kebiasaan menabung inilah yang menyebabkan adanya pandangan bahwa etnis Tionghoa merupakan orang-orang yang pelit.
Akan tetapi, pada masa sekarang ini, kegiatan ekonomi etnis Tionghoa tidak lagi berpusat di bidang perdagangan dan ekonomi, tetapi telah menyentuh hampir semua bidang kehidupan masyarakat Indonesia. Telah banyak warga etnis Tionghoa yang menekuni bidang politik, menjadi tenaga akademis (guru, dosen ataupun tenaga pengajar lainnya), bidang kesehatan, menjadi anggota TNI atau Polri dan lain sebagainya.

4. Organisasi Sosial Etnis Tionghoa
Organisasi sosial berasal dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai wadah untuk menghimpun kekuatan untuk mecapai tujuan bersama.
Sistem kekerabatan etnis Tionghoa menggunakan sistem patrilineal atau garis keturunan ayah. Artinya bila 2 orang etnis Tionghoa menikah, maka nama sang anak akan mengikuti marga (nama keluarga) dari sang ayah.
Satu poin penting dari sistem kekerabatan etnis Tionghoa adalah penggunaan marga atau nama keluarga. Marga dalam etnis Tionghoa menunjukkan asal-usul nenek moyang etnis Tionghoa ketika berada di China. Setiap marga umunya berasal dari suku yang berbeda-beda. Orang yang memiliki marga yang sama, bila ditelusuri garis keturunannya, maka nenek moyang orang-orang yang memiliki marga yang sama tersebut berasal dari suku atau keturunan yang sama. Hal ini sama seperti marga dalam suku Batak. Orang-orang dari suku Batak yang memiliki marga yang sama, maka orang-orang tersebut berasal dari suku atau keturunan yang sama.
Berkaitan dengan kesamaan marga tersebut, etnis tionghoa di Indonesia banyak mendirikan organisasi kekerabatan yang mewakili marga-marga yang sama, seperti Perkumpulan Marga Huang, Perkumpulan Marga Dao dan lain sebagainya. Pendirian berbagai organisasi kekerabatan ini bertujuan untuk menjalin hubungan kekeluargaan dengan sesama etnis Tionghoa yang memiliki marga yang sama, karena pada dasarnya mereka memang berasal dari keluarga yang sama. Para etnis Tionghoa dapat bertemu dengan orang-orang yang pada awalnya tidak mereka kenal yang ternyata memiliki hubungan kekeluargaan berdasarkan marga. Selain itu, lewat organisasi kekerabatan ini, etnis Tionghoa dapat memperluas social networking mereka sehingga dapat memudahkan pengembangan terhadap usaha mereka.
Pada masa sekarang ini, peristiwa kerusuhan rasial yang menimpa etnis Tionghoa pada tanggal 13-15 Mei 1998 yang lebih dikenal dengan sebutan Kerusuhan Mei 1998 telah memicu tumbuh dan berkembangnya berbagai organisasi sosial yang mewadahi etnis Tiongho di Indonesia. Setelah Presiden Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998 dan Indonesia memasuki era reformasi, tumbuh kesadaran di kalangan etnis Tionghoa bahwa kedudukan mereka sangat lemah dan menyedihkan. Kesadaran ini membangkitkan keberanian mereka untuk menolak kesewenang-wenangan yang menimpa diri mereka dan membela keadilan.
Dengan segera berbagai organisasi dideklarasikan oleh orang-orang peranakan yang peduli pada keadaan tersebut, antara lain Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti), Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Formasi, Simpatik, Gandi, PSMTI dan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI). Demikian juga berbagai penerbitan seperti harian, tabloid dan majalah, antara lain Naga Pos, Glodok Standard, Suar, Nurani, Sinergi, Suara Baru serta sejumlah lainnya bermunculan.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, beberapa organisasi tersebut berguguran, dan beberapa media cetak telah hilang dari peredaran. Masalah utama yang dihadapi organisasi-organisasi tersebut adalah masalah klasik, tidak adanya program yang jelas, semangat yang mengendur, dan terjadinya perpecahan di kalangan pemimpinnya.
Masalah yang dihadapi media cetak yang pada umumnya dikelola golongan peranakan adalah masalah finansial dan sumber daya manusia. Hampir tidak ada dukungan dari masyarakat Tionghoa akan kelangsungan hidup media cetak tersebut.
Hasil-hasil apakah yang diperoleh dengan berdirinya organisasi-organisasi yang menghimpun etnis Tionghoa baik Tionghoa peranakan maupun Tionghoa totok? Walaupun sangat lamban, kesadaran politik mereka mulai tampak meningkat. Namun trauma masa lalu masih menghantui sebagian besar etnis Tionghoa, sehingga mereka selalu berusaha menghindari wilayah politik.
Meski demikian, perjuangan organisasi-organisasi peranakan dalam membela hak-hak etnis Tionghoa dan menuntut penghapusan peraturan-peraturan yang diskriminatif telah banyak menunjukkan kemajuan. Dihapusnya segala peraturan-peraturan yang bersifat rasis dan diskriminatif oleh Presiden Abdurrahman Wahid maupun Tahun Baru Imlek yang dijadikan hari libur nasional oleh Presiden Megawati merupakan suatu keberhasilan yang diperjuangkan oleh seluruh organisasi Tionghoa tersebut.

5. Sistem Pengetahuan Etnis Tionghoa
Sejak zaman dahulu kala, bangsa China amat terkenal akan ilmu pengobatan tradisionalnya.
Pengobatan tradisional Tionghoa (Hanzi:中醫學) adalah praktek pengobatan tradisional yang dilakukan di Cina dan telah berkembang selama beberapa ribu tahun. Praktek pengobatan termasuk pengobatan herbal, akupunktur, dan pijat Tui Na.
Pengobatan ini digolongkan dalam kedokteran Timur, yang mana termasuk pengobatan tradisional Asia Timur lainnya seperti Kampo (Jepang) dan Korea. Pengobatan tradisional Cina percaya bahwa segala proses dalam tubuh manusia berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karena itu, penyakit disebabkan oleh ketidakharmonisan antara lingkungan di dalam dan di luar tubuh seseorang. Gejala ketidakseimbangan ini digunakan dalam pemahaman, pengobatan, dan pencegahan penyakit.
Teori yang digunakan dalam pengobatan didasarkan pada beberapa acuan filsafat termasuk teori Yin-yang, lima unsur (Wu-xing), sistem meridian tubuh manusia (Jing-luo), teori organ Zang Fu, dan lainnya. Diagnosis dan perawatan dirujuk pada konsep tersebut. Pengobatan tradisional Cina tidak jarang berselisih dengan kedokteran Barat, namun beberapa praktisi mengombinasikannya dengan prinsip kedokteran berdasarkan pembuktian. Kemampuan bangsa China dalam pengobatan ini dibawa pula oleh etnis Tionghoa yang bermigrasi ke Indonesia. Bahkan sampai saat ini, tekhnik akupuntur dan tekhnik pengobatan dengan menggunakan bahan obat-obatan herbal tetap populer dikalangan masyarakat Indonesia sebagai salah satu bentuk tekhnik pengobatan alternatif.
Tusuk jarum atau akupunktur adalah bagian penting dari ilmu kedokteran tradisional Tiongkok. Akupunktur (Bahasa Inggris: Acupuncture; Bahasa Latin: acus, "jarum", dan pungere, "tusuk" atau dalam Bahasa Mandarin standard, zhēn jiǔ (針灸 arti harfiah: jarum - moxibustion) adalah teknik memasukkan atau memanipulasi jarum ke dalam "titik akupunktur" tubuh. Menurut ajaran ilmu akupunktur, ini akan memulihkan kesehatan dan kebugaran, dan khususnya sangat baik untuk mengobati rasa sakit. Akupunktur berasal dari Tiongkok dan pada umumnya dikaitkan dengan Obat-obatan Tradisional Tiongkok.
Pada awalnya, akupunktur digunakan hanya sebagai suatu cara pengobatan, tapi kemudian berangsur-angsur berkembang menjadi suatu disiplin ilmu. Ilmu akupunktur adalah ilmu yang menyusun dan mempelajari teknik pengobatan akupunktur serta hukum terapan klinis serta teori dasarnya.
Akupunktur mempunyai sejarah yang panjang. Dalam kitab zaman kuno pernah berkali-kali disebutkan bahwa alat primitif tusuk jarum terbuat dari batu, dinamakan jarum batu. Jarum batu itu pertama-tama muncul di zaman batu baru (neolitik) kira-kira 8.000 sampai 4.000 tahun yang silam, atau sekitar masa akhir sistem komune marga. Dalam penelitian arkeologi di China pernah ditemukan benda asli jarum batu. Sampai zaman Chunqiu ( tahun 770 sebelum Masehi—tahun 476 sebelum Masehi ), ilmu kedokteran telah melepaskan diri dari ikatan dukun, dan mempunyai dokter profesional. Dalam buku Chunqiu Zuozhuan, ada catatan tentang perkataan dokter terkenal Yi Huan tentang tusuk jarum ketika ia memeriksa kesehatan Raja Jinggong dari Dinasti Jin.
Dari zaman Negara-negara Berperang sampai Dinasti Han Barat ( tahun 476 sebelum Masehi—tahun 25 Masehi ), jarum logam digunakan semakin luas sejalan dengan kemajuan teknologi peleburan besi, dan jarum logam berangsur-angsur menggantikan jarum batu sehingga tusuk jarum digunakan semakin luas dan telah mempercepat proses perkembangannya. Pada zaman Dinasti Han Timur dan Tiga Kerajaan, muncul banyak ahli kedokteran yang pandai akupunktur, di antaranya Kitab Akupuntur yang ditulis Huang Pumi telah menjadi sebuah karya khusus yang lengkap tentang sistem akupunktur. Pada zaman dinasti-dinasti Jin Timur dan Jin Barat serta Dinasti Utara dan Selatan (tahun 256 Masehi—589 Masehi ), karya-karya khusus tentang akupunktur bertambah semakin banyak, dan pada masa itu pula akupunktur tersebar sampai Korea, Jepang dan negara-negara lain.
Pada zaman dinasti Sui dan Tang ( tahun 581—907 Masehi ), akupunktur berkembang menjadi suatu disiplin ilmu. Pada bagian kedokteran lembaga pendidikan ilmu kedokteran ketika itu diadakan jurusan akupunktur. Kemudian, ilmu akupunktur terus berkembang secara mendalam. Sampai abad ke-16, akupunktur mulai diperkenalkan kepada Eropa. Namun sampai Dinasti Qing, para dokter lebih mengutamakan obat daripada akupunktur sehingga pada derajat tertentu telah menghambat kemajuan ilmu akupunktur.
Akupunktur mencapai kemajuan besar setelah berdirinya Republik Rakyat China pada tahun 1949. Kini, di lebih 2.000 rumah sakit kedokteran tradisional China di seluruh negeri terdapat bagian akupunktur; penelitian ilmiah tentang akupunktur sudah mencakup berbagai sistem tubuh manusia dan berbagai bagian klinis; sejumlah besar data eksperimen ilmiah yang berharga telah dicapai dalam penelitian mengenai peranan pengaturan, peredam rasa nyeri dan peningkatan imunitas akupunktur, serta gejala-gejala jingluo (meridian akupunktur) serta hubungan antara titik akupunktur dan organ tubuh.
Akupunktur bukan hanya untuk mengurangi rasa sakit, melainkan mempunyai aplikasi luas dalam menangani penyakit yang mengganggu tubuh, makhluk hidup, maupun fungsi khusus suatu bagian tubuh. Namun kekuatan utama cara ini adalah dalam mengatasi gangguan fungsional. Cara ini dapat digunakan untuk mengobati penyakit akut maupun kronis, termasuk infeksi, baik pada orang dewasa maupun anak-anak.
Ketika etnis Tionghoa bermigrasi ke Indonesia, pengetahuan mengenai pengobatan tradisional ini turut dibawa ke Indonesia dan memberikan sumbangan yang cukup besar tehadap ilmu pengobatan tradisional di Indonesia.
Selain sistem pengetahuan dalam bidang pengobatan, bangsa China juga memiliki sistem penanggalan yang sedikit berbeda dari sistem penanggalan pada umumnya. Sistem penanggalan Tionghoa menggunakan sistem kalender lunisolar yaitu sebuah kalender yang menggunakan fase bulan sebagai acuan utama namun juga menambahkan pergantian musim di dalam perhitungan tahunnya. Kalender ini biasanya ditandai dengan adanya bulan-bulan kabisat beberapa tahun sekali ataupun berturut-turut. Dengan demikian, jumlah bulan dalam satu tahun dapat mencapai 12 sampai 13 bulan.
Cara perhitungan kalender Tionghoa memiliki aturan yang sedikit berbeda dengan kalender umum, seperti ; perhitungan bulan adalah rotasi bulan pada bumi. Berarti hari pertama setiap bulan dimulai pada tengah malam hari bulan muda astronomi. Satu tahun ada 12 bulan, tetapi setiap 2 atau 3 tahun sekali terdapat bulan ganda (rùnyuè, 19 tahun 7 kali). Berselang satu kali jiéqì (musim) tahun matahari Cina adalah setara dengan satu pemulaan matahari ke dalam tanda zodiak tropis. Matahari selalu melewati titik balik matahari musim dingin selama bulan 11. Selain itu pergantian hari dalam kalender Tionghoa dimulai pada pukul 11 malam bukan pada pukul 12 tengah malam.
Kalender Tionghua sekarang masih digunakan untuk memperingati berbagai hari perayaan tradisional Tionghua dan memilih hari yang paling menguntungkan untuk perkawinan atau pembukaan usaha. Kalender Tionghua dikenal juga dengan sebutan lain seperti "Kalender Agrikultur" (nónglì 农历/農曆), "Kalender Yin 阴历/陰曆" (karena berhubungan dengan aspek bulan), "Kalender Tua" (jìulì 旧历/舊曆) setelah "Kalender Baru" (xīnlì 新历/新曆) yaitu kalender masehi, diadopsi sebagai kalender resmi dan "Kalender Xià 夏历/夏曆" yang pada hakekatnya tidak sama dengan kalender saat ini.

6. Sistem Religi Etnis Tionghoa
Sistem religi berasal dari kesadaran suatu suku bangsa akan adanya “suatu kekuatan” diluar manusia yang memiliki kekuatan tak terhingga bila dibandingkan dengan kekuatan manusia, juga untuk mencari jawaban atas berbagai peristiwa di lingkungan kehidupannya.
Pertama-tama, dalam pembahasan mengenai sistem kepercayaan etnis Tionghoa ini, Saya akan menguraikan sistem kepercayaan dan agama yang dianut oleh bangsa China. Karena seperti yang kita ketahui, nenek moyang dari etnis Tionghoa adalah bangsa China, dan sistem kepercayaan yang dianut oleh etnis Tionghoa amat dipengaruhi oleh sistem kepercayaan yang dianut oleh bangsa China sebagai negeri leluhur mereka.
Sistem kepercayaan masyarakat China / Tionghoa diwarisi oleh tradisi kuat pada empat sumber, yaitu penyembahan alam dan roh-roh halus/nenek moyang (spiritisme, animisme & pantheisme), dan agama-agama Taoisme, Confucianisme, dan Buddhisme.
Penyembahan alam dan roh-roh halus/nenek moyang adalah kepercayaan tradisi yang tertua, setidaknya pada 3000 tahun silam sudah ada buku I-Ching yang merumuskan kepercayaan itu. Pada prinsipnya kepercayaan premordial ini membawa manusia kepada usaha untuk mencapai kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan hidup yang dicapai dengan hidup secara harmonis dengan alam dan penyembahan roh-roh halus & nenek moyang. Dari pandangan ini maka rejeki, peruntungan (hokkie) dan kemakmuran menjadi tujuan hidup utama orang Cina. Semua praktek tradisi Cina/Tionghoa ditujukan untuk mengejar hokkie itu. Baik Ciamsi (undian nasib), Gwamia (ramalan), Shio (horoskop), dan Hongsui (tata letak ruangan & bangunan), semuanya ditujukan untuk mencari peruntungan / hokkie / kemakmuran untuk diri sendiri. Penyembahan roh-roh dan dewa-dewi berkembang. Semula dewa-dewi merupakan simbolisasi karakter tertentu seperti dewa dapur, dewa tanah dll, tetapi kemudian selain roh nenek moyang yang disembah, tokoh-tokoh masyarakat yang dihormati seperti raja, menteri dan lainnya itu bila telah meninggal dijadikan dewa-dewi pula yang mendiami langit. Dari deretan dewa-dewi itu, yang tertua atau paling senior kemudian diangkat sebagai Thien (dewa/tuhan penguasa langit).
Banyak dewa-dewi yang mendatangkan keberuntungan disembah untuk melestarikan hokkie, dan bukan itu saja, sering usaha mencari hokkie dilakukan dengan segala cara termasuk menyogok untuk menyenangkan dewa-dewi itu. Sebagai contoh, Sin Chia (tahun baru Imlek) sebagai pusat upacara dalam tradisi Cina / Tionghoa dimulai dengan perayaan seminggu sebelumnya untuk mengantar Dewa Dapur (Ciao Kun Kong) yang akan melaporkan tingkah laku pemilik rumah kepada Thien (tuhan penguasa langit). Agar Thien tidak mendengar yang tidak baik maka dipasangi mercon / petasan, dan agar yang disampaikan hanya yang baik, maka dibakarlah hio yang berbau harum dan buah-buahan manis, juga mulut patung dewa dapur diolesi madu agar yang manis-manis saja yang dilaporkan, dengan demikian rejeki dan khususnya isi dapur rumah tangga penuh rejeki.
Lebih lagi, untuk menghindari agar dewa dapur tidak sempat melaporkan yang tidak baik, biasanya dibuatkan makanan pelekat gigi yaitu berupa manisan sebesar jeruk yang gepeng dan kue keranjang, maksudnya kalau dewa dapur memakan makanan itu gigi-giginya saling merekat dan tidak sempat membuka mulut dan berkata-kata membuka rahasia dapur. Praktek semacam bisa dilihat dalam upacara sembayang di kuburan dimana hio dan buah-buahan manis disajikan bahkan sering dibuat rumah-rumahan, mobil-mobilan bahkan uang-uangan yang dibakar untuk menyenangkan roh nenek moyang agar arwahnya senang dan tidak menganggu keberuntungan yang masih hidup.
Praktek memberikan angpao (uang yang dibungkus kertas merah) merupakan praktek umum pada waktu Sin Chia agar yang diberi bersikap manis dan baik. Praktek pemberian / sesajen yang tidak beda dengan sogok menyogok itu dapat ditemui dalam umumnya upacara tradisi China / Tionghoa dan memang didasarkan pada kepercayaan keseimbangan alam Yin-Yang dimana dihindari adanya konflik dengan cara mencari 'jalan tengah'. Itulah sebabnya sifat kompromi yang saling menguntungkan mendarah daging dalam budaya China. Dari tradisi budaya kuno yang tertanam itu kita dapat melihat mengapa masyarakat China cenderung menghalalkan sogok-menyogok untuk melancarkan bisnis, dan praktek Quanxi (koneksi / kolusi) memang merupakan kebiasaan tradisional yang dianggap wajar.

Agama Tridharma
Sekitar tahun 500 SM dua tokoh panutan hidup di Cina adalah Lao Tzu yang menurunkan Taoisme dan Kong Hu Cu yang mendirikan Confucianism.
Lao Tzu mengajarkan jalan filsafat tentang Tao tetapi kemudian para pengikutnya mencampuradukkan ajaran itu dengan mistik dan magis sehingga memperkuat praktek tradisi lama.
Kong Hu Cu memang mengajarkan hubungan antar manusia (Li) dan kurang tertarik hal-hal yang bersifat supra natural, itulah sebabnya ajaran ini kemudian memupuk sikap orang Cina untuk mencintai keluarga dan dunia ini.
Tetapi, ajaran Konghucu itu kemudian bercampur dengan pantheisme / spiritisme tradisional menghasilkan budaya kekeluargaan yang kuat dimana keluarga menjadi basis pelestarian tradisi dan budaya, dan bahkan penghormatan yang berlebihan bukan saja ditujukan kepada yang lebih tua yang masih hidup tetapi juga kepada leluhur / nenek moyang yang sudah meninggal. Penyembahan leluhur dengan meja sembahyang dan sesajen memupuk kuat kekeluargaan Cina, sehingga orang Cina cenderung menjadi eksklusif dalam ikatan klan / keluarga masing-masing. Ini menimbulkan pandangan bahwa 'orang Cina tetap Cina' secara turun temurun dan sukar berbaur dengan ras lain (orang Tionghoa Indonesia yang telah berganti nama sering ditanya orang Tionghoa lainnya: 'She (marga)nya apa?').
Buddhisme yang masuk ke China sekitar tahun 500 M memang tidak bertentangan dengan ajaran baik Taoisme maupun Confucianisme, itulah sebabnya orang China mudah menerimanya dan cenderung menganut dan mencampur adukkan ketiga kepercayaan itu menjadi satu (Samkauw / Tridharma). Agama adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi budaya masyarakat China. Dari latar belakang tradisi dan agama itu kita dapat melihat mengapa orang-orang Cina mewarisi tradisi budaya kekeluargaan yang kuat, disamping sifat-sifat jalan tengah yang dipraktekkan.
Etnis Tionghoa yang bermigrasi ke Indonesia pada umumnya menganut kepercayaan Confucianisme atau Buddha. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan proses asimilasi budaya yang telah berlangsung ratusan tahun antara kebudayaan etnis Tionghoa dengan kebudayaan Indonesia, mayoritas etnis Tionghoa pada masa sekarang ini menganut agama Buddha, Katolik, Kristen serta minoritas Islam dan Confucianisme (Konghucu).

7. Kesenian Etnis Tionghoa
Kesenian etnis Tionghoa amat dipengaruhi oleh kebudayaan dan sistem kepercayaan yang dianut oleh bangsa China, walaupun pada masa sekarang ini banyak pula kesenian etnis Tionghoa yang telah mengalami modifikasi dan penyesuaian dengan kebudayaan Indonesia.
Salah satu kesenian etnis Tionghoa yang paling dikenal oleh masyarakat Indonesia ialah tarian Barongsai.
Barongsai adalah tarian tradisional China dengan menggunakan sarung yang menyerupai singa. Di China kesenian barongsai dikenal dengan nama lungwu, namun khusus untuk menyebut tarian singa. Tarian naga disebut shiwu dalam bahasa Mandarin. Sebutan barongsai bukan berasal dari China. Kemungkinan kata barong diambil dari bahasa Melayu yang mirip dengan konsep kesenian barong Jawa, sedangkan kata sai bermakna singa dalam dialek Hokkian. Catatan pertama tentang tarian ini bisa ditelusuri pada masa Dinasti Chin sekitar abad ketiga sebelum Masehi.
Kesenian Barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi. Kala itu pasukan dari raja Song Wen Di kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan itu. Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian barongsai melegenda.
Tarian Singa terdiri dari dua jenis utama yakni Singa Utara yang memiliki surai ikal dan berkaki empat. Penampilan Singa Utara kelihatan lebih natural dan mirip singa ketimbang Singa Selatan yang memiliki sisik serta jumlah kaki yang bervariasi antara dua atau empat. Kepala Singa Selatan dilengkapi dengan tanduk sehingga kadangkala mirip dengan binatang ‘Kilin’.
Gerakan antara Singa Utara dan Singa Selatan juga berbeda. Bila Singa Selatan terkenal dengan gerakan kepalanya yang keras dan melonjak-lonjak seiring dengan tabuhan gong dan tambur, gerakan Singa Utara cenderung lebih lincah dan penuh dinamika karena memiliki empat kaki.
Satu gerakan utama dari tarian Barongsai adalah gerakan singa memakan amplop berisi uang yang disebut dengan istilah ‘Lay See’. Di atas amplop tersebut biasanya ditempeli dengan sayuran selada air yang melambangkan hadiah bagi sang Singa. Proses memakan ‘Lay See’ ini berlangsung sekitar separuh bagian dari seluruh tarian Singa.
Seni bela diri menjadi kunci permainan ini sehingga banyak pemainnya berasal dari perguruan kungfu atau wushu. Gerakannya berciri akrobatik seperti salto, meloncat atau berguling. Tarian barongsai biasanya diiringi musik tambur, gong dan cymbal. Demikian pula agar atraksi Barongsai menarik, perlu latihan khusus agar angpau yang diperebutkan tak jatuh kepada pihak lawan.
Mengenai naga (liong), bagi etnis China, adalah binatang lambang kesuburan atau pembawa berkah. Binatang mitologi ini selalu digambarkan memiliki kepala singa, bertaring serigala dan bertanduk menjangan. Tubuhnya panjang seperti ular dengan sisik ikan, tetapi memiliki cakar mirip elang.
Sedangkan singa dalam masyarakat China merupakan simbol penolak bala. Maka tarian barongsai dianggap mendatangkan kebaikan, kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan.
Untuk menampilkan Liong perlu tatakrama tersendiri. Liong muncul saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Biasanya perlu ritual khusus untuk ini. Didahului dengan upacara pensucian dilanjutkan upacara cuci mata di klenteng. Sebelum pelaksanaan digelar, beberapa orang sudah melakukan latihan fisik untuk mengangkat Liong yang panjangnya bisa mencapai ratusan meter.

Beberapa Tradisi Kebudayaan Etnis Tionghoa
Selain ketujuh unsur kebudayaan universal, etnis Tionghoa memiliki pula beragam upacara adat yang didasarkan pada tradisi semata. Upacara-upacara adat ini, sarat dengan makna simbolis. Hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa upacara-upacara adat ini telah ada sejak awal mula sejarah bangsa China, dimana ketika itu kehidupan bangsa China masih amat dipengaruhi oleh ajaran filsafat-filsafat China yang menekankan keselarasan dan keseimbangan hidup dengan alam.
Sepanjang sejarah kebudayaan bangsa China, tradisi-tradisi ini sama sekali tidak dipengaruhi oleh sistem religi manapun. Akan tetapi semenjak berkembangnya sistem religi modern di China yang diawali oleh Agama Tridharma, masing-masing bengsa China menginterpretasikan tradisi-tradisi ini menurut agama dan kepercayaan mereka masing-masing sehingga terjadi sedikit perubahan dalam tradisi-tradisi ini. Meskipun demikian, inti dari upacara tradisional ini sama sekali tidak berubah dan tetap sarat dengan makna simbolis. Pun demikian ketika etnis tionghoa bermigrasi ke Indonesia, upacara-upacara tradisional ini tetap dipertahankan bahkan hingga kini.
Beberapa upacara tradisional etnis Tinghoa yang akan Saya uraikan disini antara lain upacara pernikahan etnis Tionghoa dan perayaan Tahun Baru Imlek.
1. Adat Pernikahan Etnis Tionghoa
Upacara pernikahan merupakan adat perkawinan yang didasarkan atas dan bersumber kepada kekerabatan, keleluhuran dan kemanusiaan serta berfungsi melindungi keluarga. Upacara pernikahan tidaklah dilakukan secara seragam di semua tempat, tetapi terdapat berbagai variasi menurut tempat diadakannya; yaitu disesuaikan dengan pandangan mereka pada adat tersebut dan pengaruh adat lainnya pada masa lampau.
Umumnya orang-orang Tionghoa yang bermigrasi ke Indonesia membawa adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan mereka. Salah satu adat yang seharusnya mereka taati adalah keluarga yang satu marga (she) dilarang menikah, karena mereka dianggap masih mempunyai hubungan suku. Misalnya, marga Lie dilarang menikah dengan marga Lie dari keluarga lain, sekalipun tidak saling kenal. Ada beberapa yang sekalipun telah memeluk agama lain, seperti Katolik namun masih menjalankan adat istiadat ini. Sehingga terdapat perbedaan di dalam melihat adat istiadat pernikahan yaitu terutama dipengaruhi oleh adat lain, adat setempat, agama, pengetahuan dan pengalaman mereka masing-masing.
Upacara-upacara yang dilaksanakan dalam pernikahan etnis Tionghoa antara lain:
A. Upacara menjelang pernikahan:
Upacara ini terdiri atas 5 tahapan yaitu:
* Melamar: Yang memegang peranan penting pada acara ini adalah mak comblang. Mak comblang biasanya dari pihak pria.
* Penentuan: Bila keahlian mak comblang berhasil, maka diadakan penentuan bilamana antaran/mas kawin boleh dilaksanakan.
* Sangjit / Antar Contoh Baju: Pada hari yang sudah ditentukan, pihak pria/keluarga pria dengan mak comblang dan kerabat dekat mengantar seperangkat lengkap pakaian mempelai pria dan mas kawin. Mas kawin dapat memperlihatkan gengsi, kaya atau miskinnya keluarga calon mempelai pria. Semua harus dibungkus dengan kertas merah dan warna emas. Selain itu juga dilengkapi dengan uang susu (ang pao) dan 2 pasang lilin. Biasanya ang pao diambil setengah dan sepasang lilin dikembalikan.
* Tunangan: Pada saat pertunangan ini, kedua keluarga saling memperkenalkan diri dengan panggilan masing-masing.
* Penentuan Hari Baik, Bulan Baik: Etnis Tionghoa percaya bahwa dalam setiap melaksanakan suatu upacara, harus dilihat hari dan bulannya. Apabila jam, hari dan bulan pernikahan kurang tepat akan dapat mencelakakan kelanggengan pernikahan mereka. Oleh karena itu harus dipilih jam, hari dan bulan yang baik. Biasanya semuanya serba muda yaitu jam sebelum matahari tegak lurus; hari tergantung perhitungan bulan Tionghoa, dan bulan yang baik adalah bulan naik / menjelang purnama.
B. Upacara pernikahan:
* 3 - 7 hari menjelang hari pernikahan diadakan “memajang” keluarga mempelai pria dan famili dekat, mereka berkunjung ke keluarga mempelai wanita. Mereka membawa beberapa perangkat untuk meng-hias kamar pengantin. Hamparan sprei harus dilakukan oleh keluarga pria yang masih lengkap (hidup) dan bahagia. Di atas tempat tidur diletakkan mas kawin. Ada upacara makan-makan. Calon mempelai pria dilarang menemui calon mempelai wanita sampai hari H.
* Malam dimana esok akan diadakan upacara pernikahan, ada upacara Liauw Tiaa. Upacara ini biasanya dilakukan hanya untuk mengundang teman-teman calon kedua mempelai. Tetapi adakalanya diadakan pesta besar-besaran sampai jauh malam. Pesta ini diadakan di rumah mempelai wanita. Pada malam ini, calon mempelai boleh digoda sepuas-puasnya oleh teman-teman putrinya. Malam ini juga sering dipergunakan untuk kaum muda pria melihat-lihat calonnya (mencari pacar).
C. Upacara Sembahyang Tuhan (Cio Tao)
Di pagi hari pada upacara hari pernikahan, diadakan Cio Tao. Namun, adakalanya upacara Sembahyang Tuhan ini diadakan pada tengah malam menjelang pernikahan. Upacara Cio Tao ini terdiri dari :
. Penghormatan kepada Tuhan
. Penghormatan kepada Alam
. Penghormatan kepada Leluhur
. Penghormatan kepada Orang tua
. Penghormatan kepada kedua mempelai.
Meja sembahyang berwarna merah 3 tingkat. Di bawahnya diberi 7 macam buah, antara lain Srikaya, lambang kekayaan.
Di bawah meja harus ada jambangan berisi air, rumput berwarna hijau yang melambangkan alam nan makmur. Di belakang meja ada tampah dengan garis tengah 2 meter dan di atasnya ada tong kayu berisi sisir, timbangan, sumpit, dan lain sebagainya yang semuanya itu melambangkan kebaikan, kejujuran, panjang umur dan setia.
Kedua mempelai memakai pakaian upacara kebesaran Cina yang disebut baju Pao. Mereka menuangkan teh sebagai tanda penghormatan dan memberikan kepada yang dihormati, sambil mengelilingi tampah dan berlutut serta bersujud. Upacara ini sangat sakral dan memberikan arti secara simbolik.
D. Ke Kelenteng
Sesudah upacara di rumah, dilanjutkan ke Klenteng. Di sini upacara penghormatan kepada Tuhan Allah dan para leluhur.
E. Penghormatan Orang tua dan Keluarga
Kembali ke rumah diadakan penghormatan kepada kedua orang tua, keluarga, kerabat dekat. Setiap penghormatan harus dibalas dengan ang pao baik berupa uang maupun emas, permata. Penghormatan dapat lama, bersujud dan bangun. Dapat juga sebentar, dengan disambut oleh yang dihormati.
F. Upacara Pesta Pernikahan
Selesai upacara penghormatan, pakaian kebesaran ditukar dengan pakaian “ala barat”. Pesta pernikahan di hotel atau tempat lain.
Usai pesta, ada upacara pengenalan mempelai pria (Kiangsay). Mengundang kiangsay untuk makan malam, karena saat itu mempelai pria masih belum boleh menginap di rumah mempelai wanita.
G. Upacara sesudah pernikahan
Tiga hari sesudah menikah diadakan upacara yang terdiri dari:
1. Cia Kiangsay
2. Cia Ce’em
Pada upacara menjamu mempelai pria (Cia Kiangsay) intinya adalah memperkenalkan keluarga besar mempelai pria di rumah mempelai wanita. Mempelai pria sudah boleh tinggal bersama.
Sedangkan Cia Ce’em di rumah mempelai pria, memperkenalkan seluruh keluarga besar mempelai wanita.
Tujuh hari sesudah menikah diadakan upacara kunjungan ke rumah-rumah famili yang ada orang tuanya. Mempelai wanita memakai pakaian adat Cina yang lebih sederhana.

Perubahan-perubahan yang biasa terjadi pada adat upacara pernikahan etnis Tionghoa antara lain:
* Ada beberapa pengaruh dari adat lain atau setempat, seperti: mengusir setan atau mahkluk jahat dengan memakai beras kunyit yang ditabur menjelang mempelai pria memasuki rumah mempelai wanita. Demikian juga dengan pemakaian sekapur sirih, dan lain-lain.
* Pengaruh agama, jelas terlihat perkembangannya. Sekalipun upacara Sembahyang Tuhan / Cio Tao telah diadakan di rumah, tetapi untuk yang beragama Kristen tetap ke Gereja dan upacara di Gereja. Perubahan makin tampak jelas, upacara di Kelenteng diganti dengan di gereja.
* Pengaruh pengetahuan dan teknologi, dapat dilihat dari kepraktisan upacara. Dewasa ini orang-orang lebih mementingkan kepraktisan ketimbang upacara yang berbelit-belit. Apalagi kehidupan di kota-kota besar yang telah dipengaruhi oleh teknologi canggih.
Dewasa ini masyarakat Tionghoa lebih mementingkan kepraktisan ketimbang upacara adat. Hampir semua peraturan yang diadatkan telah dilanggar. Kebanyakan upacara pernikahan berdasarkan dari agama yang dianut.

2. Perayaan Tahun Baru Imlek
Berbicara soal Imlek, perayaan yang sering disebut sebagai perayaan tahun baru musim semi ini, dari sudut etimologi terdiri dari dua kata, yaitu im yang berarti bulan, dan lek yang berarti penanggalan. Dengan demikian, Imlek berarti penanggalan yang dihitung berdasarkan peredaran bulan. Tentu ini berbeda dengan perhitungan penanggalan Yanglek / Masehi, yang dihitung berdasarkan peredaran matahari.
Perayaan Imlek / Yin Li / Anno Confuciani, menurut sejarah secara umum dan kenegaraan, dimulai pada zaman Dinasti Han (206 SM - 220 M), di mana kaisar pertamanya yang bernama Han Wu Di. Kaisar Han berasal dari keturunan Liu Bang, yaitu orang yang menumbangkan tirani Dinasti Qin (221 SM - 207 SM).
Han Wu Di merupakan seorang Confucianist sejati, dan memakainya dalam menjalankan pemerintahan.
Ternyata jalan yang diambilnya tidak salah. Sebab Dinasti Han-lah yang paling sukses dan berhasil dalam sejarah dinasti di Cina.
Penanggalan Imlek yang dihitung berdasarkan perhitungan lunar atau bulan, ditetapkan oleh Han Wu Di berdasarkan tahun kelahiran Confucius/Khonghucu, pada tahun 551 SM.
Tahun 2009, Imlek sudah mencapai tahun yang ke-2560. Perhitungan tersebut didapat dari penjumlahan tahun kelahiran Confucius (551 SM) dan angka tahun Masehi (2009).
Sedangkan menurut tradisi, aslinya Imlek atau Sin Tjia adalah sebuah perayaan yang dilakukan oleh para petani di Cina yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru. Perayaan ini juga berkaitan dengan pesta para petani untuk menyambut musim semi. Perayaan ini dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama. Acaranya meliputi sembahyang Imlek, sembahyang kepada Sang Pencipta, dan perayaan Cap Go Meh. Tujuan dari persembahyangan ini adalah sebagai wujud syukur dan doa harapan agar di tahun depan mendapat rezeki lebih banyak, untuk menjamu leluhur, dan sebagai sarana silaturahmi dengan kerabat dan tetangga.
Karena perayaan Imlek berasal dari kebudayaan petani, maka segala bentuk persembahannya adalah berupa berbagai jenis makanan. Idealnya, pada setiap acara sembahyang Imlek disajikan minimal 12 macam masakan dan 12 macam kue yang mewakili lambang-lambang shio yang berjumlah 12.
Ke-12 binatang (十二生肖 shíèr shēngxiào, atau 十二屬相 shíèr shǔxiāng) yang melambangkan kedua belas Cabang Bumi (shio) adalah, sesuai urutannya:
• tikus
• kerbau
• macan
• kelinci
• naga
• ular
• kuda
• kambing
• kera
• ayam
• anjing
• babi
Di China, hidangan yang wajib adalah mie panjang umur (siu mi) dan arak. Di Indonesia, hidangan yang dipilih biasanya hidangan yang mempunyai arti "kemakmuran," "panjang umur," "keselamatan," atau "kebahagiaan," dan merupakan hidangan kesukaan para leluhur.
Kue-kue yang dihidangkan biasanya lebih manis daripada biasanya. Diharapkan, kehidupan di tahun mendatang menjadi lebih manis. Di samping itu dihidangkan pula kue lapis sebagai perlambang rezeki yang berlapis-lapis. Kue mangkok dan kue keranjang juga merupakan makanan yang wajib dihidangkan pada waktu persembahyangan menyambut datangnya tahun baru Imlek. Biasanya kue keranjang disusun ke atas dengan kue mangkok berwarna merah di bagian atasnya. Ini adalah sebagai simbol kehidupan manis yang kian menanjak dan mekar seperti kue mangkok.
Ada juga makanan yang dihindari dan tidak dihidangkan, misalnya bubur. Bubur tidak dihidangkan karena makanan ini melambangkan kemiskinan.
Kedua belas hidangan itu lalu disusun di meja sembahyang yang bagian depannya digantungi dengan kain khusus yang biasanya bergambar naga berwarna merah. Pemilik rumah lalu berdoa memanggil para leluhurnya untuk menyantap hidangan yang disuguhkan.
Segala rangkaian prosesi perayaan Tahun Baru Imlek ini dimulai dengan suatu ritual yang dinamakan Cap Ji Gwee Jie Shie (tanggal 24 bulan ke-12 Imlek). Ditandai dengan penyalaan puluhan hio berketinggian tiga meter di klenteng-klenteng. Bagi yang tidak mampu membeli itu, pelaksanaan sembahyang cukup dengan hio biasa, lilin kecil, minyak nabati, serta sesaji buah-buahan, kue serba manis, dan pembakaran hu (kertas merang bergambar kuda terbang).
Ritual ini juga sering disebut dengan Shang Sheng. Shang Sheng merupakan salah satu dari rangkaian ritual keagamaan pemeluk agama Khong Hu Cu, meski kemeriahannya tak semencolok pada Malam Tahun Baru Imlek, dan Cap Go Meh atau hari ke-15 Tahun Baru Imlek.
Rangkaian kegiatan menyambut tahun baru Imlek dimulai dengan sembahyang syukuran tutup tahun Imlek atau Sam Sip Pu mulai dari pagi hari hingga malam hari. Acara persembahyangan Tahun Baru sendiri, dimulai menjelang tengah malam hingga besok paginya.
Di malam sebelum tahun baru (Chu Si Ye) orang-orang biasanya bersantap bersama di rumah, kegiatan ini dikenal dengan istilah Thuan Yen Fan. Jika ada keluarga yang tidak sempat atau berhalangan untuk pulang ke rumah, di meja akan disiapkan mangkok dan sepasang sumpit yang mewakili yang tidak sempat datang tadi.
Sayur yang disajikan cukup banyak dan mengandung arti tersendiri, seperti Kiau Choi yang melambangkan panjang umur, ayam rebus yang disajikan utuh melambangkan kemakmuran untuk keluarga. Sedangkan bakso ikan, bakso udang dan bakso daging melambangkan San Yuan atau tiga jabatan yaitu Cuang Yuen, Hue Yuen dan Cie Yuen. Tiga jabatan tersebut adalah jabatan yang sangat dihormati masyarakat Tionghoa pada jaman kekaisaran dahulu.
Juga ada Kiau Se atau pangsit yang bentuknya dibuat mirip dengan uang perak zaman dulu. Menurut kepercayaan, makan Kiau Se akan mendatangkan rejeki. Malahan sesuai tradisi di antara pangsit tersebut salah satunya akan diisi dengan koin. Bagi yang mendapatkan koin tersebut konon akan mendapatkan rejeki besar. Di meja juga disiapkan ikan yang dihias dan akan dimakan. Maknanya yaitu “nien nien yeu yi” atau setiap tahun ada lebihnya. Ikan dingkis bertelur yang dikukus merupakan hidangan istimewa sebab diyakini dapat membawa keberuntungan di tahun baru.
Setelah selesai makan malam mereka bergadang semalam suntuk dengan pintu rumah dibuka lebar-lebar agar rezeki bisa masuk ke rumah dengan leluasa. Pada waktu ini disediakan camilan khas Imlek berupa kuaci, kacang, dan permen.
Pada hari pertama Sin Nien atau tahun baru, pertama yang akan dilakukan adalah sembahyang pada leluhur bagi yang ada altar di rumah. Bagi yang tidak punya altar, akan ke klenteng terdekat untuk sembahyang mengucapkan terima kasih atas lindungan Thien (Tuhan) sepanjang tahun. Setelah itu memberikan hormat kepada kedua orang tuanya, saling mengunjungi sanak keluarga dan kerabat dekat.
Selain itu bagi anak-anak muda mereka akan menyambut tahun baru dengan memasang petasan dan main barongsai yang mengandung arti mengusir segala yang jahat dan menyambut segala yang baik. Banyak pantangan yang tidak dilakukan pada hari tersebut. Seperti tidak menyapu dan tidak membuang sampah yang katanya akan mengusir rejeki keluar rumah. Pantangan lainnya yaitu tidak boleh bertengkar atau mengeluarkan kata-kata fitnah dan tidak boleh memecahkan piring. Namun jika kebetulan secara tidak sengaja ada piring atau mangkok yang pecah, untuk penangkalnya harus cepat-cepat mengucapkan Sue sue Phing an yang artinya setiap tahun tetap selamat.
Pada waktu Imlek, makanan yang tidak boleh dilupakan adalah lapis legit, kue nastar, kue semprit, kue mawar, serta manisan kolang-kaling. Agar pikiran menjadi jernih, disediakan agar-agar yang dicetak seperti bintang sebagai simbol kehidupan yang terang.
Selain sajian-sajian itu yang menjadi tradisi di warga Tionghoa dalam menyambut Imlek adalah dengan menggunakan pakaian tidur berikut pakaian dalam yang masih baru dan umumnya berwarna merah. Maksudnya adalah untuk membuang kesialan tahun lalu.
Pada hari kedua tahun baru adalah saatnya hue niang cia atau pulang ke rumah ibu. Hari ini bagi wanita yang sudah menikah akan pulang ke rumah ibunya dengan membawa Teng Lu yang merupakan bingkisan atau ang pao untuk ibu dan adik-adiknya. Secara tradisi ang pao atau juga diberikan kepada anak-anak dan orang tua. Pada hari ketiga, mereka lebih banyak tinggal di rumah, tidak banyak melakukan perjalanan dan aktivitas.
Pada hari keempat adalah hari menyambut para dewa untuk kembali ke bumi. Konon menurut kepercayaan Dewa Dapur (Co Kun Kong) dan para dewa dari langit akan kembali ke Bumi. Pada hari kedatangan kembali para dewa-dewi itu, khususnya Dewa Dapur, akan disambut bunyi-bunyian antara lain dengan kentongan. Warga Tionghoa biasanya ke klenteng untuk Hi Fuk atau memohon kepada dewa untuk mendapatkan perlindungan dan rejeki. Sesaji yang dibawa biasanya berupa buah-buahan juga ciu cha (arak) dan teh.
Tujuh hari sesudah Imlek dilakukan persembahyangan kepada Sang Pencipta. Tujuannya adalah sujud kepadaNya dan memohon kehidupan yang lebih baik di tahun yang baru dimasuki.
Lima belas hari sesudah Imlek dilakukan sebuah perayaan yang disebut dengan Cap Go Meh. Masyarakat keturunan China di Semarang merayakannya dengan menyuguhkan lontong Cap Go Meh yang terdiri dari lontong, opor ayam, lodeh terung, telur pindang, sate abing, dan sambal docang. Sementara di Jakarta, menunya adalah lontong, sayur godog, telur pindang, dan bubuk kedelai.
Pada waktu perayaan Imlek juga dirayakan berbagai macam keramaian yang menyuguhkan atraksi barongsai dan kembang api.
Dihitung dari Shang Sheng, rangkaian persembahyangan menjelang dan sesudah Tahun Baru Imlek meliputi 21 hari. Bagi orang yang masih kental merayakannya secara lengkap, tiga pekan itu adalah saat-saat penuh makna bagi perawatan batin. Mereka berdoa, mawas diri, bersedekah, mohon pengampunan, berterima kasih kepada Thien (Tuhan), leluhur, orang tua dan orang-orang yang dituakan, dan mohon pertolongan kepada Tuhan dan para dewa agar sehat, selamat dan sejahtera di tahun yang baru.
Terdapat suatu mitologi yang berkaitan dengan perayaan Imlek, yaitu konon pada dahulu kala pada tepat setiap musim semi tiba di akhir musim dingin masyarakat sering diganggu binatang buas yang bernama Nian. Binatang buas ini datang dari dasar lautan untuk memakan manusia. Masyarakat mengetahui bahwa Nian ini takut akan bunyi yang keras. Karena itu untuk mencegahnya datang, mereka memukul beduk, gong dan membakar bambu yang akan menimbulkan suara ledakan (terakhir ini telah diganti dengan petasan, setelah diketemukannya mesiu pada dinasti Sung). Mulai saat itu setiap akhir musim dingin, masyarakat merayakan tahun baru Imlek dengan membakar petasan dan memainkan barongsai untuk mengusir segala yang jahat dan menyambut datangnya musim semi.
Selama masa perayaan tahun baru Imlek, orang-orang saling memberi selamat satu sama lain dengan kalimat:
• Aksara Tionghoa Sederhana: 恭喜发财 - Aksara Tionghoa Tradisional:
恭喜發財 yang berarti "selamat dan semoga banyak rejeki", dibaca:
o "Gōngxǐ fācái" (bahasa Mandarin)
o "Kung hei fat choi" (bahasa Kantonis)
o "Kiong hi huat cai" (bahasa Hokkien)
o "Kiong hi fat choi" (bahasa Hakka)

• "Xīnián kuàilè" (新年快樂) = "Selamat Tahun Baru"


Lalu mengapa ada tradisi memberikan ang pao dalam perayaan Tahun Baru Imlek?
Sejak lama, warna merah melambangkan kebaikan dan kesejahteraan di dalam kebudayaan Tionghoa. Warna merah menunjukkan kegembiraan, semangat yang pada akhirnya akan membawa nasib baik.
Ang pao sendiri adalah dialek Hokkian, arti harfiahnya adalah bungkusan / amplop merah. Sebenarnya, tradisi memberikan angpao sendiri bukan hanya monopoli tahun baru Imlek, melainkan di dalam peristiwa apa saja yang melambangkan kegembiraan seperti pernikahan, ulang tahun, masuk rumah baru dan lain sebagainya, ang pao juga akan ditemukan.
Ang pao pada tahun baru Imlek mempunyai istilah khusus yaitu “Ya Sui“, yang artinya hadiah yang diberikan untuk anak-anak berkaitan dengan pertambahan umur / pergantian tahun.
Orang Tionghoa menitik beratkan banyak masalah pada simbol-simbol, demikian pula halnya dengan tradisi Ya Sui ini. Sui dalam Ya Sui berarti umur, mempunyai lafal yang sama dengan karakter Sui yang lain yang berarti bencana. Jadi, Ya Sui bisa disimbolkan sebagai “mengusir / meminimalkan bencana” dengan harapan anak-anak yang mendapat hadiah Ya Sui akan melewati satu tahun ke depan yang aman tenteram tanpa halangan berarti.
Di zaman dulu, hadiah ini biasanya berupa manisan, bonbon dan makanan. Untuk selanjutnya, karena perkembangan zaman, orang tua merasa lebih mudah memberikan uang dan membiarkan anak-anak memutuskan hadiah apa yang akan mereka beli. Tradisi memberikan uang sebagai hadiah Ya Sui ini muncul sekitar zaman Ming dan Qing. Dalam satu literatur mengenai Ya Sui Qian, dituliskan bahwa anak-anak menggunakan uang untuk membeli petasan, manisan. Tindakan ini juga meningkatkan peredaran uang dan perputaran roda ekonomi di Tiongkok di zaman tersebut.
Di zaman dulu, karena nominal terkecil uang yang beredar di Tiongkok adalah keping perunggu (wen atau tongbao). Keping perunggu ini biasanya berlubang segi empat di tengahnya. Bagian tengah ini diikatkan menjadi untaian uang dengan tali merah. Keluarga kaya biasanya mengikatkan 100 keping perunggu buat Ya Sui orang tua mereka dengan harapan mereka akan berumur panjang.
Di dalam tradisi Tionghoa, orang yang wajib dan berhak memberikan angpao biasanya adalah orang yang telah menikah, karena pernikahan dianggap merupakan batas antara masa kanak2 dan dewasa. Selain itu, ada anggapan bahwa orang yang telah menikah biasanya telah mapan secara ekonomi. Selain memberikan angpao kepada anak2, mereka juga wajib memberikan angpao kepada yang dituakan.
Bagi yang belum menikah, tetap berhak menerima angpao walaupun secara umur, seseorang itu sudah termasuk dewasa. Ini dilakukan dengan harapan angpao dari orang yang telah menikah akan memberikan nasib baik kepada orang tersebut, dalam hal ini tentunya jodoh. Bila seseorang yang belum menikah ingin memberikan angpao, sebaiknya cuma memberikan uang tanpa amplop merah.
Namun tradisi di atas tidak mengikat. Sekarang ini, pemberikan angpao tentunya lebih didasarkan pada kemapanan secara ekonomi, lagipula makna angpao bukan sekedar terbatas berapa besar uang yang ada di dalamnya melainkan lebih jauh adalah bermakna senasib sepenanggungan, saling mengucapkan dan memberikan harapan baik untuk 1 tahun ke depan kepada orang yang menerima angpao tadi.



BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Tujuh unsur kebudayaan universal memang terdapat dalam setiap kebudayaan di dunia. Setiap kebudayaan dimanapun mereka berada, apabila dikaji secara integratif dan mendalam, maka akan diperoleh suatu kesimpulan bahwa kebudayaan tersebut berakar dari tujuh unsur kebudayaan universal yang kemudian berkembang mengikuti kondisi sosial budaya dan lingkungan dimana kebudayaan tersebut hidup dan berkembang.
Memang dalam praktik nyatanya, tidak semua unsur kebudayaan universal dalam suatu kebudayaan berkembang secara berimbang. Terkadang hanya beberapa unsur saja yang berkembang dan menonjol dari kebudayaan tersebut yang kemudian menjadi ciri khas dari kebudayaan tersebut.
Unsur kebudayaan universal ini-pun tidak akan hilang walaupun kebudayaan-kebudayaan tersebut mengalami perubahan dan perkembangan baik melalui proses asimilasi, akulturasi maupun proses persinggungan kebudayaan lainnya. Mengapa? Karena sekali lagi ini ialah unsur kebudayaan universal. Unsur kebudayaan universal ini ialah akar dari setiap kebudayaan sehingga pasti akan selalu ditemukan dalam setiap kebudayaan.
Sebagai ilustrasi, Saya akan menggunakan kebudayaan etnis Tionghoa untuk memperjelas uraian Saya diatas. Seperti yang sudah Saya jelaskan dalam bab “Analisis dan Pembahasan”, budaya etnis Tionghoa bersumber dari kebudayaan bangsa China yang kemudian berasimilasi dengan kebudayaan asli Indonesia. Kebudayaan bangsa China sendiri bukanlah suatu kebudayaan homogen, karena terdiri atas beragam suku bangsa yang kemudian bersatu
membentuk kebudayaan bangsa China. Demikian pula kebudayaan etnis Tionghoa merupakan kebudayaan yang heterogen, karena etnis Tionghoa di Indonesia sendiri terdiri atasberbagai suku bangsa yang menyatuka diri dalam kesatuan sebagai etnis Tionghoa. Kebudayaan etnis Tionghoa sendiri, kemudian masih berasimilasi lagi dengan kebudayaan Indonesia selama ratusan tahun.
Namun demikian, kebudayaan etnis Tionghoa yang heterogen tersebut apabila dikaji secara integratif tetap akan menunjukkan adanya tujuh unsur kebudayaan universal dalam kebudayaan etnis Tionghoa.
Selain itu, kesimpulan lain yang dapat Saya tarik ialah bahwa ketujuh unsur kebudayaan universal merupakan unsur-unsur yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Apabila salah satu unsur mengalami perkembangan maka akan mempengaruhi unsur kebudayaan universal yang lainnya; walaupun seperti yang sudah Saya katakan bahwa terkadang dalam suatu kebudayaan bisa saja hanya beberapa unsur kebudayaan saja yang menonjol, akan tetapi semua unsur kebudayaan itu saling terintegrasi.

B. Saran
Sebagai suatu negara multietnik, sudah sepantasnya bagi masyarakat Indonesia untuk saling memahami segala kebudayaan suku bangsa yang terdapat di Indonesia. Karena tanpa adanya pengertian mengenai kebudayaan-kebudayaan suku bangsa di Indonesia akan sangat sulit untuk saling menyelaraskan pikiran dan hidup dalam suasanan keterbukaan yang aman dan damai. Pada akhirnya bila kondisi ini tidak tercapai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, maka akan mengancam persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperlambat perjalanan bangsa Indonesia dalam mencapai kemakmuran yang diidam-idamkan oleh setiap warga negara Indonesia.
Berbagai peristiwa SARA yang kerap kali terjadi di Indonesia merupakan bukti nyata bahwa ketidaktahuan mengenai suatu golongan tertentu akan mempermudah terjadinya konflik persinggungan idealisme yang tidak hanya akan merugikan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik melainkan keseluruhan masyarakat Indonesia.
Sebagai contoh, berbagai peristiwa rasialis yang kerap kali menimpa etnis Tionghoa sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda telah menciptakan semacam perasaan traumatis dan kerap kali menyebabkan perasaan was-was dalam benak etnis Tionghoa untuk bergaul secara luas dalam lingkup masyarakat Indonesia. Sedangkan dari pihak masyarakat Indonesia umum, perasaan was-was ini diartikan sebagai sikap eksklusivisme dalam kehidupan etnis Tionghoa dan tidak mau berbaur dengan masyarakat Indonesia lainnya.
Berbagai peristiwa rasialis yang pernah menimpa etnis Tionghoa di Indonesia antara lain: pembantaian terhadap etnis Tionghoa di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825-1830 semasa masa pemerintahan kolonial Belanda. Sementara kerusuhan-kerusuhan yang menimpa etnis Tionghoa sejak masa kemerdekaan Indonesia antara lain pembunuhan massal di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung, peristiwa 5 Agustus 1973 di Jakarta, peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974 di Jakarta dan Kerusuhan Mei 1998 di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Solo.
Diharapkan lewat peranan Antropologi dan Etnografi akan membantu bangsa Indonesia untuk saling memahami kebudayaan-kebudayaan suku bangsa di Indonesia, sehingga kedepannya segala bentuk diskriminasi, prasangka-prasangkan dan stereotype antar suku bangsa di Indonesia dapat digantikan dengan sikap keterbukaan, saling menghargai dan menghormati serta toleran guna memperkuat rasa nasionalis, persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Dengan bersatu bersama-sama, maka segala cita-cita dan amanat Undang-Undang Dasar 1945 akan dapat diwujudkan.
Sudah waktunya bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk melupakan istilah “pribumi dan non-pribumi”. Etnis Tionghoa pada awalnya memang suku bangsa pendatang yang menetap di Indonesia, namun seiring dengan perjalanan waktu, seluruh etnis Tionghoa yang berada di Indonesia saat ini merupakan anak cucu bangsa Indonesia juga. Mereka telah lahir, menetap dan mencari nafkah di Indonesia. Tidak sedikit warga etnis Tionghoa Indonesia mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional lewat berbagai bidang. Contoh yang paling mudah dikenali ialah, para pahlawan bulutangkis Indonesia seperti Alan Budikusuma, Susi Susanti, Liem Swie King, Tan Joe Hok, Rudi Hartono dan lain sebagainya. Bahkan, bila ditilik jauh ke belakang, kebudayaan etnis Tionghoa telah memberikan sumbangan besar bagi kebudayaan Indonesia. Atas dasar tersebut, masih pantaskah bila etnis Tionghoa dicap sebagai suku bangsa asing di Indonesia.
Sementara, bagi etnis Tionghoa, kinilah saatnya membuka diri terhadap “eksklusuvisme” etnis Tionghoa dalam pergaulan suku bangsa di Indonesia. Para etnis Tionghoa di Indonesia selalu mengeluh bahwa mereka mengalami tindakan diskriminatif dari masyarakat pribumi Indonesia. Akan tetapi etnis Tionghoa tidak pernah secara nyata “melawan” segala tindakan diskriminatif tersebut. Sudah saatnya etnis Tionghoa membuka diri dan berbaur dengan seluruh masyarakat Indonesia. Perkenalkan budaya Tionghioa sebagai bagian dari budaya Indonesia. Diharapkan dengan timbulnya pengertian dan pemahaman terhadap masing-masing kebudayaan suku bangsa di Indonesia, maka akan timbul sikap saling menghormati, saling menghargai serta saling toleran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku
Achmad, Ridjal K. Study Guide Cultural Anthropology. Jakarta: Learning Material Center Stikom The London School of Public Relations – Jakarta, 2008.
Drs. Taufiq Rohman Dhohiri, M.Si et all. Sosiologi: Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Yudhistira, 2006.

Referensi Internet
id.wikipedia.org
iccsg.wordpress.com
id.inti.or.id
blog.dipanegara.ac.id
www.osdir.com
www.seasite.niu.edu
www.kapanlagi.com
www.ladangtuhan.com
www.indonesian.cri.cn
www.surabaya-ehealth.org
www.tionghoa-net.blogspot.com



LAMPIRAN

Berikut ini Saya menyertakan lampiran berupa bahan-bahan bacaan referensi yang Saya pergunakan dalam menyusun makalah ini.
Untuk referensi berupa buku, Saya akan melampirkan fotocopy dari cover, halaman identitas buku dan halaman referensi dari buku yang Saya pergunakan dalam menyusun makalah ini.
Sedangkan untuk referensi dari internet, Saya akan menyertakan link lengkap dari website yang Saya gunakan serta artikel lengkap dari website tersebut. Artikel yang Saya lampirkan disini merupakan artikel lengkap yang Saya copy-paste langsung dari websitenya tanpa Saya ubah sedikitpun. Saya hanya sedikit merapikan tata letaknya dalam halaman makalah ini agar terlihat lebih rapi dan untuk menyesuaikan dengan halaman-halaman lainnya dari makalah ini.



Dikutip dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia
Tionghoa-Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sukubangsa Tionghoa (biasa disebut juga Cina) di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang"). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢人, hanyu pinyin: hanren, "orang Han").
Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuna di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.
Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.[3]
Asal kata
Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Cina untuk terbebas dari kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Cina yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina.
Sekelompok orang asal Cina yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda, merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun 1900, mereka mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang bila lafalnya diindonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Cina, tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah "Cina" menjadi "Tionghoa" di Hindia Belanda.
Jumlah populasi Tionghoa di Indonesia
Berdasarkan Volkstelling (sensus) di masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia di tahun 1930.[4] Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961.[5]
Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.[2]
Daerah asal di Cina
Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara Cina, menyebabkan banyak sekali orang-orang yang juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara. Karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya para pedagang akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Cina untuk terus berdagang.
Orang-orang Tionghoa di Indonesia, umumnya berasal dari tenggara Cina. Mereka termasuk suku-suku:
• Hakka
• Hainan
• Hokkien
• Kantonis
• Hokchia
• Tiochiu
Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara ini dapat dimengerti, karena dari sejak zaman Dinasti Tang kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Cina memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou pernah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.[rujukan?]
Daerah konsentrasi
Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatra Utara, Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
• Hakka - Aceh, Sumatra Utara, Batam, Sumatra Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat,Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Menado, Ambon dan Jayapura.
• Hainan - Riau (Pekanbaru dan Batam), dan Menado.
• Hokkien - Sumatra Utara, Pekanbaru, Padang, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Menado, dan Ambon.
• Kantonis - Jakarta, Makassar dan Menado.
• Hokchia - Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya).
• Tiochiu - Sumatra Utara, Riau, Riau Kepulauan, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).
Sejarah
Masa-masa awal
Orang dari Tiongkok daratan telah ribuan tahun mengunjungi dan mendiami kepulauan Nusantara.
Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa ("To lo mo") dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.
Dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran Tiongkok pun mulai berdatangan, terutama untuk kepentingan perdagangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Cina disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Tiongkok.[6]
Catatan Ma Huan, ketika turut serta dalam ekspedisi Cheng Ho, menyebut secara jelas bahwa pedagang Cina muslim menghuni ibukota dan kota-kota bandar Majapahit (abad ke-15) dan membentuk satu dari tiga komponen penduduk kerajaan itu.[7] Ekspedisi Cheng Ho juga meninggalkan jejak di Semarang, ketika orang keduanya, Wang Jinghong, sakit dan memaksa rombongan melepas sauh di Simongan (sekarang bagian dari Kota Semarang). Wang kemudian menetap karena tidak mampu mengikuti ekspedisi selanjutnya. Ia dan pengikutnya menjadi salah satu cikal-bakal warga Tionghoa Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut "Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong"), serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu.[8] Di komplek ini Wang juga dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo Awang".[9]
Sejumlah sejarawan juga menunjukkan bahwa Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, memiliki darah Tiongkok selain keturunan Majapahit. Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah Tiongkok, meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara aktif mempraktekkan kultur Tionghoa.
Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada tahun 1407, di masa daerah itu masih di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan mereka terdampar sebelum mencapai tujuan di Kalapa.
Era kolonial
Di masa kolonial, Belanda pernah mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa diantara mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia[rujukan?]. Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.[rujukan?]
Sebetulnya terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis Jawa, kelompok Tionghoa berperang melawan VOC tahun 1740-1743.[rujukan?] Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik" Lanfong[rujukan?] berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX.
Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825-1830. Pembantaian di Batavia tersebut [10][11][4] melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.
Kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret 1900 terbentuk di Batavia Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah (jumlahnya 54 buah tahun 1908 dan mencapai 450 sekolah tahun 1934). Inisiatif ini diikuti oleh etnis lain, seperti keturunan Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair meniru model THHK. Pada gilirannya hal ini menyadarkan priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga dibentuklah Budi Utomo.
Target pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel itu ternyata menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa paling siap berusaha dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi. Tahun 1909 di Buitenzorg (Bogor) Sarekat Dagang Islamiyah didirikan oleh RA Tirtoadisuryo mengikuti model Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk tahun 1906 di Batavia. Bahkan pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi juga kemudian membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.
Pemerintah kolonial Belanda makin kuatir karena Sun Yat Sen memproklamasikan Republik China, Januari 1912. Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial-budaya mulai mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan perlakukan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal. Dalam rangka pelaksanaan Politik Etis, pemerintah kolonial berusaha memajukan pendidikan, namun warga Tionghoa tidak diikutkan dalam program tersebut. Padahal orang Tionghoa membayar pajak ganda (pajak penghasilan dan pajak kekayaan). Pajak penghasilan diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan petani. Pajak kekayaan (rumah, kuda, kereta, kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga) dikenakan hanya bagi Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang etnis Tionghoa). Hambatan untuk bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan adanya passenstelsel.
Pada waktu terjadinya Sumpah Pemuda, ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat hadir, antara lain Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya. Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Pada 1920-an itu, harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata Belanda inlander di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina" dengan kata Tionghoa. Pada 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai Tionghoa Indonesia (dan bukan Partai Tjina Indonesia).
Pada masa revolusi tahun 1945-an, Mayor John Lie yang menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan Republik. Rumah Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok, dekat Karawang, diambil-alih oleh Tentara Pembela Tanah Air (PETA), kemudian penghuninya dipindahkan agar Bung Karno dan Bung Hatta dapat beristirahat setelah "disingkirkan" dari Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945. Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang merumuskan UUD'45 terdapat 4 orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat 1 orang Tionghoa yaitu Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian yang meninggal dalam status sebagai warganegara asing, sesungguhnya ikut merancang UUD 1945. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman, pun pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po.
Dalam perjuangan fisik ada beberapa pejuang dari kalangan Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan diberitakan. Salah seorang yang dikenali ialah Tony Wen, yaitu orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya.
Pasca kemerdekaan
Sejarah politik diskriminatif terhadap etnis Tionghoa terus berlangsung pada era Orde Lama dan Orde Baru. Kerusuhan-kerusuhan yang menimpa etnis Tionghoa antara lain pembunuhan massal di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung, 5 Agustus 1973 di Jakarta, Malari 1974 di Jakarta dan Kerusuhan Mei 1998 di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Solo.[rujukan?] Pada Orde Lama keluar Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965.
Selama Orde Baru juga terdapat penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".
Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan didepan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa.



Dikutip dari: http://id.inti.or.id/specialnews/10/tahun/2007/bulan/04/tanggal/21/id/248/
Sabtu, 21 April 2007 21:12
Mely G. Tan: Kecenderungan Budaya Tidak Identik dengan Kecenderungan Politik
Mengamati Bergesernya Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia
Gillian tertawa dan tepuk tangan, melihat barongsai besar berwarna merah meliuk-liuk di depannya. Gadis kecil berusia sembilan tahun itu berusaha menyentuh surai emas yang menjuntai, dengan lincah ia memasukkan amplop angpao ke mulut barongsai. Ini adalah pertunjukkan barongsai yang kesekian kali ia tonton. Setiap Imlek, Gillian akan pakai ceongsam merah, rambut dicepol dua, lalu pergi ke rumah nenek untuk terima angpao. "Xie xie ni," katanya tiap kali ia terima amplop merah, mempraktekkan apa yang guru mandarinnya ajarkan di sekolah. Gillian mungkin terlalu kecil untuk tahu, bahwa apa yang ia alami, tak pernah dialami orangtuanya semasa kecil.
Kini melihat pertunjukan barongsai bukan hal aneh lagi. Tak mesti menunggu Imlek, kelompok-kelompok barongsai laku di-booking. Berbahasa mandarin kini tidak tabu lagi. Justru bangga. Bisa fasih bicara bahasa yang paling diminati di dunia setelah bahasa Inggris.
Banyak yang berubah semenjak larangan berbudaya Tionghoa dicabut pemerintah RI. Perayaan Imlek kini sama meriahnya dengan Idul Fitri dan Natal. Mal di kota-kota besar memerah, penuh dengan ornamen-ornamen Tionghoa. Lampion, kain merah, aksara Tiongkok tertampang dengan jelas. Acara-acara televisi meriah dengan kuis-kuis dan pertunjukan berbau Tionghoa. Mulai dari 'kuis angpao', tips masak makanan khas Tiongkok, sampai kajian serius sejarah Tionghoa. Kursus bahasa Mandarin laku keras. Surat kabar berbahasa Mandarin menjamur. Sungguh menarik, mencermati bahwa walaupun selama 32 tahun penggunaan bahasa dan aksara Tionghoa dilarang, ternyata masih banyak angkatan senior yang fasih melafalkannya.
Kuatnya Pengaruh Budaya Tionghoa
Bagaikan naga bangun dari tidurnya, budaya yang 32 tahun hilang bangkit dengan cepat. Menandakan bahwa cultural genocide yang dilakukan pemerintah Orde Baru tidak dapat menghilangkan akar budaya yang melekat pada masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Mely G. Tan, sosiolog senior yang ahli dalam sinologi, membenarkan bahwa etnis Tionghoa dimanapun mereka berada sangat lekat dengan kebudayaan Tionghoa. Ini tak dapat dipisahkan dari karakter mereka sebagai bangsa perantau yang mempunyai tradisi menghormati negeri leluhur. Tak diragukan lagi, Tiongkok adalah sebuah bangsa dengan kebudayaan yang sangat kuat. Budaya ini dipelihara turun-temurun oleh rakyatnya selama berabad-abad. Walaupun keturunan rakyat negeri tirai bambu ini terserak ke seluruh penjuru dunia dan telah menjadi warga negara di tempat mereka tinggal, budaya Tionghoa tetap lekat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan mudah dapat ditemui Tiongkoktown (pecinan) yang khas di seluruh Asia Tenggara, Amerika, Eropa, bahkan Afrika Selatan.
Di Indonesia sendiri, budaya Tiongkok sudah mempengaruhi kehidupan masyarakat Nusantara jauh sebelum Republik Indonesia ada. Interaksi yang berlangsung selama ratusan tahun, tak pelak menyebabkan budaya Tionghoa meresap erat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tengok saja pakaian Madura, batik-batik utara Jawa, teknologi setrika, Sisingaan di Jawa Barat, pis bolong (mata uang Tiongkok kuno yang bolong di tengah) dalam ritual sembayang agama Hindu di Bali, teknologi membuat berbagai makanan seperti mie, bakso dan tahu, cara membajak sawah dengan sapi, petasan, bedug, dan lain sebagainya. Melihat pengaruh budaya Tionghoa dan kontribusinya dalam budaya lokal nusantara, sungguh etnis Tionghoa tidak bisa disebut sebagai bangsa 'asing' di negeri ini.
Identitas Budaya vs Identitas Politik
Namun pusaran politik telah melupakan hal ini. Melupakan sejarah asimilasi yang terserap berabad-abad lamanya. Karena alasan politik pula, etnis Tionghoa dibedakan dengan etnis lainnya di Indonesia. Dibuat perbedaan, diciptakan pemisahaan. Walaupun sebagian besar masyarakat Indonesia mempelajari politik tipuan 'devide et impera' Belanda, namun tetap saja sejarah itu berpengaruh sampai saat ini. Perang, bentrokan, kerusuhan berbau SARA mudah sekali merebak di Indonesia. Sulit untuk mengakui perbedaan itu sebagai suatu kekuatan.
Kecurigaan juga muncul saat budaya Tionghoa dengan bebas dipraktekkan lagi sekarang. Bahkan tak sedikit kalangan etnis Tionghoa sendiri khawatir bahwa kebebasan berbudaya ini akan kembali menciptakan ekslusivisme yang mengundang rasa tidak simpatik dari kelompok lain. Yang lain mengkhawatirkan pergeseran identitas etnis Tionghoa. Apakah identitas ini akan lebih ke'indonesiaan'nya atau ke'tiongkokan'nya?
Dalam hal ini Mely menegaskan bahwa kecenderungan berbudaya tidak identik dengan kecenderungan politik. "Kita harus hati-hati memilah identitas budaya dan identitas politik," katanya. "Belum tentu dekat secara budaya otomatis dekat secara politik, sehingga mempunyai identitas kebudayaan Tionghoa bukan berarti mempunyai identitas politik Tiongkok."
Hal ini bisa dilihat dari etnis Tionghoa di seluruh Asia Tenggara. Misalnya Tionghoa di Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand. Mereka memang etnis Tionghoa tapi sudah tidak ingat lagi dengan asal-usulnya. Dengan tegas mereka mengakui bahwa mereka adalah warga negara Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand. Ikut dalam membangun negaranya, pergi berperang demi negaranya dan berpartisipasi secara politik di negaranya.
Ini yang masih gamang terjadi di Indonesia. Karena pemenggalan budaya dan pembatasan politik selama 32 tahun justru membuat etnis Tionghoa makin dianggap sosok asing. Bukannya terjadi asimilasi secara natural seperti abad-abad lampau, desinoisasi (pelarangan budaya Tionghoa secara menyeluruh) justru membuat etnis Tionghoa ber'kepribadian ganda', merasa sebagai orang Indonesia tapi tidak dianggap Warga Negara Indonesia. Bukan Warga Negara RRC, tapi disebut 'Cina', dan lain sebagainya.
Kini kebebasan berbudaya Tionghoa dan perbaikan sistem hukum dan HAM membawa angin segar pada etnis Tionghoa. Budaya Tionghoa tidak lagi dianggap budaya asing, bahkan diakui sebagai salah satu budaya nasional Indonesia. Agama Khonghucu yang identik dengan Tiongkok diakui sebagai salah satu agama resmi. Tokoh-tokoh etnis Tionghoa mulai berani mencalonkan diri di bursa politik Indonesia. Dalam diri mereka nyata sudah, walaupun berbudaya Tionghoa tapi nasionalisme mereka adalah Indonesia.
Inilah yang ditekankan oleh Mely bahwa masyarakat harus mengerti betul konsep ini. Agar semua lapisan masyarakat mengerti konsep ini memang akan memakan waktu dan melalui proses panjang. Bagaimana masyarakat Indonesia akan bergeser dari identitas kesukuan atau identitas sebagai etnis menjadi identitas sebagai bangsa yang satu, yaitu Indonesia. Cara untuk mempercepat pemahaman ini adalah melalui kesetaraan pendidikan.
Harapan di Kalangan Muda
Sebuah survey di televisi swasta menunjukkan hal yang menarik. Bahwa sekelompok anak muda Tionghoa menyatakan bersedia menjadi pegawai negeri sipil sebanyak 30 %, 15 % bersedia menjadi pegawai negeri swasta sedangkan 45 % tetap ingin berwirausaha. Bila kita menilik lebih jauh, anak-anak muda ini minimum berpendidikan sarjana. Bagi sebagian kalangan muda etnis Tionghoa, menjadi tentara atau polisi bukanlah sebuah momok menakutkan lagi. Ikut serta berpolitik praktis yang untuk orang tua mereka adalah hal haram kini banyak diminati pemuda-pemudi etnis Tionghoa. Bagi mereka untuk menjadi bagian yang diterima secara utuh di Indonesia, etnis Tionghoa harus terjun ke berbagai bidang.
Hal ini semakin menarik bila kita melihat hasil penelitian dari Thung Ju Lan -peneliti sekaligus dosen di Universitas Indonesia- tentang pergeseran identitas pengusaha muda Tionghoa dibandingkan dengan generasi orang tuanya. Kaum muda Tionghoa saat ini cenderung memandang dirinya sebagai bagian dari masyarakat internasional. Bukan menilai seseorang berdasarkan etnis atau perbedaan lainnya. Kesimpulan yang sama juga diperoleh Mely dalam pengamatannya bahwa kaum muda yang berpendidikan dan terbiasa bergaul dengan etnis yang berbeda di luar negeri sudah menjadi global dan berorientasi internasional. Mereka kembali ke Indonesia dan tidak canggung bergaul dengan etnis manapun. Mereka makin dapat menerima perbedaan dan pluralisme, serta cenderung bisa menghormati budaya yang berbeda-beda.
Proses ini menurut Mely makin mengkristal di kalangan anak muda baik dari etnis Tionghoa maupun etnis lainnya. “Masyarakat perlu mendukung proses itu agar proses pembentukan kesadaran baru menyangkut identitas diri baru mereka semakin nyata. Itu penting, karena kalangan muda ini sekarang lebih suka menyebut dirinya orang Indonesia tanpa disertai embel-embel apa pun,” ungkap Mely dalam sebuah seminar internasional tentang “Orang Indonesia-Tionghoa: Manusia dan Kebudayaannya” di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Mely juga mengungkapkan bahwa kita tidak perlu khawatir bahwa rasa nasionalisme kalangan muda akan berkurang di tengah globalisasi. Sebuah contoh menarik yang terjadi di Uni Eropa. Setelah negara-negara Eropa itu menerima berbagai kemudahan secara ekonomis dari bersatunya Eropa, ternyata identitas kebangsaan mereka tidak hilang. Mereka tetap merasa sebagai bangsa dari negaranya masing-masing. Jadi tidak perlu terlalu mengkhawatirkan reaksi anak muda yang lebih mudah menerima dampak globalisasi, karena sisi baik dari masyarakat global adalah diterimanya pluralisme dan multikulturalisme sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa-bangsa.
Proses ini, lanjut Mely adalah sebuah proses yang bisa dicapai hanya dengan pendidikan yang setara. "Pendidikan multikulturalisme harus dimulai sejak dini. Anak-anak harus sudah diajari untuk menerima perbedaan tanpa merasa terancam, misalnya dengan menyekolahkan mereka di sekolah yang multi etnis dan multi agama."
Kiranya segera nyata, apa yang disebutkan dalam Sumpah Pemuda: Satu Bangsa, Satu Bahasa, Satu Tanah Air. Indonesia. Sehingga Gillian-Gillian lain akan bermunculan, bebas mengekspresikan budayanya tanpa rasa janggal, bahwa dirinya tetaplah orang Indonesia.



Dikutip dari: http://iccsg.wordpress.com/2006/01/28/mengapa-ada-tradisi-angpao-pada-tahun-baru-imlek-rj/
Tanya:
Asal usul tradisi memberikan angpao sewaktu menyambut tahun baru Imlek.
Jawab:
Sejak lama, warna merah melambangkan kebaikan dan kesejahteraan di dalam kebudayaan Tionghoa. Warna merah menunjukkan kegembiraan, semangat yang pada akhirnya akan membawa nasib baik.
Angpao sendiri adalah dialek Hokkian, arti harfiahnya adalah bungkusan/amplop merah. Sebenarnya, tradisi memberikan angpao sendiri bukan hanya monopoli tahun baru Imlek, melainkan di dalam peristiwa apa saja yang melambangkan kegembiraan seperti pernikahan, ulang tahun, masuk rumah baru dan lain2, angpao juga akan ditemukan.
Angpao pada tahun baru Imlek mempunyai istilah khusus yaitu “Ya Sui“, yang artinya hadiah yang diberikan untuk anak2 berkaitan dengan pertambahan umur/pergantian tahun. Di zaman dulu, hadiah ini biasanya berupa manisan, bonbon dan makanan. Untuk selanjutnya, karena perkembangan zaman, orang tua merasa lebih mudah memberikan uang dan membiarkan anak2 memutuskan hadiah apa yang akan mereka beli. Tradisi memberikan uang sebagai hadiah Ya Sui ini muncul sekitar zaman Ming dan Qing. Dalam satu literatur mengenai Ya Sui Qian dituliskan bahwa anak2 menggunakan uang untuk membeli petasan, manisan. Tindakan ini juga meningkatkan peredaran uang dan perputaran roda ekonomi di Tiongkok di zaman tersebut.
Angpao apakah disebut angpao di zaman dulu? Bagaimana bentuknya?
Tidak. Uang kertas pertama kali digunakan di Tiongkok pada zaman Dinasti Song, namun baru benar2 resmi digunakan secara luas di zaman Dinasti Ming. Walaupun telah ada uang kertas, namun karena uang kertas nominalnya biasanya sangat besar sehingga jarang digunakan sebagai hadiah Ya Sui kepada anak2.
Di zaman dulu, karena nominal terkecil uang yang beredar di Tiongkok adalah keping perunggu (wen atau tongbao). Keping perunggu ini biasanya berlubang segi empat di tengahnya. Bagian tengah ini diikatkan menjadi untaian uang dengan tali merah. Keluarga kaya biasanya mengikatkan 100 keping perunggu buat Ya Sui orang tua mereka dengan harapan mereka akan berumur panjang.
Jadi, dari sini dapat kita ketahui bahwa bungkusan kertas merah (angpao) yang berisikan uang belum populer di zaman dulu.
Pemberian angpao apakah punya makna tersendiri?
Orang Tionghoa menitik beratkan banyak masalah pada simbol-simbol, demikian pula halnya dengan tradisi Ya Sui ini. Sui dalam Ya Sui berarti umur, mempunyai lafal yang sama dengan karakter Sui yang lain yang berarti bencana. Jadi, Ya Sui bisa disimbolkan sebagai “mengusir/meminimalkan bencana” dengan harapan anak2 yang mendapat hadiah Ya Sui akan melewati 1 tahun ke depan yang aman tenteram tanpa halangan berarti.
Siapa yang wajib memberikan angpao dan berhak menerima angpao?
Di dalam tradisi Tionghoa, orang yang wajib dan berhak memberikan angpao biasanya adalah orang yang telah menikah, karena pernikahan dianggap merupakan batas antara masa kanak2 dan dewasa. Selain itu, ada anggapan bahwa orang yang telah menikah biasanya telah mapan secara ekonomi. Selain memberikan angpao kepada anak2, mereka juga wajib memberikan angpao kepada yang dituakan.
Bagi yang belum menikah, tetap berhak menerima angpao walaupun secara umur, seseorang itu sudah termasuk dewasa. Ini dilakukan dengan harapan angpao dari orang yang telah menikah akan memberikan nasib baik kepada orang tersebut, dalam hal ini tentunya jodoh. Bila seseorang yang belum menikah ingin memberikan angpao, sebaiknya cuma memberikan uang tanpa amplop merah.
Namun tradisi di atas tidak mengikat. Sekarang ini, pemberikan angpao tentunya lebih didasarkan pada kemapanan secara ekonomi, lagipula makna angpao bukan sekedar terbatas berapa besar uang yang ada di dalamnya melainkan lebih jauh adalah bermakna senasib sepenanggungan, saling mengucapkan dan memberikan harapan baik untuk 1 tahun ke depan kepada orang yang menerima angpao tadi.
Rinto Jiang



Dikutip dari: http://iccsg.wordpress.com/2006/10/11/adat-pernikahan/
Adat Pernikahan
Sumber : Jelajah Vol 3 Tahun 1999
Masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah masyarakat patrilinial yang terdiri atas marga / suku yang tidak terikat secara geometris dan teritorial, yang selanjutnya telah menjadi satu dengan suku-suku lain di Indonesia. Mereka kebanyakan masih membawa dan mempercayai adat leluhurnya. Tulisan ini membahas dua upacara adat yang cukup dominan dalam kehidupan yaitu tentang adat pernikahan dan adat kematian (editor: adat kematian ada di posting terpisah).
ADAT PERNIKAHAN
Upacara pernikahan merupakan adat perkawinan yang didasarkan atas dan bersumber kepada kekerabatan, keleluhuran dan kemanusiaan serta berfungsi melindungi keluarga. Upacara pernikahan tidaklah dilakukan secara seragam di semua tempat, tetapi terdapat berbagai variasi menurut tempat diadakannya; yaitu disesuaikan dengan pandangan mereka pada adat tersebut dan pengaruh adat lainnya pada masa lampau.
Umumnya orang-orang Tionghoa yang bermigrasi ke Indonesia membawa adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan mereka. Salah satu adat yang seharusnya mereka taati adalah keluarga yang satu marga (shee ) dilarang menikah, karena mereka dianggap masih mempunyai hubungan suku. Misalnya : marga Lie dilarang menikah dengan marga Lie dari keluarga lain, sekalipun tidak saling kenal. Akan tetapi pernikahan dalam satu keluarga sangat diharapkan agar supaya harta tidak jatuh ke orang lain. Misalnya : pernikahan dengan anak bibi (tidak satu marga, tapi masih satu nenek moyang).
Ada beberapa yang sekalipun telah memeluk agama lain, seperti Katolik namun masih menjalankan adat istiadat ini. Sehingga terdapat perbedaan di dalam melihat adat istiadat pernikahan yaitu terutama dipengaruhi oleh adat lain, adat setempat, agama, pengetahuan dan pengalaman mereka masing-masing.
UPACARA-UPACARA YANG DILAKSANAKAN DALAM PERNIKAHAN
Pesta dan upacara pernikahan merupakan saat peralihan sepanjang kehidupan manusia yang sifatnya universal. Oleh karena itu, upacara perkawinan selalu ada pada hampir setiap kebudayaan. Demikian pula halnya dengan adat pernikahan orang Tionghoa yang mempunyai upacara-upacara antara lain:
A. Upacara menjelang pernikahan :
Upacara ini terdiri atas 5 tahapan yaitu :
* Melamar : Yang memegang peranan penting pada acara ini adalah mak comblang. Mak comblang biasanya dari pihak pria.
* Penentuan : Bila keahlian mak comblang berhasil, maka diadakan penentuan bilamana antaran/mas kawin boleh dilaksanakan.
* “Sangjit” / Antar Contoh Baju : Pada hari yang sudah ditentukan, pihak pria/keluarga pria dengan mak comblang dan kerabat dekat mengantar seperangkat lengkap pakaian mempelai pria dan mas kawin. Mas kawin dapat memperlihatkan gengsi, kaya atau miskinnya keluarga calon mempelai pria. Semua harus dibungkus dengan kertas merah dan warna emas. Selain itu juga dilengkapi dengan uang susu (ang pauw) dan 2 pasang lilin. Biasanya “ang pauw” diambil setengah dan sepasang lilin dikembalikan.
* Tunangan : Pada saat pertunangan ini, kedua keluarga saling memperkenalkan diri dengan panggilan masing-masing, seperti yang telah diuraikan pada Jelajah No. 3.
* Penentuan Hari Baik, Bulan Baik : Suku Tionghoa percaya bahwa dalam setiap melaksanakan suatu upacara, harus dilihat hari dan bulannya. Apabila jam, hari dan bulan pernikahan kurang tepat akan dapat mencelakakan kelanggengan pernikahan mereka. Oleh karena itu harus dipilih jam, hari dan bulan yang baik. Biasanya semuanya serba muda yaitu : jam sebelum matahari tegak lurus; hari tergantung perhitungan bulan Tionghoa, dan bulan yang baik adalah bulan naik / menjelang purnama.
B. Upacara pernikahan :
* 3 - 7 hari menjelang hari pernikahan diadakan “memajang” keluarga mempelai pria dan famili dekat, mereka berkunjung ke keluarga mempelai wanita. Mereka membawa beberapa perangkat untuk meng-hias kamar pengantin. Hamparan sprei harus dilakukan oleh keluarga pria yang masih lengkap (hidup) dan bahagia. Di atas tempat tidur diletakkan mas kawin. Ada upacara makan-makan. Calon mempelai pria dilarang menemui calon mempelai wanita sampai hari H.
* Malam dimana esok akan diadakan upacara pernikahan, ada upacara “Liauw Tiaa”. Upacara ini biasanya dilakukan hanya untuk mengundang teman-teman calon kedua mempelai. Tetapi adakalanya diadakan pesta besar-besaran sampai jauh malam. Pesta ini diadakan di rumah mempelai wanita. Pada malam ini, calon mempelai boleh digoda sepuas-puasnya oleh teman-teman putrinya. Malam ini juga sering dipergunakan untuk kaum muda pria melihat-lihat calonnya (mencari pacar).
C. Upacara Sembahyang Tuhan (”Cio Tao”)
Di pagi hari pada upacara hari pernikahan, diadakan Cio Tao. Namun, adakalanya upacara Sembahyang Tuhan ini diadakan pada tengah malam menjelang pernikahan. Upacara Cio Tao ini terdiri dari :
. Penghormatan kepada Tuhan
. Penghormatan kepada Alam
. Penghormatan kepada Leluhur
. Penghormatan kepada Orang tua
. Penghormatan kepada kedua mempelai.
Meja sembahyang berwarna merah 3 tingkat. Di bawahnya diberi 7 macam buah, a.l. Srikaya, lambang kekayaan.
Di bawah meja harus ada jambangan berisi air, rumput berwarna hijau yang melambangkan alam nan makmur. Di belakang meja ada tampah dengan garis tengah ?2 meter dan di atasnya ada tong kayu berisi sisir, timbangan, sumpit, dll. yang semuanya itu melambangkan kebaikan, kejujuran, panjang umur dan setia.
Kedua mempelai memakai pakaian upacara kebesaran Cina yang disebut baju “Pao”. Mereka menuangkan teh sebagai tanda penghormatan dan memberikan kepada yang dihormati, sambil mengelilingi tampah dan berlutut serta bersujud. Upacara ini sangat sakral dan memberikan arti secara simbolik.
D. Ke Kelenteng
Sesudah upacara di rumah, dilanjutkan ke Klenteng. Di sini upacara penghormatan kepada Tuhan Allah dan para leluhur.
E. Penghormatan Orang tua dan Keluarga
Kembali ke rumah diadakan penghormatan kepada kedua orang tua, keluarga, kerabat dekat. Setiap penghormatan harus dibalas dengan “ang pauw” baik berupa uang maupun emas, permata. Penghormatan dapat lama, bersujud dan bangun. Dapat juga sebentar, dengan disambut oleh yang dihormati.
F. Upacara Pesta Pernikahan
Selesai upacara penghormatan, pakaian kebesaran ditukar dengan pakaian “ala barat”. Pesta pernikahan di hotel atau tempat lain. Usai pesta, ada upacara pengenalan mempelai pria ( Kiangsay ). Mengundang kiangsay untuk makan malam, karena saat itu mempelai pria masih belum boleh menginap di rumah mempelai wanita.
G. Upacara sesudah pernikahan
Tiga hari sesudah menikah diadakan upacara yang terdiri dari :
1. Cia Kiangsay
2. Cia Ce’em
Pada upacara menjamu mempelai pria (”Cia Kiangsay”) intinya adalah memperkenalkan keluarga besar mempelai pria di rumah mempelai wanita. Mempelai pria sudah boleh tinggal bersama.
Sedangkan “Cia Ce’em” di rumah mempelai pria, memperkenalkan seluruh keluarga besar mempelai wanita.
Tujuh hari sesudah menikah diadakan upacara kunjungan ke rumah-rumah famili yang ada orang tuanya. Mempelai wanita memakai pakaian adat Cina yang lebih sederhana.
PERUBAHAN YANG BIASA TERJADI PADA ADAT UPACARA PERNIKAHAN
* Ada beberapa pengaruh dari adat lain atau setempat, seperti: mengusir setan atau mahkluk jahat dengan memakai beras kunyit yang ditabur menjelang mempelai pria memasuki rumah mempelai wanita. Demikian juga dengan pemakaian sekapur sirih, dan lain-lain.
* Pengaruh agama, jelas terlihat perkembangannya. Sekalipun upacara Sembahyang Tuhan / Cio Tao telah diadakan di rumah, tetapi untuk yang beragama Kristen tetap ke Gereja dan upacara di Gereja. Perubahan makin tampak jelas, upacara di Kelenteng diganti dengan di gereja.
* Pengaruh pengetahuan dan teknologi, dapat dilihat dari kepraktisan upacara. Dewasa ini orang-orang lebih mementingkan kepraktisan ketimbang upacara yang berbelit-belit. Apalagi kehidupan di kota-kota besar yang telah dipengaruhi oleh teknologi canggih.
Sebagai suatu pranata adat yang tumbuh dan mempengaruhi tingkah laku masyarakat yang terlibat di dalamnya, sasaran pelaksanaan adat pernikahan Tionghoa mengalami masa transisi. Hal ini ditandai dengan terpisahnya masyarakat dari adat pernikahan tersebut melalui pergeseran motif baik ke arah positif maupun negatif dan konflik dalam keluarga.
Dewasa ini masyarakat Tionghoa lebih mementingkan kepraktisan ketimbang upacara adat. Hampir semua peraturan yang diadatkan telah dilanggar. Kebanyakan upacara pernikahan berdasarkan dari agama yang dianut.
as posted by Rinto Jiang in Milis Budaya Tionghua
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/1160
—————————————————————————————————
Addition by Julie Lau
Lagi iseng ah, berhubung kemaren baru kondangan, jadi kepengen cerita cerita mengenai tata cara perkawinan adat tionghua. Ya nggak adat adat amat sih, soalnya disini sana banyak “penyesuaian” dan mix n match pake budaya barat, kecampur lagi sama budaya Jawa (setahu saya). Jadi terpikir bahwa budaya Tionghua di Indonesia sebetulnya adalah “budaya gado gado”. Di singapur sini yang gado gado gitu disebut “Peranakan” atau “Nonya”, satu istilah yang akrab di telinga, sebab Oma saya suka menyebut diri sebagai “Cina Peranakan” maksudnya adalah Keturunan yang lahir atau tumbuh dewasa di Indonesia, sudah tidak akrab dengan bahasa Mandarin, dan ciri khas satu lagi adalah koleksi kebayanya itu lhoh, hehehe. Yang disebut “kebaya encim” itu kali yah. Tapi belakangan koleksi kebaya si Oma udah tinggal jadi koleksi doang sebab Oma lebih suka pakai blus dan celana panjang yang lebih praktis. Balik lagi ke tata cara perkawinan, hmmm enaknya mulai darimana yah. Dari alkisah deh….
COMBLANG
Alkisah, jaman dulu, jaman masih Siti nur buaya, dimana cowok dan cewek yang mau kawin masih dijodoh jodohin sama orangtua, peran “comblang” pengaruh banget. (Buat yang nonton MULAN versi Disney, pasti tahu khan yah, heheheh, film fave tuh). Eh jaman sekarang comblang masih ada lhoh, saya pernah dilirik ama comblang mau dijodohin, hiiiiiii, untuuuuung enggak jadi.
Jaman dulu kalau ada anak gadis yang sekiranya layak jadi menantu, pihak cowok langsung kirim comblang ke pihak ceweknya sambil kirim kirim bingkisan gitu. Nah kalo bingkisannya dari si nyonya anu diterima dengan baik dan benar berarti pihak cewek setuju, kalau dikembaliin berarti enggak setuju. Bagusnya cara begini, dua dua pihak ngga ada yang kehilangan muka merasa ditolak, katanyaaaa.
Jaman sekarang dimana anak udah bisa cari pacar sendiri, udah kaga pake comblang comblangan lagi deh. Anak sama anak tinggal omong omongan, begitu anak sama anak udah setuju mau nikahan tinggal bilang sama ortu. Kalau ortu enggak ada keberatan tinggal nentuin tanggal omong omongan. Ceritanya “diminta” secara resmi gitu sebelum acara lamaran.
SHIO, JAM, DAN TANGGAL LAHIR
Jaman dulu, dimana orang masih piara abu leluhur, begitu para ortu udah oke oke nih, comblang mintain jam dan tanggal lahir si cewek, otomatis ketauan shionya dan elemennya, apa kayu, api, air, logam, atau tanah. Tanggal ini terus ditaroh di meja sembahyang selama tiga hari. Dalam jangka waktu tiga hari ini kalau ada tanda tanda jelek, misalnya ortu sama ortu cekcok, atau mendadakan ada yang sakitan, lantas dicurigai tanggalnya “ciong” atau tidak cocok. langsung deh dibawa tuh tanggal ke tukang “kuamia” minta tolong dilihat antara si cowok dan si cewek ada jodoh ngga. Kalau tukang kuamia bilang boleh, baru calon besan ketemuan. kalau tukang kuamia bilang jangan, batal deh acara kawinan.
Jaman sekarang biasanya anak sama anak bilang mau kawin dulu, terus orangtua dateng ke tukang ngitung hari itu, biasanya pake buku “Tong su” itu minta dicariin tanggal yang bagus buat dua belah pihak. Enggak ada acara bilang “jangan” pokoknya mau kawin si A sama si B minta tanggal yang paling bagus. Nah masalahnya si tanggal ini suka suka susah keluarnya. Yaaa kalau yang susah gitu diambil yang paling mendingan aja, sama kayak kita pilih capres kali ya, yang mana yang dianggep mendingan aja deeeh.
Oh iya masalah tanggal ini, biasanya dikasih pilihan, tanggal ini hari minggu, lumayan bagus atau tanggal ini paling bagus, tapi jatuhnya hari kamis, atau tanggal itu… nah jadi dua keluarga bisa pilih pilih dan atur atur tanggal mana mau mengadakan pesta kawin.
LAMARAN/PINANGAN
Yang ini kayaknya adpatasi dari budaya Jawa, sebab yang saya tahu di Cina enggak ada acara lamaran langsung acara kirim tanda meminang, termasuk di dalamnya baju pengantin yang warna merah itu berikut tutup kepalanya yang beratnya lima kilo itu. Cuman di Indonesia ini orang Tionghua ada acara lamaran, pihak cewek diksaih tahu dulu hari apa jam berapa pihak cowok mau datang supaya bisa mempersiapkan, dimana pihak cowok datang bersama kerabat yang biasanya pintar diplomasi, bicara dengan kata kata kiasan mengutip puisi atau kalimat kalimat indah penuh arti. Wali pihak perempuan juga harus punya keahlian yang sama jadi di acara lamaran ini ada kayak berbalas pantun gitu sih.Selama acara berpantun pantun ini si cewek diumpetin di kamar ngga boleh keluar. Terus setelah acara berpantun ria selesai, si cewek dipanggil, dikasih tahu ini lhoh calon mertuamu, sekarang harus panggilnya Mama sama Papa, begitu. Dimana pihak cewek biasanya dikasih seperangkat perhiasan. Biasanya orangtua pihak cowok memasangkan perhiasan tersebut pada calon mantunya, istilahnya pengikat begitulah. Sebagai tanda bahwa si cewek ini sudah menjadi milik si cowok, dengan kata lain ngga boleh lirik lirik cowok cakep yang lain begitu. Dan cowok lain juga ngga boleh ganggu ganggu ini anak gadis yang sudah jadi milik orang. Hihihihik, jadi inget kalung dogi yang menandakan dogi ini ada yang punya bukan dogi liar, harap dikembalikan pada yang punya, hihihihi…..

ACARA TUKAR BAKI/SANGJIT
Sesudah lamaran, berikutnya pada hari bertuah, jam tertentu pihak cowok datang lagi ke rumah pihak cewek. Kali ini ortu cowo enggak ikut, cuman kirim perwakilan keluarga yang dituakan, plus segerombolan gadis gadis yang belum nikah. Tiap gadis bawa satu baki, jumlah baki plus pembawanya tergantung kemampuan si cowok, tapi yang penting disitu ada seperangkat pakaian cewek maksudnya kebutuhan sandang si cewek bakalan ditanggung sama pihak cowok, jangan kuatir. manisan dan permen supaya sepanjang perkawinannya manis terus, buah buahan supaya cepet berbuah kali, arak, teh, apalagi ya, seinget saya ada 8 atau 12 macam itu tapi apa aja lupa.
Pihak cewek harus mempersiapkan “penerima baki” jadi sebelum datang udah ketauan duluan berapa baki yang dibawa. Kalau pihak cewek memasrahkan anak perempuannya ke keluarga cowok, dilepas enggak akan ikut campur lagi, isi baki diambil semua. Tapi kalau orang tua cewek masih mau campur tangan atas keluarga penganten nih, isi baki dibagi dua separoh dikembalikan ke pihak cowok plus seperangkat baju cowok sebagai ganti baju cewek.
Saya nggak tau adaptasi darimana, tapi di acara sangjit ini biasanya pihak cowok memberikan “angpau” pada ibu dari cewek, katanya uang susu, ASI kali maksudnya. Pihak cewek mengembalikan dengan sepasang “angpau” pada pihak cowok tapi maksudnya apa ya saya ngga inget tuh.
Oh ya, sampai hari ini saya dan kerabat ada memperdebatkan, yang bawa baki harusnya gadis yang belum menikah atau justeru yang sudah menikah, belum ada kesepakatan, kalau ada yang tahu tolong jelaskan sama saya berikut latar belakang dan alasannya, trims.
ACARA KIRIM KOPER DAN PASANG SPREI
Istilahnya enggak tahu. Pokoknya pada hari yang bersangkutan ini pihak cewek mengirim wakil, biasanya perempuan yang sudah menikah, mapan dan punya anak laki laki untuk mendadani kamar pengantin. Otomatis pihak cowok sudah menyediakan si kamar pengantin berikut tanjangnya donk. Wakil dari pihak perempuan yang pasang spreinya, maksudnya biar anak cewek itu ketularan cepat punya anak laki laki gitu, seperti yang kita tahu anak laki laki buat keluarga tionghua khan penting untuk melanjutkan marga. Plus pihak cewek mengirimkan koper, tanda bahwa si anak gadis sudah “masuk” ke rumah itu atau ke keluarga cowok.
Acara koper koper lucu juga nih. Mula mula kopernya dialasi uang, uangnya makin gede makin bagus, supaya si anak gadis ini masuk ke keluarga cowok dengan bermodal gitu supaya jangan dipandang rendah oleh keluarga mertuanya kelak. Si uang ini bisa ditebarkan gitu aja, bisa juga disusun susun berbentuk kipas, jumlahnya harus genap dan komplit mulai dari pecahan terbesar (di indo seratus ribuan) sampai pecahan terkecil (limaratus rupiah apa seribu rupiah gitu). Terus di dalam koper ditebarkan “angco” atau red dates sama biji teratai. katanya si biji teratai itu bunyinya serupa sama tahun( lian = nian), biji serupa sama anak (ci =tze), dan red dates itu bunyinya serupa sama apa ya, pokoknya sebangsa buru buru atau cepet cepet atau pagi pagi gitu. Maksudnya biar cepetan punya anak gitu.
Isi koper biasanya baju baru, berapa banyak terserah, makin banyak makin mentereng. Tapi bawa kopernya harus 2 biji, sepasang, gedenya sih terserah.terus dalemnya komplit mulai baju dalem, sikat gigi, sabun, minyak wangi, alat make up, perhiasan, pokoknya segala keperluan cewek musti kumplit disitu supaya si cewek pindah nanti nggak usah minta apa yang enggak ada sama mertuanya. Terus isi koper ini sama perwakilan keluarga cewek dibongkar disaksikan sama kerabat pihak cowok, dipindah ke dalam lemari. Katanya makin komplit isi kopernya makin “dipandang” lah si menantu di keluarga suaminya. Di acara pasang sprei dan kirim koper ini si calon pengantin ngga boleh ikut. Pokoknya isi kamar pengantin bakalan jadi surprise.
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/5448
————————————————
Addition by Lim Wiss
(as an answer to member’s question)
Saya tdk tahu ttg adat istiadat Tio Ciu ttp saya bisa bantu dlm pemberian info San Jit secara Khek
Acara Sanjit & bawa koper boleh hari bersamaan, asal tdk lebih dari jam 4 sore. Biasanya bisa tanya hari baik pada klenteng or vihara.
Barang untuk San Jit lebih baik didiskusikan oleh 2 belah pihak krn permintaan msg2 berbeda.
Secara keseluruhan hrs siapkan : (Pihak Pria)
1. Mie buat lambang panjang umur
2. Kue satu buat lambang kebahagiaan
3. Arak Merah buat lambang kebahagiaan = 2 botol
4. Apel buat lambang keselamatan
5. Jeruk buat lambang keberhasilan
6. Buah kelengkeng (boleh kalengan) buat lambang selamanya bersatu
7. Zhu Kiong ( kalengan daging babi) buat lambang hoki
8. Kain merah sepanjang 2,5 meter
9. Uang susu
10. Uang lamaran
11. Permen manis
Pihak wanita :
Item 1, 2, 4 - 7, 11 hrs dibagi dua dan dikembalikan
Item 3 dikembalikan berupa sirup merah
Item 8 diambil, dipasang pagi hari pada hari resepsi pernikahan
Item 9 wajib diambil
Item 10 diambil lembar pertama & lembar akhir sbg tanda ada awal & ada akhir
Jumlah item di atas harus ditanyakan ke pihak wanita. Ada yg suka angka 8 = hoki, or 9 = selamanya bersama or 10 = angka hidup
Terpenting semua makanan hrs manis sbg tanda kebahagiaan.
Org yg bawa barang San Jit hrs tanya pihak wanita. Ada yg mau pasangan married yg bahagia hingga anaknya besar.
Acara San Jit sekitar jam 8 - 10 siang, tdk baik lebih dari jam 10 siang
Pihak wanita hrs menjamu pihak pria, boleh di restaurant boleh di rumah.
Stl acara Sanjit ada acara bawa koper dari rumah pihak wanita ke rumah yg akan ditempati.

Acara bawa koper :
Satu Koper diisi pakaian yg baru sbg lambang awal permulaan lembaran baru
Satu koper diisi kosmetik baru
Satu koper isi bed cover & satu set sprei
Dua koper di atasnya ditaruh hiasan berupa kipas yg dibuat dari uang, boleh ribuan, puluhan, ratusan. Terpenting hrs genap sbg lambang angka hidup.
Samping koper ditaruh dgn 2 apel & 2 jeruk sbg lambang keselamatan & keberhasilan.
Kamar pengantin dihias dgn tulisan Shi = bahagia
Di atas kasur ditaruh sepasang boneka angsa
Sprei dipasang oleh sepasang keluarga yg harmonis & sukses sbg lambang kebahagian berumah tangga
Pihak Pria menjamu pihak wanita boleh di rumah boleh di restorant.
-Lim Wiss-
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/5559



Dikutip dari: http://iccsg.wordpress.com/2006/02/06/dewa-mitos-legenda-legenda-sin-cia-xinnianchun-jie/
Legenda Sin Cia (Xinnian/Chun Jie)
Posted on Saturday, January 28 @ 23:09:23 PST by xtnv
Konon di zaman dahulu kalah hidup seekor monster bernama nian (年) (*1) monster tersebut bertanduk tunggal, bermata besar dan berkuku tajam. Monster tersebut bertempat tinggal di dalam lautan, sepanjang tahun dia habiskan waktunya untuk tidur (seperti tidur musim dingin pada beruang). Namun setiap musim semi dia akan bangun dari tidurnya untuk mencari makanan. Makanan kesukaan monster nian tersebut adalah manusia. Bukan hanya memburuh manusia, monster tersebut juga memporak-porandakan ladang penduduk dan merusak panen.
Karena adanya monster tersebut yang memburu manusia setiap musim semi, maka penduduk selalu mengungsi ke dataran tinggi pada awal musim semi. Para penduduk selalu menyiapkan bekal makanan (*2) selama di pengungsian mereka, dan karena tidak ada yang tau bagaimana nasib besok mereka dituntut untuk menyelesaikan hutang piutang sebelum mengungsi (*3). Demikian juga para anak akan melakukan ronda selama orang tua mereka tidur (*4). Tidak lupa mereka diwajibkan untuk berkumpul (*5) bersama-sama dalam keluarga supaya bisa saling menjaga.
Keadaan tersebut berlangsung cukup lama, hingga suatu musim semi. Seorang pengemis (*6) melewati desa tersebut untuk meminta makanan, ia mendapatkan desa dalam keadaan kosong. Ia berjalan menelusuri desa tersebut untuk mencari orang yang bisa diminta sekaligus mencari tahu menyebab hilangnya penduduk desa tersebut. Akhirnya dia menemukan seorang nenek dan menanyakan penyebab lenyapnya warga desa. Sang nenek lalu menjelaskan soal monster nian dan pengungsian penduduk.
Sang nenek yang baik hati lalu memberikan makanan kepada si pengemis. Pengemis itu lalu bertanya, kenapa nenek tidak ikut mengungsi ?. Anak dan cucu saya telah menjadi korban tahun lalu, saya sudah tua sulit ikut mengungsi, jika monster nian datang saya akan melawan sebisa saya. Si pengemis menjadi iba pada sang nenek, lalu mengatakan pada sang nenek bahwa sesungguhnya mahluk tersebut takut pada tiga hal yaitu: Mahluk yang lebih besar dan seram daripada dia (*7), suara keras dan bising (*8) dan warna merah (*9). Lalu si pengemis meminta sang nenek menyediakan kain besar untuk membuat binatang-binatangan dan mencat depan rumah menjadi merah serta berpakain merah, lalu dia mengumpulkan batang-batang bambu supaya menimbulkan suara ledakan saat dibakar.
Setelah ditunggu-tunggu, akhirnya monster nian muncul si pengemis bergegas memakai kain yang telah dibuat menyerupai binatang monster serta minta sang nenek membakar batang bambu yang sudah disediakan serta memukul benda apa saja yang bisa menimbulkan suara bising. Mendapatkan sambutan demikian monster nian sangat kaget lalu terbang menuju khayangan dan tidak pernah kembali lagi.
Atas peristiwa kemenagan ini, penduduk desa merayakannya setiap tahun sebagai hari raya besar serta perayaan panen.Perayaan diadakan dengan cara meniru apa yang telah dilakukan oleh si pengemis dan sang nenek, juga sebagai tindakan pencegahan akan kembalinya monster nian. Para penduduk mendatangi rumah-rumah kerabat untuk mengucapkan selamat atas terbebasnya mereka dari ancaman monster nian. Sebagai balasan, setiap keluarga menyediakan minuman, kue-kuean untuk tamu mereka, mereka juga menyediakan permen bagi anak-anak dan kertas merah (*10) bagi mereka. Demikianlah perayaan tersebut turun temurun hingga kini.
===================================================
*1 : kata “nian” kemudian menjadi penanda waktu satu tahun
*2 : sebagai tradisi, orang selalu memenuhi gentong beras dan air juga penyediaan makanan lainnya.
*3 : tradisi membayar utang sebelum sin cia (tradisi ini sudah memudar sesuai jaman)
*4 : shou yue (守夜), begadang. biasanya main mahjong atau ngobrol sampai pagi
*5 : tuan yuan (团圆), tradisi kumpul atau tradisi mudik bagi yang merantau
*6 : konon diyakinin sebagai jelmaan dewa
*7 : Asal usul barongsai/tarian singa (舞狮) dan kemudian disusul tarian naga (舞龙)
*8 : Genderang dan petasan
*9 : Warna favorite pada hari sin cia, juga tempelan tulisan sanjak berpasangan dipintu (对联)
*10: Sekarang umum disebut angpao (红包)
Selain tradisi diatas masih ada banyak tradisi simbolik antara lain:
- Makan Ikan : Yu (ikan) yang berbunyi sama dengan Yu (Saldo), melambangkan saldo melimpah
- Makan daun bawang : Shuan (bawang putih) sama bunyinya dengan shuan (hitung/menghitung), melambangkan ada uang yang dihitung setiap tahun
- Kue China/Kue Keranjang : Nian Gao, gao (kue) mempunyai bunyi yang sama dengan gao (tinggi), melambangkan peningkatan kualitas hidup setiap tahun
- Segala manisan: melambangkan kehidupan yang manis
- Jeruk/Jeruk besar: Ju (jeruk mandarin) mempunyai bunyi yang sama dengan ju (segala yang positif/baik, antara lain: sehat, aman, tenteram) dan tradisi-tradisi simbolik lainnya yang sangat banyak sesuai daerah dan suku masing-masing.



Dikutip dari: http://blog.dipanegara.ac.id/abtayyeb/23/Budaya+Dagang+Etnis+Tionghoa.html
Budaya Dagang Etnis Tionghoa
Diposting pada : 2008-Dec-18 Jam 01:47 kategori Umum
Benarkah keberhasilan sebagian besar para pengusaha etnis cina lantaran dekat penguasa?
Bisa benar dan bisa juga salah, karena ada juga yang berjuang tanpa dekat dengan kekuasaan bahkan sangat prihatin sekali।
Ada yang mengatakan karena etos kerjanya yang luar biasa bahkan sejak kecil warga keturunan selalu diajarkan untuk tahu diri, sebab mereka merasa sebagai kaum minoritas।
Begitu juga dalam bertindak tidak boleh terlalu menonjol atau berlebihan dan gampang minta bantuan pada orang lain, sebab kalau minta bantuan biasanya orang yang mau bantu jadi sungkan.
Beda kalau bantuan itu diberikan karena kemauan yang membantu, biasanya lebih tulus.
Dalam kehidupan sehari-hari kalau memiliki penghasilan Rp10, hanya Rp 2 yang kami gunakan selebihnya kami tabung.
Ini sudah disosialisasikan sejak kecil dilingkungan keluarga.
Sedang dalam kerja, orang tionghoa selalu diajarkan agar tidak tergantung pada orang lain.
Kami harus mampu menguasai jenis pekerjaan dari yang paling mudah samaai yang sulit. Bahkan beranggapan kalau pekerjaan itu tidak permanen seperti layaknya roda berputar, suatu saat diatas, lain waktu dibawah. Maka modal yang paling penting bagi etnis tionghoa adalah sikap dapat dipercaya.
Berapapun uang yang diberikan kalau tidak bisa dipercaya ya tidak akan berhasil. Begitu juga kalau memiliki usaha sendiri.
Bisnis bagian dari budaya Prinsip orang Tionghoa, ”Apa yang kami lakukan hari ini, bukan untuk hari ini saja, tapi untuk kedepan”
Jadi kedepan untuk apa ? Sehingga perlu modal, modal bukan hanya uang saja, tapi bisa juga keterampilan, semangat dan kepercayaan sehingga harus pandai bergaul serta berkomunikasi.
Nah, perdagangan adalah lahan satu-satunya yang paling memungkinkan untuk saling berkomunikasi dan bergaul, saling kenal dan membangun relasi. Begitu juga menjadi pedagang bukan karena faktor keturunan. Ini lebih berkaitan dengan pendidikan awal di lingkungan keluarga sebagai akar budaya khas, dengan alasan keluarga tionghoa tidak semudah suku lain sehingga mereka bekerja keras.
Lalu kenapa banyak orang Tionghoa jarang menekuni profesi lain? Sebagai kaum minoritas, mereka menyadari akan keterbatasan peluang bagi mereka.
Namun setelah reformasi politik sejak mulai priode Gusdur sedikit banyak perubahan paradigma perubahan profesi, banyak orang Tionghoa yang terjun ke dunia politik. Banyak dari keturunan Tionghoa yang terjun ke politik, kita kenal Kwiek Kian Gie, Alvin Lie, dll. Mungkin yang belum terdengar kalau mereka menjadi ABRI atau birokrat, mereka beranggapan masih sulit. Keterbatasan dan diskriminasi inilah yang menyebabkan mereka harus memaksakan diri memilih wiraswasta atau perdagangan. Dan disektor inilah mereka leluasa mengatur hidup. Itulah sebabnya ilmu berdagang ditanamkan dilingkungan keluarga sejak kecil yang akhirnya menjadi bagian dari budaya.



Dikutip dari: http://www.ladangtuhan.com/komunitas/index.php?topic=184.0;wap2

MASALAH CINA DI INDONESIA
SARA merupakan isu yang makin hari makin potensial menimbulkan konflik. Ketidakpuasan satu Suku atas dominasi suku lainnya yang pendatang atau/dan yang lebih kuat daya saingnya, Agama yang sekalipun diakui hak hidupnya di bumi Indonesia ini tetapi juga sudah menghasilkan benturan-benturan yang parah khususnya yang menimpa agama Kristen, masalah Ras yang belakangan ini makin terbuka konfliknya terutama menimpa Ras Cina, dan perselisihan Antar Golongan yang tidak kunjung habis, benar-benar telah menggerogoti kemerdekaan dan hasil-hasil pembangunan bangsa Indonesia.
Ras Cina/Tionghoa adalah ras yang paling banyak dianggap menimbulkan masalah di Indonesia. Sudah lama kebencian atas ras ini menghasilkan konflik berat bahkan berdarah di banyak kota di Indonesia, bahkan eskalasinya kian tahun kian meningkat dan mencapai puncaknya pada bulan Mei 1998 dimana di Medan, Palembang, Solo, Surabaya, dan terutama Jakarta, ribuan obyek ekonomi ras ini dijarah, dihancurkan, dan dibakar massa.
Ribuan mobil dan motor yang dimiliki dan dikendarai ras ini ikut dibakar, dan ini memuncak dengan terjadinya perkosaan dan pembunuhan terhadap wanita ras ini yang menurut tim relawan mencapai angka 168 kasus dimana 152 terjadi di Jakarta, dan menurut laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta mencapai sepertiga angka itu, sedang sisanya terjadi di Palembang, Solo dan Surabaya.
Mengapa sampai masalah Ras Cina menjadi malapetaka dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air di Indonesia? Soal ini tetap aktual untuk dibahas mengingat bahwa sejak era reformasi tahun 1999 premordialisme ras ini mencuat kembali yang tentu akan berdampak bagi kerukunan-antar-umat-yang berbeda suku/ras di Indonesia.

SUMBER MASALAH
Ada beberapa sumber masalah yang melatarbelakangi timbulnya rasialisme yang menimpa ras Cina. Bukan saja karena ras ini merupakan pendatang dari luar bumi Indonesia, tetapi ras ini mempunyai tradisi budaya yang kuat dan sangat berbeda sekali dengan tradisi pribumi yang ternyata tidak mudah untuk bersesuaian, juga perlakuan kolonialisme Belanda yang mengistimewakan ras ini sehingga secara tidak sadar ras ini telah menjadi bumper/perisai yang berfungsi sebagai peredam konflik antara penjajah Belanda dan pribumi khususnya menyangkut masalah ekonomi.
Cacat sejarah itu tidak berhenti sesudah Indonesia merdeka, soalnya dalam alam Orde Lama ras ini yang sudah memegang kendali ekonomi sebagai warisan kolonialisme Belanda tetap memegang supremasinya dan bahkan dibawah kepemimpinan orde baru hegemoni ekonomi itu bahkan menimbulkan praktek KKN dengan penguasa.
Masalah lain yang lebih memperparah lagi adalah adanya mayoritas ras Cina yang berbeda agama dengan agama yang dianut mayoritas penduduk pribumi Indonesia. Sebagian besar ras Cina menganut agama leluhur yaitu Buddha, Taoisme, Konghucu atau gabungan ketiganya (Tridharma), sebagian lain menganut agama Kristen, dan hanya sebagian kecil saja yang menganut agama Islam. Masalah lain yang ikut menajamkan perbedaan adalah bahwa supremasi ekonomi itu menghasilkan penguasaan ekonomi Indonesia yang dikatakan sekitar 60-70%nya dikuasai para pedagang dan konglomerat Cina..

Tradisi Budaya Leluhur
Masalah Cina tidak mudah untuk diselesaikan, soalnya salah satu ganjalan yang sukar dipertemukan adalah perbedaan tradisi budaya antara ras cina dan umumnya pribumi dinegara-negara yang dirantau termasuk Indonesia, dan sekalipun kehadiran ras Cina di Indonesia dalam jumlah besar sudah lebih dari 6 abad lamanya, kelihatannya istilah 'sekali cina tetap cina' tidak kunjung hilang dan mengganjal usaha menuju pembauran, itulah sebabnya kerusuhan-kerusuhan rasial yang selama ini terjadi makin meningkat eskalasinya dan memuncak dalam huru-hara di Jakarta pada bulan Mei 1998.
Sejarah tradisi Cina cukup tua sekali bahkan karena ketuaan dan kebesaran tradisi budaya itu timbullah anggapan dikalangan yang lebih senang menyebut diri mereka 'Tionghoa' dengan menyebut negaranya sebagai 'Chung-Kuo' (Tiong-kok) bahwa negara Cina merupakan pusat dan pusar budaya dunia dan disebut sebagai negara tengah (middle kingdom) dan negara-negara lain di luar Cina dianggap sebagai negara-negara pinggiran dengan budaya inferior atau barbar. Asumsi ini menempatkan orang Tionghoa dengan tradisi budayanya yang lestari dan teratur sebagai bangsa yang paling unggul, beradab dan berbudaya dengan sopan santunnya yang tinggi sedang bangsa-bangsa lain dianggap tidak beradab, liar dan inferior.
"Keadaan "liar dan inferior" dari bangsa-bangsa di daerah pinggir-pinggir ini akan berubah menjadi beradab kalau telah menganut ajaran Confucius. Bagi negara-negara di daerah pinggir yang telah menganut ajaran Confucius itu, hubungannya dengan negara pusat seperti saudara yang lebih tua terhadap saudara yang lebih muda. Orang Cina sebagai saudara yang tertua dan bangsa lain di luar daerah pusat dianggap lebih muda." (Hidayat Z.M., Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia, hlm.34)
Masyarakat Cina/Tionghoa mewarisi tradisi kuat pada empat sumber, yaitu penyembahan alam dan roh-roh halus/nenek moyang (spiritisme, animisme & pantheisme), dan agama-agama Taoisme, Confucianisme, dan Buddhisme. Penyembahan alam dan roh-roh halus/nenek moyang adalah kepercayaan tradisi yang tertua setidaknya pada 3000 tahun silam sudah ada buku I-Ching yang merumuskan kepercayaan itu. Pada prinsipnya kepercayaan premordial ini membawa manusia kepada usaha untuk mencapai kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan hidup yang dicapai dengan hidup secara harmonis dengan alam dan penyembahan roh-roh halus & nenek moyang. Dari pandangan ini maka rejeki, peruntungan (hokkie) dan kemakmuran menjadi tujuan hidup utama orang Cina. Semua praktek tradisi Cina/Tionghoa ditujukan untuk mengejar hokkie itu. Baik Ciamsi (undian nasib), Gwamia (ramalan), Shio (horoskop), dan Hongsui (tata letak ruangan & bangunan), semuanya ditujukan untuk mencari peruntungan/hokkie/kemakmuran untuk diri sendiri.
Penyembahan roh-roh dan dewa-dewi berkembang. Semula dewa-dewi merupakan simbolisasi karakter tertentu seperti dewa dapur, dewa tanah dll, tetapi kemudian selain roh nenek moyang yang disembah, tokoh-tokoh masyarakat yang dihormati seperti raja, menteri dan lainnya itu bila telah meninggal dijadikan dewa-dewi pula yang mendiami langit. Dari deretan dewa-dewi itu, yang tertua atau paling senior kemudian diangkat sebagai Thien (dewa/tuhan penguasa langit).
Banyak dewa-dewi yang mendatangkan keberuntungan disembah untuk melestarikan hokkie, dan bukan itu saja, sering usaha mencari hokkie dilakukan dengan segala cara termasuk menyogok untuk menyenangkan dewa-dewi itu. Sebagai contoh, Sin Chia (tahun baru Imlek) sebagai pusat upacara dalam tradisi Cina/Tionghoa dimulai dengan perayaan seminggu sebelumnya untuk mengantar Dewa Dapur (Ciao Kun Kong) yang akan melaporkan tingkah laku pemilik rumah kepada Thian (tuhan penguasa langit). Agar Thian tidak mendengar yang tidak baik maka dipasangi mercon/petasan, dan agar yang disampaikan hanya yang baik, maka dibakarlah hio yang berbau harum dan buah-buahan manis, juga mulut patung dewa dapur diolesi madu agar yang manis-manis saja yang dilaporkan, dengan demikian rejeki dan khususnya isi dapur rumah tangga penuh rejeki.
Lebih lagi, untuk menghindari agar dewa dapur tidak sempat melaporkan yang tidak baik, biasanya dibuatkan makanan pelekat gigi yaitu berupa manisan sebesar jeruk yang gepeng dan kue keranjang, maksudnya kalau dewa dapur memakan makanan itu gigi-giginya saling merekat dan tidak sempat membuka mulut dan berkata-kata membuka rahasia dapur. Praktek semacam bisa dilihat dalam upacara sembayang di kuburan dimana hio dan buah-buahan manis disajikan bahkan sering dibuat rumah-rumahan, mobil-mobilan bahkan uang-uangan yang dibakar untuk menyenangkan roh nenek moyang agar arwahnya senang dan tidak menganggu keberuntungan yang masih hidup.
Praktek memberikan angpao (uang yang dibungkus kertas merah) merupakan praktek umum pada waktu Sin Chia agar yang diberi bersikap manis dan baik. Praktek pemberian/sesajen yang tidak beda dengan sogok menyogok itu dapat ditemui dalam umumnya upacara tradisi Cina/Tionghoa dan memang didasarkan pada kepercayaan keseimbangan alam Yin-Yang dimana dihindari adanya konflik dengan cara mencari 'jalan tengah'. Itulah sebabnya sifat kompromi yang saling menguntungkan mendarah daging dalam budaya Cina. Dari tradisi budaya kuno yang tertanam itu kita dapat melihat mengapa masyarakat Cina cenderung menghalalkan sogok-menyogok untuk melancarkan bisnis, dan praktek Quanxi (koneksi/kolusi) memang merupakan kebiasaan tradisional yang dianggap wajar.
Kenyataan adanya tradisi budaya seperti di atas, dapat dilihat dari kebiasaan banyak orang kaya Cina yang membangun rumah dengan mewah dan mahal, mobil yang dipakai cenderung yang mahal dan bila mengadakan pernikahan di restoran yang elit dan mewah. Bukan hanya itu, bahkan yang sudah matipun disembayangi dengan sesajen yang mahal dan kuburan Cina termasuk kawasan kuburan dibangun secara elit dan mewah pula.

Agama Tridharma
Sekitar tahun 500SM dua tokoh panutan hidup di Cina adalah Lao Tzu yang menurunkan Taoisme dan Kong Hu Cu yang mendirikan Confucianism. Lao Tzu mengajarkan jalan filsafat tentang Tao tetapi kemudian para pengikutnya mencampuradukkan ajaran itu dengan mistik dan magis sehingga memperkuat praktek tradisi lama. Kong Hu Cu memang mengajarkan hubungan antar manusia (Li) dan kurang tertarik hal-hal yang bersifat supra natural, itulah sebabnya ajaran ini kemudian memupuk sikap orang Cina untuk mencintai keluarga dan dunia ini.
Tetapi, ajaran Konghucu itu kemudian bercampur dengan pantheisme/spiritisme tradisional menghasilkan budaya kekeluargaan yang kuat dimana keluarga menjadi basis pelestarian tradisi dan budaya, dan bahkan penghormatan yang berlebihan bukan saja ditujukan kepada yang lebih tua yang masih hidup tetapi juga kepada leluhur/nenek moyang yang sudah meninggal. Penyembahan leluhur dengan meja sembahyang dan sesajen memupuk kuat kekeluargaan Cina, sehingga orang Cina cenderung menjadi eksklusip dalam ikatan klan/keluarga masing-masing. Ini menimbulkan pandangan bahwa 'orang Cina tetap Cina' secara turun temurun dan sukar berbaur dengan ras lain (orang Cina Indonesia yang telah berganti nama sering ditanya orang Cina lainnya: 'She(keluarga)nya apa?').
Eksklusifisme itu secara umum memang membuat orang Cina mengisolir dirinya dari ras lain, secara khusus eksklusifisme itu juga terjadi didalam. Soalnya dalam sejarah tradisi budaya Cina satu Klan (keluarga besar) she (dinasti) tertentu bisa saja menganggap klan lain lebih rendah, bahkan keluarga sendiri bisa menganggap keluarga lain lebih rendah. Dalam cerita silat yang sering digelar di TV dapat dilihat bahwa satu keluarga sering bermusuhan dengan keluarga lain, bahkan demi sogokan musuh, satu saudara tidak segan-segan menghianati saudara atau ayahnya sendiri.
Buddhisme yang masuk ke Cina sekitar tahun 500M memang tidak bertentangan dengan ajaran baik Taoisme maupun Confucianisme, itulah sebabnya orang Cina mudah menerimanya dan cenderung menganut dan mencampur adukkan ketiga kepercayaan itu menjadi satu (Samkauw/Tridharma). Agama adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi budaya masyarakat Cina. Dari latar belakang tradisi dan agama itu kita dapat melihat mengapa orang-orang Cina mewarisi tradisi budaya kekeluargaan yang kuat, disamping sifat-sifat jalan tengah yang dipraktekkan.
Bagi orang Cina, sikap hidup kekeluargaan yang kuat dan juga tradisi budaya yang mendarah daging dalam mengejar keberuntungan dan kemakmuran menjadi modal untuk bisa bertahan hidup dimana mereka merantau termasuk ke Indonesia, baik dalam hubungan ke dalam (kekeluargaan) maupun ke luar (sikap jalan tengah) sehingga mereka cepat maju dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Dominasi ras Cina dalam hal ekonomi dan sifat eksklusivismenya kemudian berbenturan dengan pribumi setempat, lebih-lebih dengan bangkitnya rasa nasionalisme negara-negara pada awal abad ke-20.
Keunggulan orang Cina dalam bidang ekonomi karena didukung kekeluargaan yang tinggi ditambah dengan sikap tradisi leluhur yang menganggap negeri Cina sebagai pusat dunia, jelas menumbuhkan sikap orang-orang Cina tradisional yang merasa superior baik dalam bidang ekonomi, agama, budaya dan penguasaan ilmu pengetahuan daripada penduduk pribumi di tempat-tempat dimana mereka merantau. Lebih lagi karena superioritas ini diwarnai dengan tradisi budaya yang menekankan kemakmuran, menjadikan ras Cina sangat eksklusif hidupnya secara sosial ekonomi dengan masyarakat penduduk asli dimana mereka merantau.
Memang tidak semua orang Cina berperilaku secara tradisi budaya leluhur, apalagi yang telah beragama lain seperti Kristen, Islam atau melebur dengan budaya lokal dimana mereka merantau, tetapi eksklusivisme golongan Cina kaya yang sedikit tetapi dominan itu telah memberikan citra negatip secara umum pada seluruh ras Cina. Sikap-sikap demikianlah yang kemudian menjadi bom waktu timbulnya rasialisme yang menimpa ras Cina dimana-mana, khususnya di Malaysia dan Indonesia dimana mayoritas penduduk pribuminya mempunyai tradisi budaya dan agama yang berbeda yaitu Islam.



Dikutip dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Barongsai
Barongsai
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Barongsai adalah tarian tradisional Cina dengan mengunakan sarung yang menyerupai singa[1]. Barongsai memiliki sejarah ribuan tahun. Catatan pertama tentang tarian ini bisa ditelusuri pada masa Dinasti Chin sekitar abad ke tiga sebelum masehi[2].
Sejarah
Kesenian Barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi. Kala itu pasukan dari raja Song Wen Di kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan itu. Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian barongsai melegenda.
Tarian dan gerakan
Tarian Singa terdiri dari dua jenis utama yakni Singa Utara yang memiliki surai ikal dan berkaki empat. Penampilan Singa Utara kelihatan lebih natural dan mirip singa ketimbang Singa Selatan yang memiliki sisik serta jumlah kaki yang bervariasi antara dua atau empat. Kepala Singa Selatan dilengkapi dengan tanduk sehingga kadangkala mirip dengan binatang ‘Kilin’.
Gerakan antara Singa Utara dan Singa Selatan juga berbeda. Bila Singa Selatan terkenal dengan gerakan kepalanya yang keras dan melonjak-lonjak seiring dengan tabuhan gong dan tambur, gerakan Singa Utara cenderung lebih lincah dan penuh dinamika karena memiliki empat kaki.
Satu gerakan utama dari tarian Barongsai adalah gerakan singa memakan amplop berisi uang yang disebut dengan istilah ‘Lay See’. Di atas amplop tersebut biasanya ditempeli dengan sayuran selada air yang melambangkan hadiah bagi sang Singa. Proses memakan ‘Lay See’ ini berlangsung sekitar separuh bagian dari seluruh tarian Singa[2].
Barongsai di Indonesia
Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi besar dari Cina Selatan[3].
Barongsai di Indonesia mengalami masa maraknya ketika jaman masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan di berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan memiliki sebuah perkumpulan barongsai. Perkembangan barongsai kemudian berhenti pada tahun 1965 setelah meletusnya Gerakan 30 S/PKI. Karena situasi politik pada waktu itu, segala macam bentuk kebudayaan Tionghoa di Indonesia dibungkam. Barongsai dimusnahkan dan tidak boleh dimainkan lagi. Perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia setelah tahun 1998 membangkitkan kembali kesenian barongsai dan kebudayaan Tionghoa lainnya. Banyak perkumpulan barongsai kembali bermunculan. Berbeda dengan zaman dahulu, sekarang tak hanya kaum muda Tionghoa yang memainkan barongsai, tetapi banyak pula kaum muda pribumi Indonesia yang ikut serta. Pada zaman pemerintahan Soeharto, barongsai sempat tidak diijinkan untuk dimainkan. Satu-satunya tempat di Indonesia yang bisa menampilkan barongsai secara besar-besaran adalah di kota Semarang, tepatnya di panggung besar kelenteng Sam Poo Kong atau dikenal juga dengan Kelenteng Gedong Batu. Setiap tahun, pada tanggal 29-30 bulan enam menurut penanggalan Tiong Hoa (Imlik), barongsai dari keenam perguruan di Semarang, dipentaskan. Keenam perguruan tersebut adalah:
1. Sam Poo Tong, dengan seragam putih-jingga-hitam (kaos-sabuk-celana), sebagai tuan rumah
2. Hoo Hap Hwee dengan seragam putih-hitam
3. Djien Gie Tong (Budi Luhur) dengan seragam kuning-merah-hitam
4. Djien Ho Tong (Dharma Hangga Taruna) dengan seragam putih-hijau
5. Hauw Gie Hwee dengan seragam hijau-kuning-hijau kemudian digantikan Dharma Asih dengan seragam merah-kuning=merah
6. Porsigab (Persatuan Olah Raga Silat Gabungan) dengan seragam biru-kuning-biru
Walaupun yang bermain barongsai atas nama ke-enam kelompok tersebut, tetapi bukan berarti hanya oleh orang-orang Semarang. Karena ke-enam perguruan tersebut mempunyai anak-anak cabang yang tersebar di Pulau Jawa bahkan sampai ke Lampung. Di kelenteng Gedong Batu, biasanya barongsai (atau di Semarang disebut juga dengan istilah Sam Sie) dimainkan bersama dengan Liong (naga) dan Say (kepalanya terbentuk dari perisai bulat, dan dihias menyerupai barongsai berikut ekornya).
Saat ini barongsai di Indonesia sudah dapat dimainkan secara luas, bahkan telah meraih juara pada kejuaraan2 dunia. Dimulai dengan Barongsai Himpunan Bersatu Teguh (HBT) dari Padang yang meraih juara 5 pada kejuaraan dunia di genting - malaysia pada tahun 2000. Hingga kini barongsai Indonesia sudah banyak mengikuti berbagai kejuaraan-kejuaraan dunia dan meraih banyak prestasi. Sebut saja beberapa nama seperti Kong Ha Hong (KHH) - Jakarta, Dragon Phoenix (DP) - Jakarta, Satya Dharma - Kudus, dan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) - Tarakan. Bahkan nama terakhir, yaitu PSMTI telah meraih juara 1 pada suatu pertandingan dunia yang diadakan di Surabaya pada tahun 2006. Perguruan barongsai lainnya adalah Tri Pusaka Solo yang pada pertengahan Agustus 2007 lalu memperoleh Juara I President Cup.



Dikutip dari: http://www.kapanlagi.com/a/0000004016.html
'Barongsai' dan 'Liong', Kesenian Yang Kian Mengakar
Sabtu, 17 Februari 2007 15:30
KapanLagi.com - Kesenian Barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi. Kala itu pasukan dari raja Song Wen Di kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi.
Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan itu. Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian barongsai melegenda. Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi besar dari Cina Selatan.
Di Tiongkok kesenian barongsai dikenal dengan nama lungwu, namun khusus untuk menyebut tarian singa. Tarian naga disebut shiwu dalam bahasa Mandarin. Sebutan barongsai bukan berasal dari Cina. Kemungkinan kata barong diambil dari bahasa Melayu yang mirip dengan konsep kesenian barong Jawa, sedangkan kata sai bermakna singa dalam dialek Hokkian.
Mengenai naga (liong), bagi etnis Cina, adalah binatang lambang kesuburan atau pembawa berkah. Binatang mitologi ini selalu digambarkan memiliki kepala singa, bertaring serigala dan bertanduk menjangan. Tubuhnya panjang seperti ular dengan sisik ikan, tetapi memiliki cakar mirip elang.
Sedangkan singa dalam masyarakat Cina merupakan simbol penolak bala. Maka tarian barongsai dianggap mendatangkan kebaikan, kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan.
Tarian barongsai dilengkapi replika naga (liong), singa dan qilin (binatang bertanduk). Tetapi tidak semua perkumpulan memainkannya. Kebanyakan hanya topeng singa saja. Alasannya tarian singa dianggap lebih mudah dan praktis dibawakan karena lokasi yang digunakan tidak perlu luas. Atraksi topeng singa hanya membutuhkan dua orang pemain.
Seni bela diri menjadi kunci permainan ini sehingga banyak pemainnya berasal dari perguruan kungfu atau wushu. Gerakannya berciri akrobatik seperti salto, meloncat atau berguling. Tarian barongsai biasanya diiringi musik tambur, gong, dan cymbal.
Untuk menampilkan Liong perlu tatakrama tersendiri. Liong muncul saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Biasanya perlu ritual khusus untuk ini. Didahului dengan upacara pensucian dilanjutkan upacara cuci mata di klenteng. Sebelum pelaksanaan digelar, beberapa orang sudah melakukan latihan fisik untuk mengangkat Liong yang panjangnya bisa mencapai ratusan meter.
Demikian pula agar atraksi Barongsai menarik, perlu latihan khusus agar angpau yang diperebutkan tak jatuh kepada pihak lawan.
Di Indonesia, kesenian ini sempat mengalami masa keemasan ketika jaman masih ada perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap ada perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan di berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan memiliki sebuah perkumpulan barongsai. (ant/cax)



Dikutip dari: http://www.kapanlagi.com/a/0000004796.html

Tahun Baru Imlek Dengan Mitos dan Ritual di Dalamnya
Rabu, 06 Februari 2008 17:58
KapanLagi.com - Tahun Baru Imlek 2559 tahun ini tiba di tanggal 7 Februari 2008. Hari raya ini merupakan hari pertama dalam bulan pertama dari sistem kalender yang dipakai oleh orang Tionghoa. Imlek merupakan sistem kalender lunisolar yaitu gabungan dari sistem kalender bulan dan kalender matahari. Tahun Baru Imlek dikenal juga sebagai Tahun Baru China dan Festival Musim Semi (Chun jie). Perayaan tahun baru ini tentunya tidak bisa lepas dari segala mitos dan ritual yang melekat kuat di dalamnya.
Asal Muasal peringatan Tahun Baru Imlek ini pun mempunyai kisah tersendiri. Konon pada dahulu kala pada tepat setiap musim semi tiba di akhir musim dingin masyarakat sering diganggu binatang buas yang bernama Nian. Binatang buas ini datang dari dasar lautan untuk memakan manusia. Masyarakat mengetahui bahwa Nian ini takut akan bunyi yang keras. Karena itu untuk mencegahnya datang, mereka memukul beduk, gong dan membakar bambu yang akan menimbulkan suara ledakan (terakhir ini telah diganti dengan petasan, setelah diketemukannya mesiu pada dinasti Sung). Mulai saat itu setiap akhir musim dingin, masyarakat merayakan tahun baru imlek dengan membakar petasan dan memainkan barongsai untuk mengusir segala yang jahat dan menyambut datangnya musim semi.
Imlek secara tradisi telah diperingati oleh masyarakat Tionghoa seluruh dunia sejak ribuan tahun lalu. Dari buku kuno diketahui Imlek dirayakan di Tiongkok 4699 tahun yang lalu oleh raja pertama Huang Ti. Secara tradisi penyambutan Imlek diisi dengan aktivitas menjadi baru mulai dari mendandani rumah dan dirinya sendiri dengan pakaian dan semangat baru. Yik Nien Fuk Se, Wan Siang Keng Sin artinya datangnya tahun baru mengubah segalanya menjadi baru. Warga Tionghoa kini menghabiskan hari-harinya mempersiapkan Imlek dengan membuat aneka macam kue keranjang atau kue tar, membersihkan rumah dan tempat ibadah serta menyiapkan angpao. Sementara yang laki-laki akan membersihkan pekarangan atau mencat rumah.
Segala rangkaian prosesi perayaan Tahun Baru Imlek ini dimulai dengan suatu ritual yang dinamakan Cap Ji Gwee Jie Shie (tanggal 24 bulan ke-12 Imlek), yang jatuh pada hari Rabu 30 Januari 2008. Ditandai dengan penyalaan puluhan hio (dupa bergagang) berketinggian tiga meter di klenteng-klenteng. Bagi yang tidak mampu membeli itu, pelaksanaan sembahyang cukup dengan hio biasa, lilin kecil, minyak nabati, serta sesaji buah-buahan, kue serba manis, dan pembakaran hu (kertas merang bergambar kuda terbang).
Ritual ini juga sering disebut dengan Shang Sheng. Shang Sheng merupakan salah satu dari rangkaian ritual keagamaan pemeluk agama Khong Hu Cu, meski kemeriahannya tak semencolok pada Malam Tahun Baru Imlek, dan Cap Go Mee atau hari ke-15 Tahun Baru Imlek.
Rangkaian kegiatan menyambut tahun baru Imlek dimulai dengan sembahyang syukuran tutup tahun imlek 2558 atau Sam Sip Pu mulai 6 Februari mulai pagi hingga malam. Acara persembahyangan Tahun Baru sendiri, dimulai menjelang tengah malam hingga besok paginya.
Biasanya pada malam sebelum tahun baru atau Chu Si Ye, seluruh anggota keluarga harus kumpul bersama dan makan Thuan Yen Fan (makan malam sekeluarga). Jika ada keluarga yang tidak sempat atau berhalangan untuk pulang ke rumah, di meja akan disiapkan mangkok dan sepasang sumpit yang mewakili yang tidak sempat datang tadi.
Sayur yang disajikan cukup banyak dan mengandung arti tersendiri, seperti Kiau Choi yang melambangkan panjang umur, ayam rebus yang disajikan utuh melambangkan kemakmuran untuk keluarga. Sedangkan bakso ikan, bakso udang dan bakso daging melambangkan San Yuan atau tiga jabatan yaitu Cuang Yuen, Hue Yuen dan Cie Yuen. Tiga jabatan tersebut adalah jabatan yang sangat dihormati masyarakat Tionghoa pada jaman kekaisaran dahulu.
Juga ada Kiau Se atau pangsit yang bentuknya dibuat mirip dengan uang perak zaman dulu. Menurut kepercayaan, makan Kiau Se akan mendatangkan rejeki. Malahan sesuai tradisi di antara pangsit tersebut salah satunya akan diisi dengan koin. Bagi yang mendapatkan koin tersebut konon akan mendapatkan rejeki besar. Di meja juga disiapkan ikan yang dihias dan akan dimakan. Maknanya yaitu Nien nien yeu yi atau setiap tahun ada lebihnya. Ikan dingkis bertelur yang dikukus merupakan hidangan istimewa sebab diyakini dapat membawa keberuntungan di tahun baru.
Selain sajian-sajian itu yang menjadi tradisi di warga Tionghoa dalam menyambut Imlek adalah dengan menggunakan pakaian tidur berikut pakaian dalam yang masih baru. Maksudnya adalah untuk membuang kesialan tahun lalu. Pada malam tahun baru setelah berdoa dan makan malam, tidur dengan menggunakan pakaian tidur yang baru umumnya berwarna merah.
Pada hari pertama Sin Nien atau tahun baru, pertama yang akan dilakukan adalah sembahyang pada leluhur bagi yang ada altar di rumah. Bagi yang tidak punya altar, akan ke klenteng terdekat untuk sembahyang mengucapkan terima kasih atas lindungan Thien (Tuhan) sepanjang tahun. Setelah itu memberikan hormat kepada kedua orang tuanya, saling mengunjungi sanak keluarga dan kerabat dekat.
Selain itu bagi anak-anak muda mereka akan menyambut tahun baru dengan memasang petasan dan main barongsai yang mengandung arti mengusir segala yang jahat dan menyambut segala yang baik. Banyak pantangan yang tidak dilakukan pada hari tersebut. Seperti tidak menyapu dan tidak membuang sampah yang katanya akan mengusir rejeki keluar rumah. Pantangan lainnya yaitu tidak boleh bertengkar atau mengeluarkan kata-kata fitnah dan tidak boleh memecahkan piring. Namun jika kebetulan secara tidak sengaja ada piring atau mangkok yang pecah, untuk penangkalnya harus cepat-cepat mengucapkan Sue sue Phing an yang artinya setiap tahun tetap selamat.
Pada hari kedua tahun baru adalah saatnya hue niang cia atau pulang ke rumah ibu. Hari ini bagi wanita yang sudah menikah akan pulang ke rumah ibunya dengan membawa Teng Lu yang merupakan bingkisan atau angpao (kantong merah kecil yang berisi uang) untuk ibu dan adik-adiknya. Secara tradisi Angpao atau Hung pau juga diberikan kepada anak-anak dan orang tua. Pada hari ketiga, mereka lebih banyak tinggal di rumah, tidak banyak melakukan perjalanan dan aktivitas.
Pada hari keempat adalah hari menyambut para dewa untuk kembali ke bumi. Konon menurut kepercayaan Dewa Dapur (Co Kun Kong) dan para dewa dari langit akan kembali ke Bumi. Pada hari kedatangan kembali para dewa-dewi itu, khususnya Dewa Dapur, akan disambut bunyi-bunyian antara lain dengan kentongan. Warga Tionghoa biasanya ke klenteng untuk Hi Fuk atau memohon kepada dewa untuk mendapatkan perlindungan dan rejeki. Sesaji yang dibawa biasanya berupa buah-buahan juga ciu cha (arak) dan teh.
Dihitung dari Shang Sheng, rangkaian persembahyangan menjelang dan sesudah Tahun Baru Imlek meliputi 21 hari. Bagi orang yang masih kental merayakannya secara lengkap, tiga pekan itu adalah saat-saat penuh makna bagi perawatan batin. Mereka berdoa, mawas diri, bersedekah, mohon pengampunan, berterima kasih kepada Thien (Tuhan), leluhur, orang tua dan orang-orang yang dituakan, dan mohon pertolongan kepada Tuhan dan para dewa agar sehat, selamat dan sejahtera di tahun yang baru.
Kebiasaan merayakan Imlek memang tidak harus dilakukan dalam pesta atau perayaan yang berlebihan. Yang paling penting adalah pergi ke Vihara, berdoa menghaturkan kasih dan persembahan ke Tuhan dan leluhur. Juga tidak lupa bersedekah. Prinsip di sini yaitu adat dijalankan, soal pesta nomor dua.
Imlek 2559 yang dilambangkan dengan shio Tikus Api justru dikhawatirkan karena kurang membawa keberuntungan. Orang tua mengatakan "tikus panas" kurang baik untuk peluang usaha yang menguntungkan. Karena itu, warga Tionghoa lebih mengutamakan sembahyang bersama keluarga. Terutama kalau masih ada orang tua, berkumpul di rumah orang tua minta maaf dan kemudian bersyukur dengan makan bersama. (kpl/cax)



Dikutip dari: http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/budaya_bangsa/Pecinan/Imlek.htm
Aslinya Imlek atau Sin Tjia adalah sebuah perayaan yang dilakukan oleh para petani di Cina yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru. Perayaan ini juga berkaitan dengan pesta para petani untuk menyambut musim semi. Perayaan ini dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama. Acaranya meliputi sembahyang Imlek, sembahyang kepada Sang Pencipta, dan perayaan Cap Go Meh. Tujuan dari persembahyangan ini adalah sebagai wujud syukur dan doa harapan agar di tahun depan mendapat rezeki lebih banyak, untuk menjamu leluhur, dan sebagai sarana silaturahmi dengan kerabat dan tetangga.
Karena perayaan Imlek berasal dari kebudayaan petani, maka segala bentuk persembahannya adalah berupa berbagai jenis makanan. Idealnya, pada setiap acara sembahyang Imlek disajikan minimal 12 macam masakan dan 12 macam kue yang mewakili lambang-lambang shio yang berjumlah 12. Di Cina, hidangan yang wajib adalah mie panjang umur (siu mi) dan arak. Di Indonesia, hidangan yang dipilih biasanya hidangan yang mempunyai arti "kemakmuran," "panjang umur," "keselamatan," atau "kebahagiaan," dan merupakan hidangan kesukaan para leluhur.
Kue-kue yang dihidangkan biasanya lebih manis daripada biasanya. Diharapkan, kehidupan di tahun mendatang menjadi lebih manis. Di samping itu dihidangkan pula kue lapis sebagai perlambang rezeki yang berlapis-lapis. Kue mangkok dan kue keranjang juga merupakan makanan yang wajib dihidangkan pada waktu persembahyangan menyambut datangnya tahun baru Imlek. Biasanya kue keranjang disusun ke atas dengan kue mangkok berwarna merah di bagian atasnya. Ini adalah sebagai simbol kehidupan manis yang kian menanjak dan mekar seperti kue mangkok.
Ada juga makanan yang dihindari dan tidak dihidangkan, misalnya bubur. Bubur tidak dihidangkan karena makanan ini melambangkan kemiskinan.
Kedua belas hidangan itu lalu disusun di meja sembahyang yang bagian depannya digantungi dengan kain khusus yang biasanya bergambar naga berwarna merah. Pemilik rumah lalu berdoa memanggil para leluhurnya untuk menyantap hidangan yang disuguhkan.
Di malam tahun baru orang-orang biasanya bersantap di rumah atau di restoran. Setelah selesai makan malam mereka bergadang semalam suntuk dengan pintu rumah dibuka lebar-lebar agar rezeki bisa masuk ke rumah dengan leluasa. Pada waktu ini disediakan camilan khas Imlek berupa kuaci, kacang, dan permen.
Pada waktu Imlek, makanan yang tidak boleh dilupakan adalah lapis legit, kue nastar, kue semprit, kue mawar, serta manisan kolang-kaling. Agar pikiran menjadi jernih, disediakan agar-agar yang dicetak seperti bintang sebagai simbol kehidupan yang terang.
Tujuh hari sesudah Imlek dilakukan persembahyangan kepada Sang Pencipta. Tujuannya adalah sujud kepadaNya dan memohon kehidupan yang lebih baik di tahun yang baru dimasuki.
Lima belas hari sesudah Imlek dilakukan sebuah perayaan yang disebut dengan Cap Go Meh. Masyarakat keturunan Cina di Semarang merayakannya dengan menyuguhkan lontong Cap Go Meh yang terdiri dari lontong, opor ayam, lodeh terung, telur pindang, sate abing, dan sambal docang. Sementara di Jakarta, menunya adalah lontong, sayur godog, telur pindang, dan bubuk kedelai.
Pada waktu perayaan Imlek juga dirayakan berbagai macam keramaian yang menyuguhkan atraksi barongsai dan kembang api.



Dikutip dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_Baru_Imlek
Tahun Baru Imlek
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tahun Baru Imlek adalah salah satu hari raya Tionghoa tradisional, yang dirayakan pada hari pertama dalam bulan pertama kalender Tionghoa, yang jatuh pada hari terjadinya bulan baru kedua setelah hari terjadinya hari terpendek musim dingin (Latin: solstitium, bahasa Inggris: solstice). Namun, jika ada bulan kabisat kesebelas atau kedua belas menuju tahun baru, tahun baru Imlek akan jatuh pada bulan ketiga setelah hari terpendek. Pada tahun 2005 hal ini terjadi dan baru akan terjadi lagi pada tahun 2033.
Hari raya ini juga dikenal sebagai 春節 Chūnjié (Festival Musim Semi), 農曆新年 Nónglì Xīnnián (Tahun Baru), atau 過年 Guònián.
Imlek dirayakan di seluruh dunia, termasuk di Pecinan di berbagai negara, dan merupakan hari raya terpenting bagi bangsa Tionghoa, dan banyak bangsa Asia Timur seperti bangsa Korea dan Vietnam (Tết) yang memiliki hari raya yang jatuh pada hari yang sama.
Salam
Sekitar masa tahun baru orang-orang memberi selamat satu sama lain dengan kalimat:
• Aksara Tionghoa Sederhana: 恭喜发财 - Aksara Tionghoa Tradisional: 恭喜發財 = "selamat dan semoga banyak rejeki", dibaca:
o "Gōngxǐ fācái" (bahasa Mandarin)
o "Kung hei fat choi" (bahasa Kantonis)
o "Kiong hi huat cai" (bahasa Hokkien)
o "Kiong hi fat choi" {bahasa Hakka)
• "Xīnián kuàilè" (新年快樂) = "Selamat Tahun Baru"
Tahun Baru Imlek di Indonesia
Di Indonesia, selama 1965-1998, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek.
Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden Megawati Soekarnoputri menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Mulai 2003, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional.



Dikutip dari: http://tionghoa-net.blogspot.com/2007/07/sejarah-dan-tradisi-perayaan-imlek.html
25 Juli 2007
Sejarah dan Tradisi Perayaan Imlek
Dirayakan Sejak Kaisar Chin Che Huang
Dewa
dewa@zxmail.com
PERAYAAN tahun baru penanggalan Imlek hanya tinggal sepuluh hari lagi, memasuki tanggal 1 bulan 1 tahun 2551 imlek. Warga Tionghoa akan merayakan kedatangan tahun baru kali ini dengan Shio Naga. Di pasar-pasar sudah mulai terlihat aksesoris, yang menjadi ciri khas perayaan tahun baru Imlek tersebut, seperti kartu tahunbaru, lampion, mercon, kue keranjang bulat, jeruk bali, bunga bue imitasi dan berbagai aksessoris lainnya.
Dari kitab-kitab tua berbahasa mandarin, bahwa perayaan tahun baru Imlek bukanlah tradisi sekarang, akan tetapi sudah diwariskan ratusan tahun yang lalu. Dan perayaan itu awalnya dimulai dari daratan Tiongkok, seperti yang ditulis DR Kai Kuok Liang, dalam bukunya berjudul: Festival Tradisi Budaya Tionghoa.
Dijelaskan, dalam kepercayaan zaman dahulu, rakyat Tiongkok percaya bahwa anglo (tempat masak) dalam dapur di setiap rumah ada dewa-nya yang dikirim oleh Yik Huang Shang Ti (Raja Surga). Dewa itu juga sering dikenal dengan sebutan Dewa Tungku, yang ditugaskan untuk mengawasi segala tindak tanduk dari setiap rumah dalam menyediakan masakan setiap hari.
Maka setiap akhir tahun tanggal 24 bulan 12 Imlek (atau h-6 tahun baru), Dewa Tungku akan pulang ke surga serta melaporkan tugasnya kepada Raja Surga. Maka untuk menghindarkan hal-hal yang tidak menyenangkan bagi rakyat, timbullah gagasan untuk memberikan hidangan yang menyenangkan atau hal-hal yang dapat membuat Dewa Tungku tidak murka. Sehingga nantinya, jika ia laporan ke Raja Surga, menyampaikan laporan yang baik-baik dari rakyat yang diawasinya.
Bagaimana caranya supaya Dewa Tungku tidak murka, yang menyampaikan laporan baik-baik saja pada Raja Surga? Akhirnya, warga pun mencari bentuk sajian yang manis, yakni kue yang disajikan dalam keranjang. Maka disebutlah kue keranjang, yang sudah mentradisi setiap tahun disajikan untuk merayakan tahun baru Imlek.
Dalam menyajikan kue untuk Dewa Tungku, kue keranjang yang manis tersebut, juga ditentukan bentuknya yakni harus bulat. Hal ini bermakna, keluarga yang merayakan Imlek tersebut dapat berkumpul (minimal) satu tahun sekali, serta tetap menjadi keluarga yang bersatu, rukun, bulat tekad dalam menghadapi tahun baru yang akan datang. Tradisi ini pun dibawa terus secara turun temurun, sampai sekarang ini.
Kini, kue keranjang tersebut sudah mulai banyak di pasar, dengan ukuran yang kecil sampai yang besar. Dalam kepercayaan, kue tersebut juga disajikan di depan altar, atau di dekat tempat sembahyang di rumah. Semua ini, disajikan dalam rangka menyambut tahun baru Imlek, yang sekarang ini hanya tinggal beberapa hari lagi. Maka sudah seharusnya, kue keranjang tersebut sudah disajikan, agar Dewa Tungku tidak murka.
Ternyata tradisi kue keranjang ini juga tidak hanya oleh warga Tionghoa merayakan Imlek, hari raya Idul Fitri pun ada umat Islam yang menyuguhkan kue keranjang, yang sudah memasyarakat itu. Artinya, kue tersebut sudah menjadi milik masyarakat luas, yang sudah tidak asing lagi. Bentuk-bentuknya juga bermacam-macam, dari yang kecil sampai yang besar, namun rasanya yang khas, menjadikan kue keranjang diminati oleh banyak orang. Tak hanya itu, kue keranjang juga dikenal cukup awet dan tahan beberapa hari. Sehingga, dapat disajikan kapan saja. Bahkan, setelah Imlek pun juga masih dapat disajikan.



Dikutip dari: http://osdir.com/ml/culture.region.china.budaya-tionghua/2006-01/msg00888.html

SUARA PEMBARUAN DAILY
________________________________________
Imlek, Kebangkitan Etnis Tionghoa Indonesia
Dok Pembaruan
Bakti Sosial - Sejumlah dokter dari kalangan etnis Tionghoa memeriksa kesehatan warga saat bakti sosial yang digelar Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), di Jakarta Barat, beberapa waktu lalu. Keterlibatan etnis Tionghoa dalam kegiatan sosial kemasyarakatan sangat membantu upaya pembauran .
DIHAPUSNYA sejumlah peraturan yang bersifat rasis dan diskriminatif oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), maupun penetapan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, boleh dikata sebagai suatu kebangkitan yang diperjuangkan oleh seluruh masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia. Bayangkan, selama lebih 700 tahun kehadiran etnis Tionghoa di Tanah Air, mereka selalu menjadi kambing hitam dan mendapat perlakuan tidak adil atau diskriminatif.
''Saya berharap tahun baru Imlek dapat menjadi momentum bagi seluruh elemen dan komponen bangsa ini, khususnya masyarakat etnis Tionghoa, untuk membangun habitus baru. Dengan membuang egoisme dan mengarahkan seluruh perilaku yang berbasis pada hati nurani, moral, budi pekerti, dan etika yang luhur, sehingga seluruh penyakit sosial dan kriminal dapat dihindari. Dan tahun baru Imlek dapat menjadi kemenangan etnis Tionghoa Indonesia,'' ujar Ketua Komisi Hubungan Antar Agama Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Benny Susetio Pr kepada Pembaruan di Jakarta, Selasa (24/1).
Menurut Romo Benny, gereja Katolik sangat menghargai dan menghormati kebudayaan masyarakat yang juga merupakan hasil akal serta budi pekerti manusia untuk menjaga tatanan kehidupan dan peradaban. ''Sesuai dengan semangat inkulturasi, gereja melihat budaya merupakan salah satu anugerah Allah kepada manusia. Gereja menghargai seluruh bentuk manifestasi serta pernak-pernik kebudayaan yang ditampilkan selama pesta Tahun Baru Imlek, sehingga menjadi lebih semarak,'' katanya.
Perlakuan Tidak Adil
Hal senada diungkapkan Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa DKI Jakarta, Benny G Setiono, yang menilai Imlek boleh dibilang sebagai bentuk kemenangan etnis Tionghoa Indonesia dari segala bentuk diskriminasi dan perlakuan tidak adil yang sebelumnya sempat dialami.
''Peristiwa 13-14 Mei 1998 yang telah meluluhlantakkan ribuan ruko, toko, rumah tinggal, pusat pertokoan, bengkel, apartemen, supermarket, kendaraan bermotor, baik roda empat maupun roda dua, bahkan juga perkosaan terhadap perempuan-perempuan Tionghoa di Jakarta dan Solo, merupakan puncak kehancuran martabat dan jati diri etnis Tionghoa di Indonesia,'' ujar Benny mengenang peristiwa yang menandai berakhirnya rezim Orde Baru tujuh tahun silam.
Selama pemerintahan Orde Baru, secara terus-menerus terjadi kerusuhan anarkis anti- Tionghoa. Kerusuhan Mei 1998 seakan adalah puncak dari aksi kerusuhan tersebut.
Banyak orang sebelumnya berpendapat bahwa kerusuhan anti-Tionghoa tidak mungkin terjadi di Jakarta. Tetapi ternyata, menjelang keruntuhan rezim Orde Baru, puncak kerusuhan tersebut justru dibiarkan berlangsung oleh aparat keamanan di ibu kota.
Dengan kasat mata seluruh dunia dapat menyaksikan bagaimana kerusuhan yang berlangsung selama dua hari penuh, dibiarkan aparat keamanan tanpa melakukan suatu tindakan apapun. Jadi terbukti apa yang selama ini dikhawatirkan, etnis Tionghoa memang dijadikan bumper dan tumbal keruntuhan rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto.
Sungguh menyedihkan melihat etnis Tionghoa demikian tidak berdaya menghadapi segala penindasan terhadap dirinya. Yang bisa dilakukan hanya menyelamatkan diri untuk sementara waktu ke luar negeri, atau ke Bali dan Kalimantan Barat bagi mereka yang masih mempunyai uang. Sebaliknya bagi mereka yang tidak mempunyai uang, sudah tentu hanya bisa pasrah atas semua kekerasan dan penderitaan yang menimpa diri dan keluarganya.
Etnis Tionghoa yang semasa pemerintahan rezim Orde Baru tampak seolah-olah demikian ''gagah'', ternyata hanya dalam waktu sekejap dapat dibuat tidak berdaya.
Ini yang tidak pernah disadari oleh kebanyakan etnis Tionghoa di Indonesia. Mereka selama ini terlampau dininabobokan, seolah-olah rezim Orde Baru adalah segala-galanya, yang memberikan kemakmuran, keamanan, dan kemapanan atas dirinya. Mereka selalu berusaha menghindari wilayah politik, seolah-olah politik adalah sesuatu yang sangat menakutkan. Mereka tidak menyadari bahwa tanpa turut berpartisipasi di wilayah politik, sebesar apapun kekuatan mereka di bidang ekonomi, akan dengan mudah dibuat tidak berdaya.
Memang oleh rezim Orde Baru, peluang etnis Tionghoa untuk terjun ke wilayah politik sangat dibatasi, terutama dengan melekatkan stigma Badan Permusyawatan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), yang hasilnya terbukti sungguh-sungguh sangat ampuh. Sebaliknya segelintir etnis Tionghoa ''dirayu'' agar mau menjadi kroni untuk menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), yang sangat menyengsarakan rakyat, dan akibatnya kita tanggung sampai saat ini.
''Sebagai perantau yang mencari kehidupan baru di Indonesia, selama ratusan tahun, etnis Tionghoa selalu menjadi pelengkap penderita. Walaupun kedatangan mereka di negara- negara yang menjadi pilihannya semata-mata bertujuan mencari kehidupan baru atau memajukan perdagangan, tanpa sedikit pun melakukan kekerasan, apalagi dengan tujuan- tujuan untuk menjajah, seperti yang dilakukan bangsa-bangsa kulit putih,'' ujar Benny G Setiono.
Tumbuhnya Kesadaran
Setelah Presiden Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998 dan Indonesia memasuki era reformasi, tumbuh kesadaran di kalangan etnis Tionghoa bahwa kedudukan mereka sangat lemah dan menyedihkan. Kesadaran ini membangkitkan keberanian mereka untuk menolak kesewenang-wenangan yang menimpa diri mereka dan membela keadilan.
Dengan segera berbagai organisasi dideklarasikan oleh orang-orang peranakan yang peduli pada keadaan tersebut, antara lain Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti), Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Formasi, Simpatik, Gandi, PSMTI dan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI). Demikian juga berbagai penerbitan seperti harian, tabloid dan majalah, antara lain Naga Pos, Glodok Standard, Suar, Nurani, Sinergi, Suara Baru serta sejumlah lainnya bermunculan.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, beberapa organisasi tersebut berguguran, dan beberapa media cetak telah hilang dari peredaran. Masalah utama yang dihadapi organisasi-organisasi tersebut adalah masalah klasik, tidak adanya program yang jelas, semangat yang mengendur, dan terjadinya perpecahan di kalangan pemimpinnya.
Masalah yang dihadapi media cetak yang pada umumnya dikelola golongan peranakan adalah masalah finansial dan sumber daya manusia. Hampir tidak ada dukungan dari masyarakat Tionghoa akan kelangsungan hidup media cetak tersebut.
Hasil-hasil apakah yang diperoleh dengan berdirinya organisasi-organisasi yang menghimpun etnis Tionghoa baik peranakan maupun totok? Walaupun sangat lamban, kesadaran politik mereka mulai tampak meningkat. Namun trauma masa lalu dan stigma Baperki masih menghantui sebagian besar etnis Tionghoa, sehingga mereka selalu berusaha menghindari wilayah politik.
Meski demikian, perjuangan organisasi-organisasi peranakan dalam membela hak-hak etnis Tionghoa dan menuntut penghapusan peraturan-peraturan yang diskriminatif telah banyak menunjukkan kemajuan. Dihapusnya segala peraturan-peraturan yang bersifat rasis dan diskriminatif oleh Presiden Abdurrahman Wahid maupun Tahun Baru Imlek yang dijadikan hari libur nasional oleh Presiden Megawati merupakan suatu kemenangan yang diperjuangkan oleh seluruh organisasi Tionghoa tersebut. *

MINGGU, 29 Januari 2006, merupakan hari libur nasional dalam rangka memperingati Tahun Baru Cina, Imlek. Setiap kali Imlek tiba, pembahasan mengenai salah satu golongan anak bangsa, yakni etnis Ti-onghoa, selalu mengemuka. Hal itu tidak terlepas dari fakta sejarah, bahwa kehadiran etnis Tionghoa yang sudah ratusan tahun di bumi pertiwi ini, tak lepas dari gunjingan politik.
Selama bertahun-tahun, status peranakan Tionghoa di Indonesia, selalu dianggap berbeda dengan anak bangsa lain, meski sama-sama nonpribumi. Kesenjangan status itulah yang menciptakan api dalam sekam. Terbukti beberapa kali terjadi peristiwa rasialis yang melibatkan warga pribumi dan etnis Tionghoa, yang puncaknya adalah tragedi Mei 1998.
Proses asimilasi (pembauran), terutama dari aspek politik dan sosial, tak pernah berjalan mulus. Mereka masih dianggap sebagai ''orang lain'', meski terkadang sikap dan perilakunya lebih nasionalis daripada warga pribumi.
Melalui momentum Tahun Baru Imlek kali ini, wartawan Pembaruan Eko Budi Harsono mengulas potret relasi sosial, politik, dan ekonomi dari etnis Tionghoa, yang ingin dianggap sebagai warga negara Indonesia seutuhnya.
100 Persen Bagian Integral dari Indonesia
Atlet berprestasi - Pebulutangkis nasional, Hendrawan (berpeci) menerima ucapan selamat dari Presiden Filipina, Gloria Macapagal Arroyo, saat pembukaan SEA Games, di Filipina, akhir November 2005. Karena prestasinya yang luar biasa, atlet beretnis Tionghoa itu dipercaya membawa bendera Indonesia pada pesta olahraga internasional.
KELENTENG Hok Tek Bio di Cibinong, Jawa Barat, semarak oleh warna merah dan emas. Sekelompok anak muda dengan gembira menabuh tambur dan simbal. ''Pe ceng, pe ceng, ceng taw, ceng taw'', begitu suara yang keluar dari alat musik pengiring barongsai menari dan beratraksi.
''Suara pe ceng itu kadang diartikan kasih cepe (seratus), akan mendapat seceng (seribu). Sedang ceng taw itu berarti kasih seceng mendapat setauw (sejuta). Itulah sebabnya saat barongsai keluar selalu mendapat angpau, karena kita percaya dengan memberi angpau kepada Barongsai, maka kita juga akan dapat berkat,'' ujar David Wijaya, pengelola kelenteng kepada Pembaruan di Cibinong, belum lama ini.
Dalam perayaan Imlek tahun ini, para pengurus kelenteng yang dibangun sejak tahun 1938 itu ingin menegaskan, bahwa warga etnis Tionghoa merupakan warga Indonesia, dan 100 persen cinta Indonesia.
''Kami ini 100 persen Indonesia. Jiwa dan raga kami sama seperti orang Jawa, Sumatera, atau orang Sulawesi,'' ujar David.
Sikap nasionalis etnis Tionghoa seperti ini, sangat didukung oleh Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin, yang tidak ingin lagi ada diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.
''Saya kira ada dua sumber masalah besar terkait dengan keberagaman atau multikulurisme di Indonesia. Pertama hubungan Kristen dan Islam yang kurang harmonis, dan kedua hubungan Islam dan etnis Tionghoa. Keduanya ini harus segera diselesaikan oleh pemerintah dan juga komponen masyarakat lainnya. Dalam momentum Imlek ini saya ingin menegaskan bahwa etnis Tionghoa merupakan bagian integral dari Indonesia,'' ujar Din.
Sedangkan Didi Kwartanada, sejarawan peranakan Tionghoa yang sedang mengambil program doktoral di National University of Singapore, menilai, hubungan antara orang Tionghoa dengan pribumi itu merupakan hubungan yang sifatnya love and hate relation, atau hubungan cinta dan benci. Karena itu, perayaan Imlek merupakan momentum untuk menegaskan bahwa etnis Tionghoa merupakan bagian integral dari Indonesia.
Dia lantas memberi contoh, kalau warga Indonesia beretnis Tionghoa mengharumkan nama bangsa dan negara di bidang olahraga, mereka dipuji. Tetapi kalau ada berita tentang orang Tionghoa yang melakukan penyelewengan di bidang ekonomi, misalnya, mereka akan dimaki-maki.
Didi juga memberi contoh lain, hubungan antara cinta dan benci ini terbukti dari sejumlah artikel yang judulnya provokatif. Misalnya, ''Siluman Cina Ingin Jadi Presiden'' dan ''Ekonomi Umat Islam Dicengkeram Yahudi dan Cina kafir''.
''Lantas apa ada hubungan antara Cina dan Yahudi? Namun di sisi lain media itu juga memuji orang Tionghoa yang masuk agama tertentu. Di sini tampak bahwa love and hate relation sudah menjadi us, atau kita dan mereka,'' ujarnya.
Orang Tionghoa
Lantas siapakah orang Tionghoa itu? ''Orang mengidentifikasi dirinya sebagai orang Tionghoa apabila mempunyai darah Tionghoa, walaupun sudah tidak murni atau banyak bercampur, dan mempunyai nama Tionghoa,'' tutur sejarawan Didi Kwartanada.
Oleh karena itu, warga etnis Tionghoa di Indonesia tidak homogen, tetapi heterogen. Perbedaan mereka, misalnya, berdasarkan dialek dan agama. Ada yang beragama Konghucu, Kristen, Katolik, atau Islam. Ada yang berdialek Hokian, Hakka dan lain-lain.
Selain itu ada lagi per-bedaan menjadi Tionghoa totok dan Tionghoa per- anakan. Kebanyakan orang Tionghoa peranakan tidak bisa lagi berbahasa Mandarin. Sebaliknya orang totok masih bisa berbahasa Mandarin.
Tionghoa peranakan Indonesia biasanya lebih mapan ketimbang Tionghoa totok. Oleh karena itu Tionghoa totok lebih nekat dalam berbisnis.
Ironisnya, kedua kelompok itu suka saling merendahkan. Misalnya, orang Tionghoa keturunan (peranakan) suka menuduh orang Tionghoa totok pelit. Sebaliknya Tionghoa totok gemar merendahkan Tionghoa peranakan karena tidak bisa berbahasa Mandarin.
Karena bermacam ragam itulah, persatuan di kalangan orang Tionghoa sulit terwujud. ''Ironisnya, hanya sekali dalam sejarah persatuan itu terwujud, yakni semasa Jepang,'' ungkapnya.
Jepang memaksa orang Tionghoa bersatu dalam satu organisasi. ''Hal ini sangat ironis, karena persatuannya disponsori oleh musuh,'' tuturnya.
Sejarah Imlek
Berbicara soal Imlek, perayaan yang sering disebut sebagai perayaan tahun baru musim semi ini, dari sudut etimologi (sejarah kata) terdiri dari dua kata, yaitu im yang berarti bulan, dan lek yang berarti penanggalan. Dengan demikian, Imlek berarti penanggalan yang dihitung berdasarkan peredaran bulan. Tentu ini berbeda dengan perhitungan penanggalan Yanglek/Masehi, yang dihitung berdasarkan peredaran matahari (yang berarti matahari).
Perayaan Imlek/Yin Li/Anno Confuciani, menurut sejarah secara umum dan kenegaraan, dimulai pada zaman Dinasti Han (206 SM-220 M), di mana kaisar pertamanya yang bernama Han Wu Di. Kaisar Han berasal dari keturunan Liu Bang, yaitu orang yang menumbangkan tirani Dinasti Qin (221 SM-207 SM).
Han Wu Di merupakan seorang Confucianist sejati, dan memakainya dalam menjalankan pemerintahan.
Ternyata jalan yang diambilnya tidak salah. Sebab Dinasti Han-lah yang paling sukses dan berhasil dalam sejarah dinasti di Cina.
Penanggalan Imlek yang dihitung berdasarkan perhitungan lunar atau bulan, ditetapkan oleh Han Wu Di berdasarkan tahun kelahiran Confucius/Khonghucu, pada tahun 551 SM.
Tahun 2006, Imlek sudah mencapai tahun yang ke-2557. Perhitungan tersebut didapat dari penjumlahan tahun kelahiran Confucius (551 SM) dan angka tahun Masehi (2006).



Dikutip dari: http://indonesian.cri.cn/chinaabc/chapter13/chapter130401.html
Akupuntur

Tusuk jarum atau akupuntur adalah bagian penting dari ilmu kedokteran tradisional Tiongkok. Pada awalnya, akupuntur digunakan hanya sebagai suatu cara pengobatan, tapi kemudian berangsur-angsur berkembang menjadi suatu disiplin ilmu. Ilmu akupuntur adalah ilmu yang menyusun dan mempelajari teknik pengobatan akupuntur serta hukum terapan klinis serta teori dasarnya. ( gambar sebelah kiri adalah peta sebagian titik akupuntur )
Akupuntur mempunyai sejarah yang panjang. Dalam kitab zaman kuno pernah berkali-kali disebutkan bahwa alat primitif tusuk jarum terbuat dari batu, dinamakan jarum batu. Jarum batu itu pertama-tama muncul di zaman batu baru (neolitik) kira-kira 8.000 sampai 4.000 tahun yang silam, atau sekitar masa akhir sistem komune marga. Dalam penelitian arkeologi di Tiongkok pernah ditemukan benda asli jarum batu. Sampai zaman Chunqiu ( tahun 770 sebelum Masehi—tahun 476 sebelum Masehi ), ilmu kedokteran telah melepaskan diri dari ikatan dukun, dan mempunyai dokter profesional. Dalam buku Chunqiu Zuozhuan, ada catatan tentang perkataan dokter terkenal Yi Huan tentang tusuk jarum ketika ia memeriksa kesehatan Raja Jinggong dari Dinasti Jin.
Dari zaman Negara-negara Berperang sampai Dinasti Han Barat ( tahun 476 sebelum Masehi—tahun 25 Masehi ), jarum logam digunakan semakin luas sejalan dengan kemajuan teknologi peleburan besi, dan jarum logam berangsur-angsur menggantikan jarum batu sehingga tusuk jarum digunakan semakin luas dan telah mempercepat proses perkembangannya. Pada zaman Dinasti Han Timur dan Tiga Kerajaan, muncul banyak ahli kedokteran yang pandai akupuntur, di antaranya Kitab Akupuntur yang ditulis Huang Pumi telah menjadi sebuah karya khusus yang lengkap tentang sistem akupuntur. Pada zaman dinasti-dinasti Jin Timur dan Jin Barat serta Dinasti Utara dan Selatan (tahun 256 Masehi—589 Masehi ), karya-karya khusus tentang akupuntur bertambah semakin banyak, dan pada masa itu pula akupuntur tersebar sampai Korea, Jepang dan negara-negara lain.
Pada zaman dinasti Sui dan Tang ( tahun 581—907 Masehi ), akupuntur berkembang menjadi suatu disiplin ilmu. Pada bagian kedokteran lembaga pendidikan ilmu kedokteran ketika itu diadakan jurusan akupuntur. Kemudian, ilmu akupuntur terus berkembang secara mendalam. Sampai abad ke-16, akupuntur mulai diperkenalkan kepada Eropa. Namun sampai Dinasti Qing, para dokter lebih mengutamakan obat daripada akupuntur sehingga pada derajat tertentu telah menghambat kemajuan ilmu akupuntur.
Akupuntur mencapai kemajuan besar setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949. Kini, di lebih 2.000 rumah sakit kedokteran tradisional Tiongkok di seluruh negeri terdapat bagian akupuntur; Penelitian ilmiah tentang akupuntur sudah mencakup berbagai sistem tubuh manusia dan berbagai bagian klinis; Sejumlah besar data eksperimen ilmiah yang berharga telah dicapai dalam penelitian mengenai peranan pengaturan, peredam rasa nyeri dan peningkatan imunitas akupuntur, serta gejala-gejala jingluo (meridian akupuntur) serta hubungan antara titik akupuntur dan organ tubuh.



Dikutip dari: http://www.surabaya-ehealth.org/dkksurabaya/berita/pengobatan-tradisional-akupuntur
PENGOBATAN TRADISIONAL AKUPUNTUR
Pengobatan Tradisional Yang Mendapat Pengakuan WHO
4 September 2008
Surabaya, eHealth. Berbagai ilmu pengobatan berkembang di kota Metropolis ini. Tidak hanya pengobatan modern, pengobatan tradisional juga banyak ditemukan. Salah satunya adalah akupuntur atau tusuk jarum.
TENTANG AKUPUNTUR
Pengertian Akupuntur
Terapi Akupuntur berasal dari bahasa Latin, terdiri dari kata ACUS yang mengandung arti JARUM, dan PUNGERE yang mengandung arti TUSUK. Pengertian akupuntur secara teknis adalah pengobatan yang menggunakan teknik tusukan jarum-jarum halus pada titik tertentu di badan atau yang juga dikenal sebagai acupunture point.
Pengobatan akupuntur telah lama digunakan oleh masyarakat jaman dahulu, seperti orang-orang Afrika, Arab Tigris, Mesir Kuno, India dan Cina. Sejarah mencatat bahwa bangsa Cina pertama kali mendokumentasikan pengobatan akupuntur yang ditulis dalam buku Huang ti the Yellow Emperor Canon of Medicine pada tahun 2000 SM.
Saat ini akupuntur dianggap sudah lengkap sebagai ilmu pengobatan. Yang berkembang adalah peralatannya yang jauh lebih modern. Jika awalnya jarum batu, kini jarum stainless single use.
Meski dipandang kurang ilmiah, satu hal yang tidak bisa dipungkiri dari pengobatan akupuntur sejak jaman dahulu adalah bukti kesembuhannya. Misalnya seperti pilek menahun, Vertigo atau Migrain, Maag kronis, bisa hilang dengan terapi akupuntur. Diabetes Mellitus, Hipertensi, Stroke bisa membaik, Penderita Jantung menjadi ringan dengan terapi kombinasi akupuntur. Kemudian penyakit bawaan seperti Asma bisa dijarangkan masa kambuhnya.
Filosofi
Dalam pengobatan Cina, juga dalam akupuntur, kesehatan ditentukan oleh kemampuan seseorang mempertahankan keseimbangan dan keselarasan 'lingkungan’ di dalam tubuhnya. Penyakit timbul bila 'lingkungan' ini terganggu dan proses normal tubuh untuk memulihkan keseimbangan dan keselarasan tidak mampu mengatasinya.
Teori keselarasan dalam tubuh dinyatakan dalam prinsip Yin/Yang dan Lima Tahapan, yang terus berputar menjaga keseimbangan antar berbagai pengaruh yang berlawanan. Jika salah satu dari pengaruh ini berlebih atau kurang, dapat mengganggu keselarasan lingkungan dalam tubuh.
Keselarasan dan keseimbangan juga tergantung pada kelancaran aliran Qi (dibaca : chi, Red) atau energi atau vitalitas. Qi ini beredar melalui Jingluo atau kanal pembentuk jaringan tak terputus yang menghubungkan semua bagian tubuh dan berhubungan dengan organ dalam atau Zangfu.
Zangfu menghasilkan Qi yang berbeda-beda namun saling berkait. Selain akupuntur, Cina mempunyai berbagai cara pengobatan, diantaranya moksibusi, jamu, pijatan otot, pijat tulang dan olahraga penyembuhan (Qi Gong, Qi kung), yang semua bekerja menurut prinsip dasar pengobatan Cina.
Akupuntur bukan hanya untuk mengurangi rasa sakit, melainkan mempunyai aplikasi luas dalam menangani penyakit yang mengganggu tubuh, makhluk hidup, maupun fungsi khusus suatu bagian tubuh. Namun kekuatan utama cara ini adalah dalam mengatasi gangguan fungsional. Cara ini dapat digunakan untuk mengobati penyakit akut maupun kronis, termasuk infeksi, baik pada orang dewasa maupun anak-anak.
Cara Kerja
Titik-titik tertentu di tubuh pasien ditusuk dengan jarum. Murni hanya jarum, tanpa ada bahan lain atau obat pada jarumnya. Fungsi jarum tersebut ‘membantu’ membenahi sistem energi tubuh (Qi) yang bermasalah. Karena itulah tusukan pada titik-titik tersebut disesuaikan dengan jenis penyakit yang diderita pasien.
Perawatan akupuntur saat ini sedikit berbeda dengan cara yang dilakukan masyarakat Cina Kuno. Dahulu, masyarakat Cina Kuno menggunakan batu-batu tajam, kayu dan buluh sebagai alat untuk menekan dan menusuk bagian-bagian tertentu. Tetapi kini, alat-alat ini diganti dengan cara yang lebih modern, yaitu penggunaan jarum-jarum halus yang telah disterilkan. Jarum-jarum ini dibuat dari berbagai bahan logam seperti jarum silver atau jarum perak, jarum copper atau jarum tembaga, dan jarum emas.
Jarum yang ditusukkan itu tidak akan terasa sakit, hanya ada sedikit rasa ditusuk jarum dan bila jarum ditusukkan lebih dalam mungkin akan terasa seperti disetrum, sebab jarum yang digunakan sangat tajam, padat, dan jauh lebih halus dibandingkan jarum suntik. Panjang jarum berkisar antara 12 mm - 10 cm, dan dapat ditusukkan sedalam 6 mm - 7.5 cm, tergantung kurus-gemuknya pasien, lokasi titik pengobatan, dan gangguan (di dalam atau permukaan).
Akupunturis dapat pula memberikan rangsangan pada jarum untuk memberikan rasa 'tersetrum' pada kanal tersebut. Pada beberapa kasus akupunturis mungkin memberikan moksibusi, yaitu pembakaran daun nei (Artemesia vulgaris) kering untuk menghangatkan atau merangsang titik tertentu pada tubuh pasien. Proses ini memberikan pengaruh yang kuat untuk merangsang Qi tubuh di bagian yang menunjukkan gejala 'dingin'.
Jarum dapat dibiarkan tertancap selama beberapa detik sampai satu jam, tetapi umumnya 20 menit. Bagi yang menghadapi penyakit yang agak kronis perawatan dijalankan sebanyak sekali atau dua kali seminggu. Sebaliknya, perawatan ringan diberikan bagi penyakit yang tidak terlalu kritis.
Dalam pengobatan, pasien mungkin perlu membuka sebagian pakaiannya agar jarum dapat ditusukkan pada titik-titik yang perlu sementara pasien berbaring. Umumnya titik-titik pengobatan terletak di lengan bawah dan tangan, tungkai bawah dan kaki, walaupun titik-titik akupuntur terdapat di seluruh tubuh.
Titik penusukan tergantung pada lokasi gangguan dan cara akupunturis untuk mempengaruhi Qi. Titik ini tidak harus langsung berhubungan dengan keluhan pasien, misalnya untuk pengobatan gangguan kepala dapat saja diambil titik pengobatan pada kaki yang terletak pada kanal yang bersangkutan.
Penguasaan mendalam tentang anatomi titik-titik akupuntur serta ketelitian, akan menghindarkan terkenanya pembuluh darah atau organ penting lain. Jarang sekali darah keluar dalam pengobatan ini, kalaupun ada paling hanya satu dua titik.
Untuk mencegah terjadinya infeksi silang, hukum mengharuskan penggunaan jarum yang steril. Pasien dianjurkan untuk mengisi perut sebelum pengobatan. Untuk menghindari rasa lelah, lesu atau pusing, juga dianjurkan menghindari kerja berat setelah pengobatan.
Fakta Akupuntur
• Terapi ini tidak menimbulkan efek samping sistemik karena pemberian terapi hanya bersifat lokal.
• Yang menjadi konsentrasi penusukan adalah 'meridian'. Penusukan dilakukan untuk melancarkan aliran energi di daerah meridian yang bermasalah.
• Di Eropa, akupuntur kerap dilakukan sebagai terapi untuk mengatasi nyeri, terapi muskuloskeletal -berkaitan dengan tulang dan otot, juga terapi untuk mual-muntah.
• Di Cina, pada beberapa kasus akupuntur sudah menjadi terapi tunggal. Misalnya sebagai tindakan preventif dan terapi mengatasi rasa nyeri. Bahkan, anestesi lokal hanya menggunakan akupuntur! (cie/dari berbagai sumber)



Dikutip dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
Budaya
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Pengertian
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yang mana akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Unsur-unsur
Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
• Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
o alat-alat teknologi
o sistem ekonomi
o keluarga
o kekuasaan politik
• Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
o sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
o organisasi ekonomi
o alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama)
o organisasi kekuatan (politik)
Wujud dan komponen
Wujud
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.
• Gagasan (Wujud ideal)
• Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
• Aktivitas (tindakan)
• Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
• Artefak (karya)
• Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
Komponen
Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:
• Kebudayaan material
• Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
• Kebudayaan nonmaterial
• Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
Hubungan antara unsur-unsur kebudayaan
Komponen-komponen atau unsur-unsur utama dari kebudayaan antara lain:
Peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi)
Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian.
Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu:
• alat-alat produktif
• senjata
• wadah
• alat-alat menyalakan api
• makanan
• pakaian
• tempat berlindung dan perumahan
• alat-alat transportasi
Sistem mata pencaharian hidup
Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya:
• berburu dan meramu
• beternak
• bercocok tanam di ladang
• menangkap ikan
Sistem kekerabatan dan organisasi sosial
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.
Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.
Bahasa
Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kesenian
Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.
Sistem kepercayaan
Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta.
Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut:
... sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati.[1]
Agama biasanya memiliki suatu prinsip, seperti "10 Firman" dalam agama Kristen atau "5 rukun Islam" dalam agama Islam. Kadang-kadang agama dilibatkan dalam sistem pemerintahan, seperti misalnya dalam sistem teokrasi. Agama juga mempengaruhi kesenian.
Sistem ilmu dan pengetahuan
Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris (trial and error).
Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:
• pengetahuan tentang alam
• pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya
• pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama manusia
• pengetahuan tentang ruang dan waktu
Dikutip dari: http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/0828/wis04.html
BAHASAN
Kebudayaan dan Pariwisata
Oleh Djulianto Susantio
Banyak definisi tentang kebudayaan yang dikemukakan para pakar. Arkeolog R. Soekmono mengatakan kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan alam penghidupan. Antropolog Koentjaraningrat berpendapat kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Di seluruh dunia, terdapat lebih dari 100 definisi tentang kebudayaan yang disodorkan para pakar dari berbagai disiplin ilmu, seperti agama, hukum, seni, dan sastra. Kebudayaan sendiri memiliki tujuh unsur yang bersifat universal Unsur-unsur tersebut ada dan terdapat di dalam semua kebudayaan dari semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur tersebut adalah bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencarian hidup, sistem religi, dan kesenian.
Kebudayaan memiliki arti penting bagi suatu bangsa. Kebudayaan merupakan jati diri nasional atau sarana pemersatu. kebudayaan dinilai berperan jika memiliki hasil budaya yang khas. Hasil budaya bukan hanya milik suatu bangsa, tapi sudah dianggap milik bersama, yakni masyarakat dunia. Lihat saja, bagaimana masyarakat dunia mengecam agresi AS ke Irak karena mereka merusakkan, menghancurkan, dan menghilangkan sisa-sisa kebudayaan kuno yang dihasilkan nenek moyang bangsa Irak.
Pada prinsipnya hasil budaya suatu bangsa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yakni yang dapat diraba dan tidak dapat diraba. Hasil budaya yang dapat diraba, misalnya candi, istana, dan berbagai benda yang mempunyai wujud fisik. Hasil budaya yang tidak dapat diraba teramati oleh penglihatan. Seni pertunjukan dan adat-istiadat suatu suku bangsa adalah sebagian dari hasil budaya yang tidak teraba itu.
Warisan Budaya
Banyak hasil budaya suatu bangsa dikagumi bangsanya sendiri dan juga oleh bangsa lain. Bangsa Mesir, misalnya, meninggalkan piramida. Salah satu piramida, Cheops, dibangun sekitar 4.600 tahun yang lalu. Bangunan ini terdiri atas 2,5 juta balok batu dan masing-masing balok beratnya mencapai 2,5 ton. Bangsa Cina meninggalkan Tembok Besar yang panjangnya berkilo-kilo meter. Hebatnya, peninggalan budaya ini bisa dilihat dari bulan.
Bangsa Indonesia meninggalkan Candi Borobudur. Dalam pembuatannya candi ini menghabiskan sekitar 55.000 meter kubik batu andesit. Satu batunya mencapai berat puluhan hingga ratusan kilogram. Banyak hasil budaya bangsa Indonesia lainnya yang sampai kini masih tetap dilestarikan. Salah satunya dalam bentuk peninggalan arkeologi.
Peninggalan arkeologi termasuk warisan budaya hasil proses sejarah bangsa sepanjang masa. Di Indonesia salah satu fungsi warisan budaya dikaitkan dengan kegiatan kepariwisataan.
Fungsi warisan budaya merupakan penjabaran dari Pasal 32 UUD 45 tentang Kebudayaan Bangsa dan berkaitan dengan GBHN Tap MPR tahun 1988 yang berbunyi, ”Tradisi dan peninggalan sejarah yang memberi corak khas kebudayaan bangsa serta hasil-hasil pembangunan yang mempunyai nilai perjuangan bangsa, kebanggaan dan kemanfaatan nasional perlu dipelihara dan dibina untuk menumbuhkan kesadaran sejarah, semangat perjuangan dan cinta tanah air serta memelihara kelestarian budaya dan kesinambungan pembangunan bangsa”.
Hal ini berkaitan dengan sasaran pariwisata dalam pembangunan nasional yang terdiri atas lima butir. Pertama, mengembangkan dan mendayagunakan sumber dan potensi kepariwisataan nasional menjadi kegiatan ekonomi yang dapat diandalkan untuk memperbesar penerimaan devisa. Kedua, memperluas dan meratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, terutama bagi masyarakat setempat, mendorong pembangunan daerah serta memperkenalkan alam, nilai, dan budaya bangsa. Ketiga, pariwisata dalam negeri diarahkan untuk memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa serta menanamkan jiwa, semangat dan nilai-nilai luhur bangsa dalam rangka lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional di samping untuk meningkatkan kegiatan ekonomi. Keempat, usaha pembinaan dan pengembangan kepariwisataan dalam negeri ditujukan pula untuk meningkatkan kualitas kebudayaan bangsa, memperkenalkan kekayaan peninggalan serta keindahan alam termasuk alam bahari di berbagai pelosok tanah air. Kelima, dalam rangka pembangunan kepariwisataan kita perlu meningkatkan langkah-langkah yang terarah dan terpadu dalam pengembangan objek-objek wisata serta kegiatan promosi dan pemasarannya baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Sejak lama banyak peninggalan bangsa Indonesia dikagumi wisatawan asing. Museum Nasional yang sarat dengan benda-benda arkeologi adikarya selalu menjadi tujuan utama wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Jakarta. Candi Borobudur yang penuh misteri selalu mengundang kekaguman wisatawan yang mengunjunginya. Kekayaan seni budaya berikut aspek sejarahnya selalu menjadi daya tarik utama bagi wisatawan mancanegara.
Pada 1978 dibentuk Komisi Kerja Sama untuk Pembinaan dan Pengembangan Objek Wisata Budaya oleh Direktorat Jenderal Pariwisata dan Direktorat Jenderal Kebudayaan. Waktu masing-masing bernaung di bawah Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekornunikasi serta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Maka sejak itu segala jenis penelitian arkeologi, termasuk pemugaran diarahkan untuk kepentingan pariwisata. Banyaknya kunjungan wisatawan ke berbagai warisan budaya menjadikan budaya kita lebih berarti. Apalagi kini bidang kebudayaan dan pariwisata berada dalam satu induk sehingga penanganannya lebih mudah. Namun banyak masalah masih belum tertangani dengan baik. Sebenarnya banyak warisan budaya yang berpotensi besar untuk menjaring wisatawan. Sayangnya masih urung dipugar dan terbengkalai terus hingga kini. Penyebabnya kekurangan dana, masalah klasik yang selalu terjadi dari waktu ke waktu. Jika dibandingkan dengan sesama negara berkembang, kebudayaan Indonesia boleh dibilang sejajar dengan kebudayaan Mesir, Cina, dan India.
Namun ketiga negara itu sudah lebih maju dalam menangani pariwisata budaya. Manajemen mereka sudah lebih baik daripada Indonesia . Bahkan anggaran yang mereka keluarkan jauh lebih besar daripada anggaran kita di sini. Salah satu negara yang paling banyak menyedot wisatawan mancanegara berkat peninggalan budayanya adalah Yunani. Dalam setahun Yunani didatangi 12 juta wisatawan mancanegara untuk menyaksikan peninggalan nenek moyang mereka yang terkenal kesohorannya itu. Jumlah ini jauh lebih banyak daripada jumlah penduduk Yunani. Yunani bisa maju karena manajemennya sudah profesional. Sumber daya manusianya pun benar-benar berkualitas tinggi. Penanganannya tidak asal jalan, tetapi mempunyai prospek ke depan. Selama ini kita juga tahu Spanyol selalu mengandaikan matador untuk menarik perhatian wisatawan dunia. Mereka mampu mendatangkan sekitar 20 juta wisatawan per tahun. Sungguh menakjubkan. Bukan tidak mungkin Indonesia memanfaatkan warisan budaya untuk konsumsi para wisatawan. Itu pun harus hati-hati, jangan sampai tergusur oleh Vietnam dan Kamboja, yang warisannya mirip dengan Indonesia.***



Dikutip dari: http://organisasi.org/pengertian-masyarakat-unsur-dan-kriteria-masyarakat-dalam-kehidupan-sosial-antar-manusia
Pengertian Masyarakat, Unsur Dan Kriteria Masyarakat Dalam Kehidupan Sosial Antar Manusia
Manusia merupakan makhluk yang memiliki keinginan untuk menyatu dengan sesamanya serta alam lingkungan di sekitarnya. Dengan menggunakan pikiran, naluri, perasaan, keinginan dsb manusia memberi reaksi dan melakukan interaksi dengan lingkungannya. Pola interaksi sosial dihasilkan oleh hubungan yang berkesinambungan dalam suatu masyarakat.
A. Arti Definisi / Pengertian Masyarakat
Berikut di bawah ini adalah beberapa pengertian masyarakat dari beberapa ahli sosiologi dunia.
1. Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
2. Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi.
3. Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya.
4. Menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.
B. Faktor-Faktor / Unsur-Unsur Masyarakat
Menurut Soerjono Soekanto alam masyarakat setidaknya memuat unsur sebagai berikut ini :
1. Berangotakan minimal dua orang.
2. Anggotanya sadar sebagai satu kesatuan.
3. Berhubungan dalam waktu yang cukup lama yang menghasilkan manusia baru yang saling berkomunikasi dan membuat aturan-aturan hubungan antar anggota masyarakat.
4. Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat.
C. Ciri / Kriteria Masyarakat Yang Baik
Menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria yang harus dipenuhi agar sekumpolan manusia bisa dikatakan / disebut sebagai masyarakat.
1. Ada sistem tindakan utama.
2. Saling setia pada sistem tindakan utama.
3. Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota.
4. Sebagian atan seluruh anggota baru didapat dari kelahiran / reproduksi manusia.



Dikutip dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Imlek
Imlek
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Artikel ini mengenai Imlek sebagai kalender Tionghoa. Lihat Tahun Baru Imlek untuk hari rayanya.

Imlek (lafal Hokkian dari 阴历, pinyin: yin li, yang artinya kalender bulan) atau Kalender Tionghoa adalah kalender lunisolar yang dibentuk dengan menggabungkan kalender bulan dan kalender matahari.
Kalender Tionghua sekarang masih digunakan untuk memperingati berbagai hari perayaan tradisional Tionghua dan memilih hari yang paling menguntungkan untuk perkawinan atau pembukaan usaha. Kalender Tionghua dikenal juga dengan sebutan lain seperti "Kalender Agrikultur" (nónglì 农历/農曆), "Kalender Yin 阴历/陰曆" (karena berhubungan dengan aspek bulan), "Kalender Tua" (jìulì 旧历/舊曆) setelah "Kalender Baru" (xīnlì 新历/新曆) yaitu kalender masehi, diadopsi sebagai kalender resmi dan "Kalender Xià 夏历/夏曆" yang pada hakekatnya tidak sama dengan kalender saat ini.
SejarahHuang Di
Kalender Tionghua mulai dikembangkan pada millenium ketiga sebelum masehi, konon ditemukan oleh penguasa legendaris pertama, Huáng Dì, yang memerintah antara tahun 2698 SM - 2599 SM. Dan dikembangkan lagi oleh penguasa legendaris keempat, Kaisar Yáo. Siklus 60 tahun (gānzhī atau liùshí jiǎzǐ) mulai digunakan pada millennium kedua sebelum masehi. Kalender yang lebih lengkap ditetapkan pada tahun 841sm pada zaman Dinasti Zhōu dengan menambahkan penerapan bulan ganda dan bulan pertama satu tahun dimulai dekat dengan titik balik matahari pada musim dingin.
Dinasti Qin
Kalender Sìfēn (empat triwulan), yang mulai diterapkan sekitar tahun 484sm, adalah kalender Tionghua pertama yang memakai perhitungan lebih akurat, menggunakan penanggalan matahari 365¼ hari, dengan siklus 19 tahun (235 bulan), yang dalam ilmu pengetahuan Barat dikenal sebagai Peredaran Metonic. Titik balik matahari musim dingin adalah bulan pertamanya dan bulan gandanya disisipi mengikuti bulan ke 12. Pada tahun 256sm, kalender ini mulai digunakan oleh negara Qín, kemudian diterapkan di seluruh negeri Cina setelah Qín mengambil alih keseluruhan negeri Cina dan menjadi Dinasti Qín. Kelender ini tetap digunakan sepanjang separuh pertama Dinasti Hàn Barat.
Dinasti Han
Kaisar Wǔ dari Dinasti Han Barat memperkenalkan reformasi kalender baru. Kalender Tàichū (Permulaan Agung) pada tahun 104sm mempunyai tahun dengan titik balik matahari musim dingin pada bulan ke 12 dan menentukan jumlah hari untuk penanggalan bulan (satu bulan 29 atau 30 hari) dan bukan sesuai dengan prinsip terminologi matahari (yang secara keseluruhan sama dengan tanda zodiak). Sebab gerakan matahari digunakan untuk mengkalkulasi Jiéqì (ciri-ciri musim).
Dinasti Tang
Sedangkan pada zaman Dinasti Jin dan Dinasti Tang juga sempat dikembangkan Kalender Dàyǎn dan Huángjí, walaupun tidak sempat dipergunakan. Dengan pengenalan ilmu astronomi Barat ke Cina melalui misi penyebaran agama Kristen, gerakan bulan dan matahari mulai dihitung pada tahun 1645 dalam Kalender Shíxiàn Dinasti Qīng, yang dibuat oleh Misioner Adam Schall.
Cara perhitungan
Kalender Tionghua memiliki aturan yang sedikit berbeda dengan kalender umum, seperti ; perhitungan bulan adalah rotasi bulan pada bumi. Berarti hari pertama setiap bulan dimulai pada tengah malam hari bulan muda astronomi. (Catatan, "hari" dalam Kalender Tionghua dimulai dari jam 11 malam dan bukan jam 12 tengah malam). Satu tahun ada 12 bulan, tetapi setiap 2 atau 3 tahun sekali terdapat bulan ganda (rùnyuè, 19 tahun 7 kali). Berselang satu kali jiéqì (musim) tahun matahari Cina adalah setara dengan satu pemulaan matahari ke dalam tanda zodiak tropis. Matahari selalu melewati titik balik matahari musim dingin (masuk Capricorn) selama bulan 11.



Dikutip dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_lunisolar
Kalender lunisolar
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kalender lunisolar adalah sebuah kalender yang menggunakan fase bulan sebagai acuan utama namun juga menambahkan pergantian musim di dalam perhitungan tiap tahunnya. Kalender ini biasanya ditandai dengan adanya bulan-bulan kabisat beberapa tahun sekali ataupun berturut-turut. Dengan demikian, jumlah bulan dalam satu tahun dapat mencapai 12 sampai 13 bulan.
Jenis kalender lunisolar
Kalender lunisolar yang ada di dunia dan masih digunakan misalnya:
• Kalender Bali
• Kalender Buddhis
• Kalender Imlek (Tionghoa)
• Kalender Saka
• Kalender Tibet
• Kalender Yahudi
• Kalender Korea

Tidak ada komentar:

Posting Komentar